JAYA
Rambut
beruban terang di malam hari dengan plontos ditengahnya menandakan usianya
lebih dari 60 tahun, keriput di dahinya pun berkata-kata mengatakan usia yang
tak lagi muda, kacamata dengan frame
besar mengitari matanya yang sayu berbola mata sedikit abu-abu, badan yang tak
kuat lagi karena termakan usia itu hanya terduduk di sofa klasik era 70an yang
reyot termakan usia. Ia hanya duduk termenung di sofa ruang tengah panti
bersama pengasuhnya yang tidak pernah berhenti-hentinya mengingatkan hal
sesuatu yang kecil karena ingatannya sudah termakan pula dengan usia.
Jaya namanya. Hampir seluruh panti jompo
mengenalnya yang berbulan-bulan selalu kesepian tak ada yang pernah
mengunjunginya, tak ada keluarga yang berkunjung untuknya untuk sekedar
mengatakan kangen, rindu, maupun memberikannya seikat bunga. Ia selalu sendiri
tak memiliki siapa-siapa di luar panti. Hanya Mayang sebagai pengasuhnya yang
selalu menemaninya menghabiskan hidup di dalam penekanan kesepiannya yang
sejujurnya begitu mendalam.
Bukannya
tak ada yang mau berkunjung dengannya, ia bahkan tak memiliki siapa-siapa di
luar sana. Bahkan jika memang ada siapa-siapa di luar sana, Jaya pun tak akan ingat siapa yang menjadi
bagian darinya yang ada di luar sana, yang ia ingat hanya Mayang sebagai pengasuhnya.
Wajar bila saja dia menjadi pikun, sebab penyakit amnesianya makin lama makin
parah sehingga menyebabkan hal-hal remeh-temeh pun ia sudah lupa, bagaimana
memegang cangkir, bagaimana cara makan mie menggunakan sumpit, bagaimana cara
menulis pesan, ia sudah lupa akan hal-hal itu. Mungkin, dia mengalami kesedihan
mendalam sehingga menjadikannya harus melupakan banyak hal untuk melupakan
kesedihannya itu. Tetapi hanya satu lagi yang ia ingat akan kenapa ia harus
melupakannya. Hanya ia yang tahu.
Semua
barang-barang pribadi yang dimiliki seluruh manula, semuanya dibawa di panti
sebagai penghibur akan kesepian untuk menyenangkan hati. Dan biasanya yang
mereka bawa adalah barang-barang favorit mereka yang mereka yang cenderung
aneh-aneh bagi orang-orang jaman sekarang. Wajarlah mereka sudah melewati masa
muda, barang-barang yang mungkin menurut para manula keren itu sudah kadaluarsa
masa trendnya untuk dianggap keren oleh anak muda jaman sekarang.
Tetapi
lain dengan Jaya, ia beranjak dari sofa
menuju lemarinya di kamar dengan tuntunan Mayang agar ia tidak salah
lemari. Jaya ternyata menyimpan bando,
untuk apa sebuah bando disimpan di dalam lemari seorang manula? Mungkin ada
sesuatu yang bercerita dari bando tersebut.
Jaya kembali duduk di sofa ruang tengah dengan bando di tangannya,
bersama Mayang. Jaya nampak terduduk
rileks dengan menghela napasnya panjang-panjang.
“Siapa
kau?” Tiba-tiba Jaya menatap Mayang
berat-berat memikir.
“Mayang,
kek.” Wanita itu menjawab dengan pelan, tetapi dia sebenarnya terkejut.
Amnesia Jaya semakin parah sehingga bisa
melupakan dirinya yang selalu bersamanya.
“Mayang?”
Mayang
mengangguk.
Jaya mengarahkan bola matanya ke arah
langit-langit mencoba mengingat-ingat.
“Pergi
kamu, aku tak mengenalmu!” Jaya
membentak mengusir dengan suara paraunya.
Mayang
terkaget dan tidak menyangka Jaya
melupakan dirinya dengan begitu cepat karena amnesianya. Ia memilih beranjak
dari Jaya dan melaporkannya kepada
kepala Panti agar Jaya segera diperiksa
dan diobati.
