Featured

LE SURVIVANT

by - Desember 10, 2016


Apa kamu tahu apa itu mimpi? Biar aku jelaskan padamu. Mimpi bagiku ialah hasil dari perfilman yang dilakukan oleh lembaga produksi film dari mata, yang kemudian disimpan dalam DVD otak yang kemudian diproyeksikan dalam bioskop premier ketika kita sudah merasa lelap. Seringkali film bioskop yang muncul dalam lelap itu menyetelkan film yang tidak kita duga, dan belum tentu kita suka.
Mimpi juga memiliki kunci pintu keluar yang selalu muncul jika kita menonton mimpi horor yang sedang diputar untuk terbangun kembali. Pintu dan kunci tersebut biasanya muncul ketika sudah klimaks atau koda dalam film tersebut. Dan sialnya, ketika kita terbangun dari tidur, film yang bagus-bagus itu hangus begitu saja atau sebagiannya saja sehingga kita banyak melupakan bagian terpenting dari mimpi itu sendiri. Seolah kunci itu memutar pintu kesadaran dengan sendirinya sehingga kita tertutup dari dalam studio itu sendiri.
Bicara soal mimpi, aku bermimpi dalam baringanku di atas kasurku, aku berbaring menghadap kiri. Awalnya aku merasa nyaman dengan kelelapanku dalam tidur di atas sprei lembut yang memanjakan tubuhku. Namun, tiba-tiba ada yang ganjil di telinga kananku. Aku seperti mendengar sesuatu yang berbisik di telingaku.
Tiba-tiba di samping kananku ada seseorang nenek tua berwajah menyeramkan dengan mata yang memutih berdiri membisikkan sesuatu ke telingaku. Tentu saja aku terkaget akan kehadirannya yang seperti memandangku secara dingin di sampingku. Aku mencoba lari menjauhinya. Tetapi, aku seperti terikat di ranjangku. Aku tak mampu berkutik untuk kabur. Apakah aku kena tindihan?
Ia berbisik tetapi mulutnya terbuka lebar di dekat daun telingaku, tetapi aksinya seperti sedang berbisik kepadaku dengan suara yang aneh. Aku tetap tak bisa berkutik akan hal ini. Suara yang dikeluarkan nenek itu aneh seperti keramaian yang keluar dari mulutnya yang semakin lama semakin melebar diameter mulutnya menganga. Suara itu berawal dari bisikan pelan kemudian berubah menjadi suara jeritan. Jeritan yang ramai. Jeritan umat manusia.
“Hanya kau, hanya kau, hanya kau...” Ia berkata di antara jeritan-jeritan itu dengan suara paraunya yang mencoba menyentuh jantungku. Kemudian pintu sadarku muncul di hadapanku dan terbuka dengan kunci yang muncul di depan hidungku.
***
Tubuhku memucat mengingat kembali dengan mimpi yang terputar dalam rekaman kualitas HD yang membuatku terbangun barusan. Aku hanya bisa terduduk di samping ranjang supaya menyadarkan diri kalau yang terjadi semalam hanyalah mimpi belaka.
Jam digital alarmku di atas meja samping ranjangku menunjukan pukul setengah 5 pagi, mungkin mimpi aneh-yang-agak-horor itu membangunkanku pagi-pagi sekali. Aku masih terkantuk-kantuk di badan untuk meminta tidur kembali, tetapi kepalaku sudah mengatakan ini adalah waktunya untuk bangun, sehingga yang ada dalam ragaku sebuah konflik antara dua adidaya yang sIbuk dalam perang dinginnya. Tapi aku memilih tetap terbangun, untuk memulai kehidupan di hari ini.
Pagi-pagi seperti ini, aku mengambil air wudhu di kamar mandi untuk bersiap-siap solat subuh. Subuh ini ada yang janggal dalam firasatku. Entah kenapa jam segini tak terdengar sama sekali suara azan subuh yang berkumandang, ataukah aku yang bangunnya yang telat dari azan subuh? Aku mencoba meyakinkan dengan keluar dari kamar mandi menuju jendela jendela depan rumahku.
Serdadu cahaya jingga dengan tenangnya masuk dari jendela yang kubuka dari tirainya. Matahari senja ternyata sumber cahayanya. Aku tersentak kaget akan hal ini. Apakah aku tadi sekedar tidur siang? Mungkin aku saja yang terlalu lelah sehingga tadi tidur siang tadi. Sepertinya harus solat ashar karena jam 3 sore sudah kebablasan waktunya, dan berarti sekarang adalah setengah 5 sore di jam dinding analog rumahku.
