LE SURVIVANT
Apa
kamu tahu apa itu mimpi? Biar aku jelaskan padamu. Mimpi bagiku ialah hasil
dari perfilman yang dilakukan oleh lembaga produksi film dari mata, yang
kemudian disimpan dalam DVD otak yang
kemudian diproyeksikan dalam bioskop premier
ketika kita sudah merasa lelap. Seringkali film bioskop yang muncul dalam lelap
itu menyetelkan film yang tidak kita duga, dan belum tentu kita suka.
Mimpi
juga memiliki kunci pintu keluar yang selalu muncul jika kita menonton mimpi
horor yang sedang diputar untuk terbangun kembali. Pintu dan kunci tersebut
biasanya muncul ketika sudah klimaks atau koda dalam film tersebut. Dan
sialnya, ketika kita terbangun dari tidur, film yang bagus-bagus itu hangus
begitu saja atau sebagiannya saja sehingga kita banyak melupakan bagian terpenting
dari mimpi itu sendiri. Seolah kunci itu memutar pintu kesadaran dengan
sendirinya sehingga kita tertutup dari dalam studio itu sendiri.
Bicara
soal mimpi, aku bermimpi dalam baringanku di atas kasurku, aku berbaring
menghadap kiri. Awalnya aku merasa nyaman dengan kelelapanku dalam tidur di
atas sprei lembut yang memanjakan tubuhku. Namun, tiba-tiba ada yang ganjil di
telinga kananku. Aku seperti mendengar sesuatu yang berbisik di telingaku.
Tiba-tiba
di samping kananku ada seseorang nenek tua berwajah menyeramkan dengan mata
yang memutih berdiri membisikkan sesuatu ke telingaku. Tentu saja aku terkaget
akan kehadirannya yang seperti memandangku secara dingin di sampingku. Aku
mencoba lari menjauhinya. Tetapi, aku seperti terikat di ranjangku. Aku tak
mampu berkutik untuk kabur. Apakah aku
kena tindihan?
Ia
berbisik tetapi mulutnya terbuka lebar di dekat daun telingaku, tetapi aksinya
seperti sedang berbisik kepadaku dengan suara yang aneh. Aku tetap tak bisa
berkutik akan hal ini. Suara yang dikeluarkan nenek itu aneh seperti keramaian
yang keluar dari mulutnya yang semakin lama semakin melebar diameter mulutnya
menganga. Suara itu berawal dari bisikan pelan kemudian berubah menjadi suara
jeritan. Jeritan yang ramai. Jeritan umat manusia.
“Hanya
kau, hanya kau, hanya kau...” Ia berkata di antara jeritan-jeritan itu dengan
suara paraunya yang mencoba menyentuh jantungku. Kemudian pintu sadarku muncul
di hadapanku dan terbuka dengan kunci yang muncul di depan hidungku.
***
Tubuhku
memucat mengingat kembali dengan mimpi yang terputar dalam rekaman kualitas HD
yang membuatku terbangun barusan. Aku hanya bisa terduduk di samping ranjang
supaya menyadarkan diri kalau yang terjadi semalam hanyalah mimpi belaka.
Jam
digital alarmku di atas meja samping ranjangku menunjukan pukul setengah 5
pagi, mungkin mimpi aneh-yang-agak-horor itu membangunkanku pagi-pagi sekali.
Aku masih terkantuk-kantuk di badan untuk meminta tidur kembali, tetapi
kepalaku sudah mengatakan ini adalah waktunya untuk bangun, sehingga yang ada
dalam ragaku sebuah konflik antara dua adidaya yang sIbuk dalam perang
dinginnya. Tapi aku memilih tetap terbangun, untuk memulai kehidupan di hari
ini.
Pagi-pagi
seperti ini, aku mengambil air wudhu di kamar mandi untuk bersiap-siap solat
subuh. Subuh ini ada yang janggal dalam firasatku. Entah kenapa jam segini tak
terdengar sama sekali suara azan subuh yang berkumandang, ataukah aku yang
bangunnya yang telat dari azan subuh? Aku mencoba meyakinkan dengan keluar dari
kamar mandi menuju jendela jendela depan rumahku.
Serdadu
cahaya jingga dengan tenangnya masuk dari jendela yang kubuka dari tirainya.
Matahari senja ternyata sumber cahayanya. Aku tersentak kaget akan hal ini. Apakah aku tadi sekedar tidur siang?