Kemudian Jaya sendiri di sofa, tangannya memegang
bando yang sedari tadi dia bawa. Ia sedikit berpikir keras, kenapa bando ini
dibawa olehnya, dan siapa pemilik bando ini. Ia berpikir keras untuk
mengingat-ingat pikirannya yang semakin memudar karena termakan usianya yang
senja. Kemudian dalam pikirnya yang kelabu memori, seolah bando itu menjadi
pemancar cahaya bagi gelapnya ingatannya dari apa-apa. Jaya seperti berhasil mengingat kembali dalam
pikirannya tentang bando yang sedang ia pegang kali ini, namun Jaya tidak begitu yakin akan hal itu,
wajahnya sepertinya menyesali bertindak bodoh untuk dahulu memilih melupaan
banyak hal demi hal terpenting ini. Jaya
akhirnya teringat bahwa dia pernah mencoba melupakan segala hal, sebuah titik
cerah muncul dalam badai di pikirannya.
“Untuk
Purnama. Kekasihku” Ucap Jaya membaca
tulisan yang ada di bagian dalam bando tersebut.
Kemudian
ia menyenderkan punggungnya ke pada senderan sofa kemudian mengadah ke atas,
seraya menghela nafas ia mencoba mengambil kembali memorinya yang lalu untuk
memutar kembali waktu mengingat siapa itu Purnama. Tentu saja akhirnya dia
ingat, dia jelas-jelas berhasil mengingat nama itu, tetapi masih samar
mengingat wajah pemilik nama itu. Jaya
melepas senderan dan memrungkuh memerhatikan kembali bando warna merah muda
yang ia pegang itu.
Dalam
rungkuhannya, ia memejamkan mata memohon kembali dibukakan kembali ingatannya
yang sepertinya begitu berarti di masa hidupnya sebelum pintu menuju Tuhan
dibukakan untuknya, pintu keabadian. Rungkuhnya seperti berdoa ke pada bando
yang tak bisa menjawab seperti pengabulan doa, tetapi ia masih memohon, tapi ia
bukan penye berhala, ia hanya lupa Tuhannya siapa walaupun ia masih percaya
akan adanya Tuhan.
***
Seorang
wanita muda menangis berdiri mematung di ruang tamu dengan memegang selembar
foto. Wanita itu meneteskan air mata yang jatuh pada lantai ruangannya, makin
lama ia menangis bahkan ruangan itu bisa saja tenggelam dengan air matanya.
Tangisnya itu yang membuat kesedihannya terjadi.
Foto
yang digenggam wanita itu adalah Jaya berusia berkepala dua dan masih kuat daa.
Dalam foto itu selain ada Jaya, terdapat seorang wanita yang begitu mesra
merangkulnya dengan mesra bak seorang yang berpacaran. Foto itu seperti menjadi
pedang tajam yang sudah tertancap di dada wanita itu, tetapi ia tak mau
mencabutnya seperti sudah nyaman dengan rasa sakit yang telah mendalam.
Wanita
itu melepas bando merah muda itu dan meletakannya ke dada sebagai pengobat luka
dari tancapan pedang cemburu itu. Ia kian menangis
“Mama?”
Jaya memanggilnya dengan terheran. Suaranya saat itu masih belum parau.
“Mama,
sedang apa kamu? Kenapa kamu menangis?” Jaya mendekatinya.
Wanita
itu menolehJaya dengan tatapan sedih yang berubah menjadi tatapan kebencian
dengan wajah yang tadinya membiru karena tersedu menjadi mendidih karena sedih
berubah jadi emosi.
“Buaya!
Ini aku istri kamu, Jaya. Purnama nama istri kamu, bukan wanita ini.” Wanita
itu melemparkan bando warna merah jambunya ke arah Jaya, ia meledak-ledak.
“Mama.” Jaya berusaha menenangkan istrinya.
“Kita
sudah menikah 20 tahun, Jaya. Ternyata masih menjadi buaya rupanya”
“Mama,
dengarkan aku dulu–“
“Tega-teganya
kamu masih memiliki foto ini, rajungan!” Purnama bergegas keluar rumah sambil
memakan cemburu yang sudah meluber-luber entah kemana.