Aku mencoba mengambil sarung dan sajadah di laci meja kamarku. Meja kamar yang tadi menjadi aktivitasku ketika bangun pagi untuk melihat jam alarm digital. Eh sebentar, terdapat hal aneh ketika aku mendekati meja kamarku. Entah apa yang ganjil, aku hanya bisa berdiam berdiri memandang meja kecil yang sudah tua itu. Jam digital itu menunjukkan 4.35 AM dengan detiknya yang berkedap-kedip menampilkan titik dua yang malu-malu memandangku.
Astaga, jam itu menunjukkan setengah lima lewat lima menit pagi!
Jamku tidak rusak. Baru saja aku membelinya 3 hari yang lalu. Lantas kenapa ini?
Segera aku mengecek handphoneku untuk mengetahui kebenaran jam yang relevan.
04:35
04:35 ?! Apa-apaan ini? Aku segera keluar rumah dengan wajah panik dengan kebingungan ini. Ini gila!
Ketika aku telah di luar rumah aku melihat penampakan yang asing dan ganjil bagiku untuk menalarinya dengan otak logisku. Aku mendengar suara teriakan yang ramai yang rusuh. Orang-orang berlarian tidak karuan di hadapanku, mereka rusuh dan resah satu sama lain akan kepanikan masing-masing mencoba lari dari sesuatu yang sepertinya mustahil untuk bersembunyi, mereka juga bertengkar satu sama lain. Aku masih memandang terheran-heran akan keadaan yang semakin tidak karuan. Ternyata matahari telah terbit dari ufuk barat.
“Kiamat!” teriak orang paling lantang berhuru-hara. Mataku terbelalak.
Tiba-tiba langit senja di atasku mulai memunculkan garis-garis hitam yang kemudian menjalar dan bercabang ke seluruh penjuru. Perlahan-lahan garis-garis hitam itu seperti retakan besar dan menghasilkan serpihan-serpihan bubuk emas langit berjatuhan bagai plafon kayu retak menebarkan serbuk-serbuk kayu. Kemudian langit terpecah seperti beling-beling rontok. Kemudian muncul semilyar bintang di langit gelap yang kemudian berjatuhan tak tahu arah.
Aku tak bisa kemana-mana. Aku panik. Aku hanya bisa diam dengan keadaan membingungkan.
Kemudian muncullah gempa dengan skala kecil. Aku berlari ketakutan mencoba menghindari bangunan-bangunan yang bisa saja menibanku. Aku mengikuti orang-orang lainnya yang makin berhuru-hara karena gempa yang terasa. Gempa membuatku dan orang-orang lainnya berlari-lari bagai rombongan rayap dikejar kapur barus.
Aku berharap ini hanyalah mimpi, dan mimpi tadi adalah mimpi dalam mimpi. Tapi jika ini hanyalah mimpi yang diputar seperti bioskop, dimana pintu keluar itu? Dimana kunci itu? Sudah waktunya keluar di klimaks ini kah? Atau harus menunggu koda? Aku berusaha menyadarkan diriku untuk meyakinkan ini adalah mimpi dengan berbagai macam cara. Sia-sia ternyata segala usahaku, mencubit diri, memukul diri, dan memukul kepala untuk menyadarkan diri, sedangkan ternyata aku memang benar-benar bukan di alam mimpi. Ini alam nyata!
Kemudian gempa bumi makin berguncang dengan skala yang lebih besar. Membuat tanah mengeluarkan retakan-retakan yang menjalar seperti akar pohon berpencar mencari sumber air. Dari retakan-retakan kemudian menjadi rekahan-rekahan besar seperti sungai Musi yang menduplikat diri. Beberapa tanah sudah terperanjat jatuh ke bawah dengan beberapa bangunan megah dan manusia yang ada di atasnya.
Aku hanya berlari tak tahu arah hingga aku terperangkap pada tanah yang kupijak itu sendiri. Aku tak bisa menentukan tanahku kah yang jatuh atau tanahku yang terangkat, sebab aku sudah mulai merasakan kehilangan berat badanku. Aku kehilangan gravitasi. Berkeliling sekitar tempat yang bisa aku dan para orang-orang lain lakukan pada fragmen-fragmen besar tanah yang telah terpisah-pisah. Tentu saja aku meyakini, bumi telah terpecah-pecah. Isi perut bumi saja keluar dari segala sisi, bahkan karena bumi sudah terpecah-pecah membuatnya seperti menciptakan planet-planet kecil dengan warna biru tergradasi hijau dan merah.
