GERHANA
Warnanya
oranye menyejukkan, dengan awan yang menyebar tak rata di satu sisinya saja.
Indah sekali memang. Tetapi ini bukan alasanku untuk menyapanya sore ini.
Semoga ia tak bosan aku kembali lagi, ya semoga saja ia tak bosan karena
datangku selalu dengan senyuman. Senyuman
kataku? Senyum manis di bibir namun senyuman parau di relung hati tepatnya.
Itulah
kerjaanku setiap hari. Menanti dalam diam di balik senyum, bersabar menahan
tangis yang tak pantas terungkap dan bertahan untuk kamu yang sedikit pun tak
paham adanya aku. Ini rindu yang menyayat. Membakar habis semua waktuku dengan
egonya dan mengambil alih kendali fikiranku hanya untuk membayangkannya. Kata
orang banyak ini sebenarnya salah jika dibilang rindu. Selama mata dan hatiku
masih bisa merasakan, ini semua lebih pantas disebut sakit. Bukan sakit yang
kejang-kejang, bukan juga sakit yang menyusahkan orang lain, tapi mirip dengan
sakit yang terenggut sebagian kewarasannya. Dengan ini sekarang siapapun yang
mendengar akan bilang benar, iya bukan? Pasti kau pun akan bilang benar.
Melihatmu
adalah satu hal yang menjadi obat rinduku. Walau sekedipan mata saja sudah
membuat waktuku berjalan setelah sekian lama terhenti tanpamu, dan sudah dapat
mengembalikan sebagian kewarasanku lagi. Namun kini melihatmu tak lagi bisa
jadi penawar rindu itu. Karena tangan maskulin itu telah melengkapi sela-sela
jemarimu yang lentik. Karena saat aku melihatmu juga ada lelaki itu. Kembali
lagi aku jatuh dalam kalut. Seakan tak sanggup lagi aku menatap, hanya kabut
kelam yang ada di setiap pandanganku. kamu telah membutakanku dari semua hal
yang seharusnya dapat mengembalikanku dari kegilaan ini. Dan betul saja
sekarang hatiku benar-benar buta.
Sosok
yang kupuja layaknya putri kahyangan yang turun bersama pengawal-pengawal dari
langit itu kini semakin jauh seperti lariku untuk mengejar ujung pelangi.
Nampak tapi tak kunjung tergenggam. Andai saja aku bisa jadi salah satu
pengawal yang menemaninya turun saat itu, mungkin aku takkan segila ini
sekarang. Abu memang tak pantas mendambakan api. Tapi kuingin sekali seperti
punuk yang merindukan bulannya. Tetap merindu meski takkan mungkin ia gapai.
Sekarang
saatnya kubuka mata dan kembali sejenak ke kehidupan biasa. Pagi ini hujan
turun, tidak terlalu deras sudah cukup membuatku memahami sebuah tanda.
Rintik-rintik itu memang indah menari-nari di pijakan tapi suaranya seperti
mengetuk-ngetuk dasar sadarku untuk segera kembali ke alam nyata, jangan tetap
berada di alam gapaian yang selama ini kutinggali. Terimakasih hujan.. tapi
kenapa aku harus kembali? Aku senang ada di sini walaupun setiap kenyataannya
meneteskan garam di lukaku.
Sekian
lama aku terlarut dalam sedihku. Mengingat kembali skenario hidup itu membuat
luka ini basah kembali. Semakin kuputar tak kunjung sembuh justru lebih dalam
terluka. Sampai suatu hari teman kos
sebelah kamarku menitip pesan kepadaku “relakan ia dan tersenyumlah maka
hidupmu akan kembali seperti semula.” Membacanya saja aku seperti sanggup. Tapi
ternyata melakukannya tak semudah kelihatannya. Aku tau kata-kata itu juga yang
menyelamatkan banyak orang dari keberakhiran hidup sebab masalah yang sama.
Anggap
saja aku ini matahari, kau bulan, dan dia bumi. Aku memberimu cahaya di malam
saat kamu sendirian. Aku tau walau tanpa cahayaku kau tetap bisa melihat bumi
dan akan terus bergandengan dengannya, tak lepas. Entahlah, mungkin aku tak
penting. Tapi sinar itu akan selalu kupancarkan dari sini. Dari jauh.
***
Teringat
aku saat itu kau datang kepadaku. Kau mengenakan dress putih yang tertiup angin dan aku duduk di depanmu yang
menari-nari di bawah teduhnya pepohonan taman. Dressmu berkibar bagai bendera yang inginkan memamerkan sesuatu
yang bisa membuat seluruh pria bergairah melihatnya.
Aku
hanya bisa menutup mata seperti orang alim pada umumnya. Maafkan aku. Aku pria freak yang mencintaimu melalui hati,
bukan nafsu birahi.
Kau
merayuku dengan senyuman-senyuman menggoda penuh hasrat. Aku tahu bahwa itu
adalah tatapan yang mengundang dari para wanita. Tapi anehnya, bukankah kau
yang dahulu bilang kepadaku kalau kau mencintaiku karena aku adalah pria yang
mencintaimu tanpa memanfaatkan tubuhmu? Tapi entah kenapa kau berlaku begitu?
Aku tak mengerti wanita. Sama halnya wanita tak mengerti pria.
Kemudian
kau duduk di sampingku. Tiupan angin itu menyejukkan suasana taman kota yang
sedang kita nikmati berdua karena tak begitu ramai pada hari Senin ini. Aku
memanfaatkan waktu kuliahku yang berharga demi dia yang ingin berdua denganku. Begini kah pacaran? Benarkah harus
mengorbankan waktuku kuliah? Kemudian kau mengelus dadaku dengan penuh
hasrat. Kau mulai berbisik-bisik menggelikan di sekitar leher dan telingaku.
