Featured

GERHANA

by - Desember 24, 2016

Warnanya oranye menyejukkan, dengan awan yang menyebar tak rata di satu sisinya saja. Indah sekali memang. Tetapi ini bukan alasanku untuk menyapanya sore ini. Semoga ia tak bosan aku kembali lagi, ya semoga saja ia tak bosan karena datangku selalu dengan senyuman. Senyuman kataku? Senyum manis di bibir namun senyuman parau di relung hati tepatnya.
Itulah kerjaanku setiap hari. Menanti dalam diam di balik senyum, bersabar menahan tangis yang tak pantas terungkap dan bertahan untuk kamu yang sedikit pun tak paham adanya aku. Ini rindu yang menyayat. Membakar habis semua waktuku dengan egonya dan mengambil alih kendali fikiranku hanya untuk membayangkannya. Kata orang banyak ini sebenarnya salah jika dibilang rindu. Selama mata dan hatiku masih bisa merasakan, ini semua lebih pantas disebut sakit. Bukan sakit yang kejang-kejang, bukan juga sakit yang menyusahkan orang lain, tapi mirip dengan sakit yang terenggut sebagian kewarasannya. Dengan ini sekarang siapapun yang mendengar akan bilang benar, iya bukan? Pasti kau pun akan bilang benar.
Melihatmu adalah satu hal yang menjadi obat rinduku. Walau sekedipan mata saja sudah membuat waktuku berjalan setelah sekian lama terhenti tanpamu, dan sudah dapat mengembalikan sebagian kewarasanku lagi. Namun kini melihatmu tak lagi bisa jadi penawar rindu itu. Karena tangan maskulin itu telah melengkapi sela-sela jemarimu yang lentik. Karena saat aku melihatmu juga ada lelaki itu. Kembali lagi aku jatuh dalam kalut. Seakan tak sanggup lagi aku menatap, hanya kabut kelam yang ada di setiap pandanganku. kamu telah membutakanku dari semua hal yang seharusnya dapat mengembalikanku dari kegilaan ini. Dan betul saja sekarang hatiku benar-benar buta.
Sosok yang kupuja layaknya putri kahyangan yang turun bersama pengawal-pengawal dari langit itu kini semakin jauh seperti lariku untuk mengejar ujung pelangi. Nampak tapi tak kunjung tergenggam. Andai saja aku bisa jadi salah satu pengawal yang menemaninya turun saat itu, mungkin aku takkan segila ini sekarang. Abu memang tak pantas mendambakan api. Tapi kuingin sekali seperti punuk yang merindukan bulannya. Tetap merindu meski takkan mungkin ia gapai.
Sekarang saatnya kubuka mata dan kembali sejenak ke kehidupan biasa. Pagi ini hujan turun, tidak terlalu deras sudah cukup membuatku memahami sebuah tanda. Rintik-rintik itu memang indah menari-nari di pijakan tapi suaranya seperti mengetuk-ngetuk dasar sadarku untuk segera kembali ke alam nyata, jangan tetap berada di alam gapaian yang selama ini kutinggali. Terimakasih hujan.. tapi kenapa aku harus kembali? Aku senang ada di sini walaupun setiap kenyataannya meneteskan garam di lukaku.
Sekian lama aku terlarut dalam sedihku. Mengingat kembali skenario hidup itu membuat luka ini basah kembali. Semakin kuputar tak kunjung sembuh justru lebih dalam terluka. Sampai suatu hari  teman kos sebelah kamarku menitip pesan kepadaku “relakan ia dan tersenyumlah maka hidupmu akan kembali seperti semula.” Membacanya saja aku seperti sanggup. Tapi ternyata melakukannya tak semudah kelihatannya. Aku tau kata-kata itu juga yang menyelamatkan banyak orang dari keberakhiran hidup sebab masalah yang sama.
Anggap saja aku ini matahari, kau bulan, dan dia bumi. Aku memberimu cahaya di malam saat kamu sendirian. Aku tau walau tanpa cahayaku kau tetap bisa melihat bumi dan akan terus bergandengan dengannya, tak lepas. Entahlah, mungkin aku tak penting. Tapi sinar itu akan selalu kupancarkan dari sini. Dari jauh.
***
Teringat aku saat itu kau datang kepadaku. Kau mengenakan dress putih yang tertiup angin dan aku duduk di depanmu yang menari-nari di bawah teduhnya pepohonan taman. Dressmu berkibar bagai bendera yang inginkan memamerkan sesuatu yang bisa membuat seluruh pria bergairah melihatnya.
Aku hanya bisa menutup mata seperti orang alim pada umumnya. Maafkan aku. Aku pria freak yang mencintaimu melalui hati, bukan nafsu birahi.
Kau merayuku dengan senyuman-senyuman menggoda penuh hasrat. Aku tahu bahwa itu adalah tatapan yang mengundang dari para wanita. Tapi anehnya, bukankah kau yang dahulu bilang kepadaku kalau kau mencintaiku karena aku adalah pria yang mencintaimu tanpa memanfaatkan tubuhmu? Tapi entah kenapa kau berlaku begitu? Aku tak mengerti wanita. Sama halnya wanita tak mengerti pria.