Jaya hanya diam menatap Purnama pergi tak tahu
arah. Ia merasa bingung entah harus berlaku apa untuk tegar dan tak
membiarkannya pergi. Bunga pujaannya sakit karena ia sendiri yang menyakitinya.
Penuh sesal ia menatap jejak Purnama berlari.
***
Bel
istirahat sekolah terdengar, para remaja berseragama putih abu-abu berhamburan
keluar dari kelas. Para siswa SMA itu seolah mendengar nyanyian musik merdu
sehingga menari-nari dalam kegembiraan di waktu senggang. Celana cingkrang
menjadi gaya yang nyentrik bagi siswa pria sehingga mereka beberapa berlarian
agar tak dikejar oleh guru karena celana mereka yang tidak mengikuti
persyaratan peraturan sekolah.
Meja-meja
makan panjang di kantin begitu sumpek dengan para pelajar yang sedang memakan
makanan jajanannya. Begitu juga meja yang ditempati oleh Jaya yang sudah
dipenuhi oleh anak-anak sekolahannya, ia hanya sedang terduduk memakan mie ayam
kesukaannya yang baru saja dibeli. Ia memang sudah berlangganan untuk makan mie
ayam yang konon baginya seenak buatan ibunya sendiri di rumah.
Saat
Jaya sedang melahap-lahap mie ayamnya, ada seorang siswi yang sedang membawa
semangkuk bakso terbingung mencari tempat duduk untuk makan. Jaya yang sedang
asik melahap tak sengaja melihat siswi yang pelanga-pelongo
mencari tempat makan. Wajah perempuan itu tampak sudah terlalu bingung dan
kasihan untuk mencari tempat yang lowong, karena kasihannya itu Jaya memanggil
perempuan yang sedang dalam kebingungan itu untuk duduk di dekatnya, kemudian
perempuan itu mendatanginya dan Jaya menggeser sedikit untuk memberinya tempat
duduk. Perempuan itu duduk dan mengucapkan terima kasih serta memberikan
senyuman dan memakan bakso yang dipesannya .
Tiba-tiba
Jaya tidak bisa memakan mie ayamnya dan sedikit enyuman perempuan itu tiba-tiba
saja mampu mendinginkan kuah mie ayam Jaya yang panas. Senyuman perempuan SMA
itu juga berhasil mengubah cuka pada mie ayam Jaya menjadi gula cair yang
manis, Jaya ternyata terpukau. Jaya ternyata jatuh hati kepadanya.
***
Selang
beberapa waktu, Jaya mengetahui nama perempuan yang telah mengikat hatinya
dengan senyuman. Namanya adalah Purnama, dia hanya selisih 2 ruangan kelas dari
ruang kelas Jaya. Semakin waktu telah berlalu juga, Jaya berpacaran dengan
Purnama dan sering sekali izin keluar kelas hanya untuk bertemu dengan Purnama.
Maklum saja, saat itu sedang populer-populernya lagu Kisah-Kasih di Sekolah
oleh Obie Mesakh.
Pernah
suatu ketika Jaya keluar dari kelas untuk bertemu Purnama di tempat biasa
bertemu berdua-duaan di kantin untuk memakan makanan favoritnya masing-masing.
Di kantin yang sepi karena jam pelajaran itu, Jaya dengan memberanikan diri
memberikan Purnama sebuah bando pink yang cantik untuknya, dengan malu-malu
penuh keberanian diri ia memberikannya. Purnama menerima bando itu. Purnama
tersipu malu dengan pipi yang memerah sambil mengucapkan terimakasih dengan
senyumannya yang memang membuat Jaya makin sayang kepadanya.
“Aku
mencintaimu. Aku berjanji padamu, aku akan melindungimu hingga kamu aman
bersamaku, selamanya sampai kita tua, sampai jadi debu aku di liang yang satu,
aku di sebelahmu.” Ucap Jaya.
Purnama
hanya tersipu. Hanya mengatakan “Gombal ih”, dan kemudian ia mengacungkan jari
kelingkingnya kepada Jaya.
“Untuk
apa?” tanya Jaya.
“Untuk
benar-benar kamu akan berjanji”
Jaya
kemudian tersenyum mengacungkan jari kelingkingnya juga dan mengaitkannya
dengan kelingking Purnama.