Aku
melepaskan genggman kau yang merusak akal sehatku itu. Aku bisa gila.
“Hahahaha,
kamu terlalu suci, mas.” katamu mengambil respon ketika kuusir tanganmu yang
mulai menjahanam. “Ayolah, mas. Bukankah enak? Hehehehe.”
Terlalu
suci? Aku tak mengerti sebenarnya bagaimana pria yang harusnya kau idamkan. Aku
hanya pria yang nerd yang biasa orang-orang sebut freak. Tidakkah kau mengerti keadaanku?
Kenapa kau berbuat demikian?
“Aku,
aku tak suka.” kataku sedikit tertahan.
“Jadi
kamu tak suka aku, mas?” tanyanya memurung. “Kamu sayang aku kan, mas? Kamu
cinta aku kan mas? Kok tak mau kumanjakan sih,
mas?”
Aku
memilih meninggalkannya.
***
Aku
tahu dia sangat menginginkan aku bernafsu dengannya. Tetapi, keindahannya untuk
sebuah kecintaan bukanlah untuk sebuah pelepas hasrat dalam viagra. Aku
mencintainya, bukan untuk merusaknya. Bukankah kau yang pernah bilang kalau aku
adalah satu-satunya pria yang tidak bajingan dan brengsek untuk mencintai hanya
sebatas hawa nafsu, dan hanya mengatakan kalau kau mencintai sifatku. Wajar
bila aku memilih pergi di saat kondisi begitu. Aku hanya menjalankan konsisten
denganmu. Aku tak mau kau bilang lagi bahwa ‘Semua cowok itu sama aja, kalo enggak homo, ya bajingan’. Akan kubuktikan kepadamu, bahawa pria tidak semua ada
pada kriteria itu.
Pria
punya kriteria yang lebih sempurna lagi tetapi masih terpandang sebelah mata
dengan para wanita yang selalu merasa paling benar, merasa paling waras, dan
harus dimengerti. Tak bisakkah wanita memahami hal ini?
Aku
pria yang berbeda, dan aku pria yang kau impikan itu. Aku kaya. Aku tidak
brengsek. Aku setia. Aku pintar. Aku menjalankan komitmen kita. Aku juga
tampan.
Apa
lagi kekuranganku? Freak? Iya, aku
memang freak. Tapi segala hal
kriteria lelaki yang kau inginkan ada padaku. Kriteriamu adalah pria freak seperti aku, yang hanya sIbuk di
depan laptopnya dan memikirkan belajar dan fokus kepada perkuliahan. Apa
kurangku adalah tidak bajingan? Tetapi menjadi bajingan itu berarti aku menjadi
brengsek. Aku akan menjadi PK kalau kau mau.
Hingga
kemudian suatu hari, kamu memutuskan hubunganku dengan alasan yang tak bisa
kupahami: terlalu baik buat aku. Aku
tak mengerti, bukankah segala yang kau inginkan padaku adalah kriteria yang
baik-baik. Aku tak memahamimu. Aku memilih lanjutkan kehidupan.
***
Ketika
aku pulang dari kampus di kosku tengah malam seusai kerja kelompok, aku kembali
mendengar suaramu. Jelas jika itu suaramu hadir di sini. Suaramu terdengar dari
kamar sebelah kamarku. Kamar temanku. Kamar temanku tertutup rapih dengan
jendelanya yang ditutup kaca berlempeng-lempeng. Kemudian aku membuka perlahan
lempengan kaca jendela itu serta membuka sedikit gorden jendelanya.
Nampak
jelas kau di situ berduaan dengannya di atas ranjangnya. Kau yang hanya
menggunakan bra dan kancut hitam, dan temanku hanya menggunakan celana boxer kuning. Keparat! Kau nampak begitu bahagia dengannya. Dengan bumi yang kau
dekati ketika malam. Kemudian dia membaringkanmu dengan senyuman kehasratan,
kau begitu nampak senang pasrah untuk menghabiskan malam dengan kenafikannya.
Aku yang freak ini hanya bisa
memandang dengan hati yang terinjak.
Kemudian
aku kembali berpacaran dengan laptopku
yang bisa menghIburku dengan segala tugas yang harus aku selesaikan.
Mendamaikan hati dengan segala kesIbukkan adalah caraku menentramkan segala
yang panas dengan ketelatenan. Aku punya masa depan yang lebih penting kuurus
sendiri daripada masalah percintaan. Tetapi kamu masih saja muncul mengganggu
khayalku. Senyummu masih mengganjal menyatu dengan emosi rindu. Namun, langsung
berubah menjadi mendidih setelah kamu muncul sedang bertelanjang bersamanya.
Sekarang
bisa kurasakan gerhana itu. Rasa yang membuatku semakin tak penting untukmu.
Saat aku, dia, dan kamu berada dalam satu garis lurus. Aku dan kamu dalam
jangkauan terjauh, terhalang oleh dia. Sampai-sampai sinarku saja tak bisa kau
dapat. Aku harapkan kamu masih menyadari aku yang freak ini menyayangimu secara tulus tanpa segala pamrih urusan
badan nafsu belaka.
Aku
tak tahu kapan gerhana ini akan berakhir dan jika pun itu berakhir, aku tetap
mencintai keadaanmu apa adanya. Kamu sedang asik menikmati gerhana itu dengan
kacamata buta yang indah bagimu. Sudahlah, perkara hati, yang penting kamu
bahagia sajalah.
***
Komentar
Posting Komentar