Mungkin aku saja yang terlalu lelah sehingga tadi tidur siang tadi. Sepertinya
harus solat ashar karena jam 3 sore sudah kebablasan
waktunya, dan berarti sekarang adalah setengah 5 sore di jam dinding analog
rumahku.
Aku
mencoba mengambil sarung dan sajadah di laci meja kamarku. Meja kamar yang tadi
menjadi aktivitasku ketika bangun pagi untuk melihat jam alarm digital. Eh sebentar,
terdapat hal aneh ketika aku mendekati meja kamarku. Entah apa yang ganjil, aku
hanya bisa berdiam berdiri memandang meja kecil yang sudah tua itu. Jam digital
itu menunjukkan 4.35 AM dengan detiknya yang berkedap-kedip menampilkan titik
dua yang malu-malu memandangku.
Astaga, jam itu menunjukkan setengah
lima lewat lima menit pagi!
Jamku
tidak rusak. Baru saja aku membelinya 3 hari yang lalu. Lantas kenapa ini?
Segera
aku mengecek handphoneku untuk
mengetahui kebenaran jam yang relevan.
04:35
04:35
?! Apa-apaan ini? Aku segera keluar
rumah dengan wajah panik dengan kebingungan ini. Ini gila!
Ketika
aku telah di luar rumah aku melihat penampakan yang asing dan ganjil bagiku
untuk menalarinya dengan otak logisku. Aku mendengar suara teriakan yang ramai
yang rusuh. Orang-orang berlarian tidak karuan di hadapanku, mereka rusuh dan
resah satu sama lain akan kepanikan masing-masing mencoba lari dari sesuatu
yang sepertinya mustahil untuk bersembunyi, mereka juga bertengkar satu sama
lain. Aku masih memandang terheran-heran akan keadaan yang semakin tidak
karuan. Ternyata matahari telah terbit dari ufuk barat.
“Kiamat!”
teriak orang paling lantang berhuru-hara. Mataku terbelalak.
Tiba-tiba
langit senja di atasku mulai memunculkan garis-garis hitam yang kemudian
menjalar dan bercabang ke seluruh penjuru. Perlahan-lahan garis-garis hitam itu
seperti retakan besar dan menghasilkan serpihan-serpihan bubuk emas langit
berjatuhan bagai plafon kayu retak menebarkan serbuk-serbuk kayu. Kemudian
langit terpecah seperti beling-beling rontok. Kemudian muncul semilyar bintang
di langit gelap yang kemudian berjatuhan tak tahu arah.
Aku
tak bisa kemana-mana. Aku panik. Aku hanya bisa diam dengan keadaan
membingungkan.
Kemudian
muncullah gempa dengan skala kecil. Aku berlari ketakutan mencoba menghindari
bangunan-bangunan yang bisa saja menibanku. Aku mengikuti orang-orang lainnya
yang makin berhuru-hara karena gempa yang terasa. Gempa membuatku dan
orang-orang lainnya berlari-lari bagai rombongan rayap dikejar kapur barus.
Aku
berharap ini hanyalah mimpi, dan mimpi tadi adalah mimpi dalam mimpi. Tapi jika
ini hanyalah mimpi yang diputar seperti bioskop, dimana pintu keluar itu?
Dimana kunci itu? Sudah waktunya keluar di klimaks ini kah? Atau harus menunggu
koda? Aku berusaha menyadarkan diriku untuk meyakinkan ini adalah mimpi dengan
berbagai macam cara. Sia-sia ternyata segala usahaku, mencubit diri, memukul
diri, dan memukul kepala untuk menyadarkan diri, sedangkan ternyata aku memang
benar-benar bukan di alam mimpi. Ini alam nyata!
Kemudian
gempa bumi makin berguncang dengan skala yang lebih besar. Membuat tanah
mengeluarkan retakan-retakan yang menjalar seperti akar pohon berpencar mencari
sumber air. Dari retakan-retakan kemudian menjadi rekahan-rekahan besar seperti
sungai Musi yang menduplikat diri. Beberapa tanah sudah terperanjat jatuh ke
bawah dengan beberapa bangunan megah dan manusia yang ada di atasnya.
Aku
hanya berlari tak tahu arah hingga aku terperangkap pada tanah yang kupijak itu
sendiri. Aku tak bisa menentukan tanahku kah yang jatuh atau tanahku yang
terangkat, sebab aku sudah mulai merasakan kehilangan berat badanku. Aku
kehilangan gravitasi. Berkeliling sekitar tempat yang bisa aku dan para
orang-orang lain lakukan pada fragmen-fragmen besar tanah yang telah
terpisah-pisah. Tentu saja aku meyakini, bumi telah terpecah-pecah. Isi perut
bumi saja keluar dari segala sisi, bahkan karena bumi sudah terpecah-pecah
membuatnya seperti menciptakan planet-planet kecil dengan warna biru tergradasi
hijau dan merah.