Aku tak bisa menentukan apa jadinya aku. Tetapi di tengah pikiranku yang makin menggila dengan kehancuran ini, aku melihat meja kokoh berdiri di atas puing-puing yang telah berjatuhan. Tentu saja ini adalah hal yang menganehkan dalam pikir hal logisku yang sedang panik. Jika sedang terjadi goncangan besar dan kehilangan gravitasi, bukankah sudah sewajarnya semua bergoncang? Tetapi lain dengan meja ini, meja ini tetap kokoh berdiri di antara puing-puing runtuh. Hal gila apa lagi yang membuatku makin menggila di antara kejadian-kejadian gila ini?
Itu meja kamarku! Jam alarm digitalku masih berdiri kokoh disaat seluruh bangunan sudah runtuh. Jam alarmku dengan gagahnya berani menunjukan waktu yang masih sejuk di pagi hari. 6.40 AM.
“Awas!” seru seseorang sambil berlari ke suatu arah, dan diikuti suara riuh berlarian mengindari sesuatu dari arah berlainannya.
Muncul magma yang mulai mengalir dari ujung patahan mengalir mengarahku. Aku melihatnya bagai api yang mulai mengarak kami dari tempat asalnya. Aku memilih berlari kencang bersama orang-orang lainnya. Tetapi mataku masih saja tertuju kepada meja tersebut. Ia sepertinya memberi tanda akan sesuatu yang berbeda dari hal gila lainnya. Mungkinkah ini penolong?
Aku kemudian berlari ke arah meja itu. Tak dapat ditentukan manakah utara, selatan, timur dan barat. Jika magma ini dari barat menuju timur, aku berlari menuju alarmku yang berada di utaranya. Aku yakin sekali, ada yang bisa berfungsi di dunia gila ini dengan benda itu. Bila aku salah, maka meja dan alarm ini akan menjadi hal yang pertama dan terakhir kulihat di detik-detik akhir peradaban dunia.
Aku kemudian berjongkok di bawah meja mengharapkan mukjizat di antara kerumunan manusia yang berlarian dari magma. Aku akui dewasa ini alam raya terperkosa dengan segala propaganda atas nama pengetahuan. Aku akui zaman ini moral ditinggalkan, wanita menjadi budak atas kelaminnya, percintaan sesama jenis adalah hak yang berhulu dari kenafsuan, orang penyebar hoax dipercaya daripada pewarta nyata. Aku akui zaman ini dunia menua, kutub telah mencair, krisis air sudah terjadi dimana-mana, radiasi tersebar secara gulita. Aku hanya bisa menangis dalam perenungan itu di antara teriakan-teriakan manusia egois dalam nafsunya yang perlahan-lahan termakan hangus oleh magma yang menjalar.
Aku merasa panas. Magma telah mendekat kepada tempatku bersembunyi. Suara terompet raksasa berbunyi di antara bebintang yang meruntuh. Aku menutup telinga dan mataku. Aku pasti mati. Aku mencoba berdoa, walaupun aku tahu Tuhan tak lagi memeluk kata maafku.
Air laut kemudian bersatu dengan magma. Bintang-bintang runtuh menjadi benda-benda raksasa jatuh memperkosa bumi bersamaan. Mentari mendekat. Magma mencoba menggrayangi tubuhku. Aku terbakar.
Kemudian mendekat suara nenek tua yang sama seperti bisikan. “Hanya kau... hanya kau... hanya kau...”
“Hanya aku? Iya! Tetapi kenapa?!” Seruku dalam rintihan menantang bisikkan.
Suara itu tertawa mencekik jantungku. “Kau tahu? hanya kau manusia yang ingin beribadah, di saat semua sudah lupa akan waktu untuk beribadahnya”. Ia kemudian tertawa seperti ada yang lucu.
“Kau satu-satunya orang beriman yang menyaksikan penderitaan manusia itu sendiri!”
Kemudian pintu bioskop terbuka. Aku masih di bawa meja yang berada di atas reruntuhan, yang ada di tengah-tengah tanah lapang gelap. aku terbelalak ketakutan sendiri. Alarmku berbunyi.

***

You May Also Like

0 komentar