Bel
pergantian jam pelajaran berganti, Purnama pamit meninggalkan Jaya untuk
kembali ke kelasnya dengan masih mengenakan bando merah muda dari Jaya. Jaya
mempersilahkan dan Jaya masih bolos kelas karena kelasnya belum pergantian jam.
Ia memilih menongkrong menimati semilir angin pagi setengah siang di kantin
sekolah. Purnama melambaikan tangannya dengan senyuman yang manis.
Setelah
Purnama pergi, Jaya hanya duduk-duduk sambil meminum es teh manis untuk
menikmati harinya, merenggangkan sendi-sendinya dan menguap-nguap kebosanan
tetapi tak ada niat untuk masuk ke kelas kembali, toh tadi sudah izin dengan alasan sakit perut untuk ke toilet dan
UKS. Jaya membolos bukan berarti dia bandel, melainkan dia hanya tak menyukai guru
pelajarannya sekarang.
“Heh
kamu, sendirian aja.” Tiba-tiba ada suara perempuan yang menegurnya. Ternyata
pemilik suara itu adalah Vivi, seorang primadona sekolah yang tak ternyata
bolos pelajaran juga.
Jaya
terkaget. “Aku?”
“Iya,
siapa lagi. Emang kamu lihat ada orang lain yang bolos selain kamu?”
“Kamu...”
Jaya menjawabnya dengan polos.
“ish, maksud aku, kenapa sendirian?”
“Cuma
pengen nongkrong aja...” Jaya
menjawabnya dengan datar, ia tidak suka dengan basa-basi sebenarnya.
Kemudian
Vivi duduk di sebelah Jaya dan menaruh soda yang dipesannya di meja, ia
menemani Jaya yang bolos karena dialah satu-satunya yang sedang bolos. Memang
Vivi sangat cantik dan menjadi primadona di sekolah, tetapi siapa sangka kalau
dia sering bolos kelas dan gampang bergaul dengan orang-orang. Tetapi dengan
bolos dengan Jaya, Vivi nampak aneh sepertinya kali ini, Vivi tertarik
dengannya Jaya. Vivi menatap mata Jaya dalam-dalam memberikan isyarat bahwa ia
tertarik dengannya.
“Vivi,
maaf aku tidak ingin bersamamu.” Jaya memahami gerak-gerik Vivi. Ya, Jaya
memang seorang yang peka terhadap komunikasi tersirat yang disampaikan wanita.
“Ya
ampun, Jaya. Tidakkah aku menarik bagimu? Tidakkah ingin berjalan-jalan
bersamaku?” Vivi memanjakan gerak-geriknya seperti menggoda.
“Menarik
kok, banget malahan.” Jawab Jaya
terpatah-patah.
“Kalau
begitu, kita pergi jalan-jalan saja, yuk,
Jaya.” Vivi berdiri.
Awalnya
Jaya memang tidak mau, tetapi beberapa kali diterjang godaan wanita kandas juga
hatinya. Mungkin dalam hati Jaya mengatakan “kapan lagi gue bisa jalan sama cewek
cakep.” Maka sejak itulah Jaya mulai menjadi seperti anjing peliharaan
Vivi, kemana-mana selalu bersamanya
***
“Jaya!”
Purnama terbelalak tidak menyangka. “Apa-apaan ini?”
Jaya
yang sedang makan sambil saling bersuapan dengan Vivi terkejut.
“Tega-teganya
kamu.” Purnama tiba-tiba mulai menangis.
Jaya
meletakkan kembali sendok yang semestinya ia berikan suapan kepada Vivi,
kemudian ia berjalan menuju Purnama.
Purnama
hanya menangis, dan melepaskan bando yang ia kenakan. “Berengsek!” Ia
melemparkannya ke arah Jaya sembari lari dalam tangisan.
“Purnama,
tunggu!” Jaya berusaha menggapainya, meski Vivi mencoba untuk Jaya tak
menghiraukan lagi Purnama. Jaya terus mengejarnya, penyesalan tumbuh dalam
hatinya, mencederai hati yang ia cintai setulus hatinya, setulus senyumannya,
setulus kesederhanaannya.