Kemudian kau duduk di sampingku. Tiupan angin itu menyejukkan suasana taman kota yang sedang kita nikmati berdua karena tak begitu ramai pada hari Senin ini. Aku memanfaatkan waktu kuliahku yang berharga demi dia yang ingin berdua denganku. Begini kah pacaran? Benarkah harus mengorbankan waktuku kuliah? Kemudian kau mengelus dadaku dengan penuh hasrat. Kau mulai berbisik-bisik menggelikan di sekitar leher dan telingaku.
Aku melepaskan genggman kau yang merusak akal sehatku itu. Aku bisa gila.
“Hahahaha, kamu terlalu suci, mas.” katamu mengambil respon ketika kuusir tanganmu yang mulai menjahanam. “Ayolah, mas. Bukankah enak? Hehehehe.
Terlalu suci? Aku tak mengerti sebenarnya bagaimana pria yang harusnya kau idamkan. Aku hanya pria yang nerd  yang biasa orang-orang sebut freak. Tidakkah kau mengerti keadaanku? Kenapa kau berbuat demikian?
“Aku, aku tak suka.” kataku sedikit tertahan.
“Jadi kamu tak suka aku, mas?” tanyanya memurung. “Kamu sayang aku kan, mas? Kamu cinta aku kan mas? Kok tak mau kumanjakan sih, mas?”
Aku memilih meninggalkannya.
***
Aku tahu dia sangat menginginkan aku bernafsu dengannya. Tetapi, keindahannya untuk sebuah kecintaan bukanlah untuk sebuah pelepas hasrat dalam viagra. Aku mencintainya, bukan untuk merusaknya. Bukankah kau yang pernah bilang kalau aku adalah satu-satunya pria yang tidak bajingan dan brengsek untuk mencintai hanya sebatas hawa nafsu, dan hanya mengatakan kalau kau mencintai sifatku. Wajar bila aku memilih pergi di saat kondisi begitu. Aku hanya menjalankan konsisten denganmu. Aku tak mau kau bilang lagi bahwa ‘Semua cowok itu sama aja, kalo enggak homo, ya bajingan’. Akan kubuktikan kepadamu, bahawa pria tidak semua ada pada kriteria itu.
Pria punya kriteria yang lebih sempurna lagi tetapi masih terpandang sebelah mata dengan para wanita yang selalu merasa paling benar, merasa paling waras, dan harus dimengerti. Tak bisakkah wanita memahami hal ini?
Aku pria yang berbeda, dan aku pria yang kau impikan itu. Aku kaya. Aku tidak brengsek. Aku setia. Aku pintar. Aku menjalankan komitmen kita. Aku juga tampan.
Apa lagi kekuranganku? Freak? Iya, aku memang freak. Tapi segala hal kriteria lelaki yang kau inginkan ada padaku. Kriteriamu adalah pria freak seperti aku, yang hanya sIbuk di depan laptopnya dan memikirkan belajar dan fokus kepada perkuliahan. Apa kurangku adalah tidak bajingan? Tetapi menjadi bajingan itu berarti aku menjadi brengsek. Aku akan menjadi PK kalau kau mau.
Hingga kemudian suatu hari, kamu memutuskan hubunganku dengan alasan yang tak bisa kupahami: terlalu baik buat aku. Aku tak mengerti, bukankah segala yang kau inginkan padaku adalah kriteria yang baik-baik. Aku tak memahamimu. Aku memilih lanjutkan kehidupan.
***
Ketika aku pulang dari kampus di kosku tengah malam seusai kerja kelompok, aku kembali mendengar suaramu. Jelas jika itu suaramu hadir di sini. Suaramu terdengar dari kamar sebelah kamarku. Kamar temanku. Kamar temanku tertutup rapih dengan jendelanya yang ditutup kaca berlempeng-lempeng. Kemudian aku membuka perlahan lempengan kaca jendela itu serta membuka sedikit gorden jendelanya.
Nampak jelas kau di situ berduaan dengannya di atas ranjangnya. Kau yang hanya menggunakan bra dan kancut hitam, dan temanku hanya menggunakan celana boxer kuning. Keparat! Kau nampak begitu bahagia dengannya. Dengan bumi yang kau dekati ketika malam. Kemudian dia membaringkanmu dengan senyuman kehasratan, kau begitu nampak senang pasrah untuk menghabiskan malam dengan kenafikannya. Aku yang freak ini hanya bisa memandang dengan hati yang terinjak.
Kemudian aku kembali berpacaran  dengan laptopku yang bisa menghIburku dengan segala tugas yang harus aku selesaikan. Mendamaikan hati dengan segala kesIbukkan adalah caraku menentramkan segala yang panas dengan ketelatenan. Aku punya masa depan yang lebih penting kuurus sendiri daripada masalah percintaan. Tetapi kamu masih saja muncul mengganggu khayalku. Senyummu masih mengganjal menyatu dengan emosi rindu. Namun, langsung berubah menjadi mendidih setelah kamu muncul sedang bertelanjang bersamanya.
Sekarang bisa kurasakan gerhana itu. Rasa yang membuatku semakin tak penting untukmu. Saat aku, dia, dan kamu berada dalam satu garis lurus. Aku dan kamu dalam jangkauan terjauh, terhalang oleh dia. Sampai-sampai sinarku saja tak bisa kau dapat. Aku harapkan kamu masih menyadari aku yang freak ini menyayangimu secara tulus tanpa segala pamrih urusan badan nafsu belaka.
Aku tak tahu kapan gerhana ini akan berakhir dan jika pun itu berakhir, aku tetap mencintai keadaanmu apa adanya. Kamu sedang asik menikmati gerhana itu dengan kacamata buta yang indah bagimu. Sudahlah, perkara hati, yang penting kamu bahagia sajalah.

***

You May Also Like

0 komentar