Aku
tak bisa menentukan apa jadinya aku. Tetapi di tengah pikiranku yang makin
menggila dengan kehancuran ini, aku melihat meja kokoh berdiri di atas
puing-puing yang telah berjatuhan. Tentu saja ini adalah hal yang menganehkan
dalam pikir hal logisku yang sedang panik. Jika sedang terjadi goncangan besar
dan kehilangan gravitasi, bukankah sudah sewajarnya semua bergoncang? Tetapi
lain dengan meja ini, meja ini tetap kokoh berdiri di antara puing-puing runtuh.
Hal gila apa lagi yang membuatku makin menggila di antara kejadian-kejadian
gila ini?
Itu
meja kamarku! Jam alarm digitalku masih berdiri kokoh disaat seluruh bangunan
sudah runtuh. Jam alarmku dengan gagahnya berani menunjukan waktu yang masih
sejuk di pagi hari. 6.40 AM.
“Awas!”
seru seseorang sambil berlari ke suatu arah, dan diikuti suara riuh berlarian
mengindari sesuatu dari arah berlainannya.
Muncul
magma yang mulai mengalir dari ujung patahan mengalir mengarahku. Aku
melihatnya bagai api yang mulai mengarak kami dari tempat asalnya. Aku memilih
berlari kencang bersama orang-orang lainnya. Tetapi mataku masih saja tertuju
kepada meja tersebut. Ia sepertinya memberi tanda akan sesuatu yang berbeda
dari hal gila lainnya. Mungkinkah ini
penolong?
Aku
kemudian berlari ke arah meja itu. Tak dapat ditentukan manakah utara, selatan,
timur dan barat. Jika magma ini dari barat menuju timur, aku berlari menuju
alarmku yang berada di utaranya. Aku yakin sekali, ada yang bisa berfungsi di
dunia gila ini dengan benda itu. Bila aku salah, maka meja dan alarm ini akan
menjadi hal yang pertama dan terakhir kulihat di detik-detik akhir peradaban
dunia.
Aku
kemudian berjongkok di bawah meja mengharapkan mukjizat di antara kerumunan
manusia yang berlarian dari magma. Aku akui dewasa ini alam raya terperkosa
dengan segala propaganda atas nama pengetahuan. Aku akui zaman ini moral
ditinggalkan, wanita menjadi budak atas kelaminnya, percintaan sesama jenis
adalah hak yang berhulu dari kenafsuan, orang penyebar hoax dipercaya daripada pewarta nyata. Aku akui zaman ini dunia
menua, kutub telah mencair, krisis air sudah terjadi dimana-mana, radiasi
tersebar secara gulita. Aku hanya bisa menangis dalam perenungan itu di antara
teriakan-teriakan manusia egois dalam nafsunya yang perlahan-lahan termakan
hangus oleh magma yang menjalar.
Aku
merasa panas. Magma telah mendekat kepada tempatku bersembunyi. Suara terompet
raksasa berbunyi di antara bebintang yang meruntuh. Aku menutup telinga dan
mataku. Aku pasti mati. Aku mencoba berdoa, walaupun aku tahu Tuhan tak lagi
memeluk kata maafku.
Air
laut kemudian bersatu dengan magma. Bintang-bintang runtuh menjadi benda-benda
raksasa jatuh memperkosa bumi bersamaan. Mentari mendekat. Magma mencoba
menggrayangi tubuhku. Aku terbakar.
Kemudian
mendekat suara nenek tua yang sama seperti bisikan. “Hanya kau... hanya kau...
hanya kau...”
“Hanya
aku? Iya! Tetapi kenapa?!” Seruku dalam rintihan menantang bisikkan.
Suara
itu tertawa mencekik jantungku. “Kau tahu? hanya kau manusia yang ingin beribadah,
di saat semua sudah lupa akan waktu untuk beribadahnya”. Ia kemudian tertawa
seperti ada yang lucu.
“Kau
satu-satunya orang beriman yang menyaksikan penderitaan manusia itu sendiri!”
Kemudian
pintu bioskop terbuka. Aku masih di bawa meja yang berada di atas reruntuhan,
yang ada di tengah-tengah tanah lapang gelap. aku terbelalak ketakutan sendiri.
Alarmku berbunyi.
***