***
“Mama,
aku mencintaimu.” Jaya berteriak di belakang Purnama.
“Bohong!
Jika kau memang benar-benar mencintaiku, kenapa kamu masih menyisakan ruang
untuknya selama 20 tahun? Tidakkah itu membuatku tersakiti?” Jawab Purnama
sembari menatap ujung dari atap gedung tertinggi di desa itu. “Sadarlah, Jaya.
Jangan kamu sakiti hati wanita, wanita bisa mati karena sakit kecil yang
dianggap pria sepele!”
“Aku
sering sekali melihat pintu rumah terkunci di saat kamu sedang tidak bekerja,
apa yang sedang kau lakukan di dalamnya? Berselingkuh dengan dia kah?” Suara
Purnama semakin meninggi.
Jaya
hanya mengangguk dalam kesedihan.
“Saat
aku pergi berjalan-jalan, aku tak sengaja melihatmu bersama wanita dengan
bahagia 5 bulan yang lalu. Itu Vivi bukan?”
Jaya
mengangguk bersedih karena penyesalannya dicampur takutnya akan kehilangan
Purnama seorang wanita yang memang satu-satunya mencintainya apa adanya.
“Jaya,
ingatkah janji kita saat SMA, hingga kemudian janji itu kamu ucapkan di mimbar
pernikahan? kamu pernah bilang bahwa kamu akan melindungku dan aku akan selalu
aman bersamamu, selamanya sampai kita tua...”
“Sampai
jadi debu aku di liang yang satu, aku di sebelahmu.” Jaya melanjutkan.
“Sepertinya
janji tinggal janji. Kamu tidak akan bisa melindungiku kali ini”
***
Di
atas sofa itu, Jaya masih mengingat-ingat kembali kenangan bando merah jambu
yang ada dalam genggamannya. Ia nampak menyesali atas kebodohannya hingga
seperti ini. Seandainya waktu bisa berputar, dia lebih memilih melakukan hal
yang seharusnya dia lakukan agar tidak kehilangan kekasihnya. Sekarang ia hanya
bersedih merintih. Tetes air matanya menetes membahasahi tulisan “Untuk Purnama.
Kekasihku.”
Penuh
sesal dan ia mengucap berkali-kali janji yang ia ucapkan dulu yang muncul dalam
ingatannya. Aku akan melindungimu hingga
kamu aman bersamaku, selamanya sampai kita tua, sampai jadi debu aku di liang
yang satu, aku di sebelahmu.
“Kakek”
Suara parau wanita tua merusak lamunan kesedihan Jaya.
“Siapa
kamu?” Jaya bertanya dengan suaranya yang juga tidak muda lagi.
“Ini
aku, Purnama, tidakkah kamu ingat kepadaku, kakek Jaya?” jawabnya sambil
sedikit bercanda. Wanita itu muncul mengenakan gaun serba putih dengan wajah
tua yang kelelahan. Purnama mengambil bando warna merah jambu yang ada di
genggaman Jaya dan mengenakannya.
“Pu...Pu...Purnama?”
Setengah kaget Jaya memandang tak mempercayainya dan mendekatinya. Rasa
rindunya muncul kembali dalam tetesan air matanya yang kembali muncul
menatapnya
Jaya
memeluk Purnama. “Purnama, maafkan aku. Aku menyayangimu, janganlah kamu pergi
lagi. Aku menyesali diriku salah.”
Dalam
pelukkan, Purnama berbisik. “Kalau begitu, kita pulang yuk”
Jaya
menyetujuinya.
Kemudian
Purnama menggandeng tangan Jaya, dan membawa Jaya berjalan. Jaya tersenyum
karena bisa kembali menghabiskan waktu dengan orang yang terkasihnya sejak SMA.
Purnama pun tersenyum, senyumannya kini bagai bulan Purnama yang bersinar
terang di malam hari. Purnama membawa Jaya ke luar ruangan, menuju tempat yang
berselimut cahaya.
Brakk!
Brakk!
Jaya
terjatuh. Jasadnya tak lagi bernyawa dengan tangannya yang masih memegang bando
warna merah jambu.
NB: Cerpen ini
menggunakan penggalan kalimat dari lagu Banda Neira – Sampai Jadi Debu