Featured

JAYA

by - Maret 27, 2017


Rambut beruban terang di malam hari dengan plontos ditengahnya menandakan usianya lebih dari 60 tahun, keriput di dahinya pun berkata-kata mengatakan usia yang tak lagi muda, kacamata dengan frame besar mengitari matanya yang sayu berbola mata sedikit abu-abu, badan yang tak kuat lagi karena termakan usia itu hanya terduduk di sofa klasik era 70an yang reyot termakan usia. Ia hanya duduk termenung di sofa ruang tengah panti bersama pengasuhnya yang tidak pernah berhenti-hentinya mengingatkan hal sesuatu yang kecil karena ingatannya sudah termakan pula dengan usia.
 Jaya namanya. Hampir seluruh panti jompo mengenalnya yang berbulan-bulan selalu kesepian tak ada yang pernah mengunjunginya, tak ada keluarga yang berkunjung untuknya untuk sekedar mengatakan kangen, rindu, maupun memberikannya seikat bunga. Ia selalu sendiri tak memiliki siapa-siapa di luar panti. Hanya Mayang sebagai pengasuhnya yang selalu menemaninya menghabiskan hidup di dalam penekanan kesepiannya yang sejujurnya begitu mendalam.
Bukannya tak ada yang mau berkunjung dengannya, ia bahkan tak memiliki siapa-siapa di luar sana. Bahkan jika memang ada siapa-siapa di luar sana,  Jaya pun tak akan ingat siapa yang menjadi bagian darinya yang ada di luar sana, yang ia ingat hanya Mayang sebagai pengasuhnya. Wajar bila saja dia menjadi pikun, sebab penyakit amnesianya makin lama makin parah sehingga menyebabkan hal-hal remeh-temeh pun ia sudah lupa, bagaimana memegang cangkir, bagaimana cara makan mie menggunakan sumpit, bagaimana cara menulis pesan, ia sudah lupa akan hal-hal itu. Mungkin, dia mengalami kesedihan mendalam sehingga menjadikannya harus melupakan banyak hal untuk melupakan kesedihannya itu. Tetapi hanya satu lagi yang ia ingat akan kenapa ia harus melupakannya. Hanya ia yang tahu.
Semua barang-barang pribadi yang dimiliki seluruh manula, semuanya dibawa di panti sebagai penghibur akan kesepian untuk menyenangkan hati. Dan biasanya yang mereka bawa adalah barang-barang favorit mereka yang mereka yang cenderung aneh-aneh bagi orang-orang jaman sekarang. Wajarlah mereka sudah melewati masa muda, barang-barang yang mungkin menurut para manula keren itu sudah kadaluarsa masa trendnya untuk dianggap keren oleh anak muda jaman sekarang.
Tetapi lain dengan  Jaya, ia beranjak dari sofa menuju lemarinya di kamar dengan tuntunan Mayang agar ia tidak salah lemari.  Jaya ternyata menyimpan bando, untuk apa sebuah bando disimpan di dalam lemari seorang manula? Mungkin ada sesuatu yang bercerita dari bando tersebut.  Jaya kembali duduk di sofa ruang tengah dengan bando di tangannya, bersama Mayang.  Jaya nampak terduduk rileks dengan menghela napasnya panjang-panjang.
“Siapa kau?” Tiba-tiba  Jaya menatap Mayang berat-berat memikir.
“Mayang, kek.” Wanita itu menjawab dengan pelan, tetapi dia sebenarnya terkejut. Amnesia  Jaya semakin parah sehingga bisa melupakan dirinya yang selalu bersamanya.
“Mayang?”
Mayang mengangguk.
 Jaya mengarahkan bola matanya ke arah langit-langit mencoba mengingat-ingat.
“Pergi kamu, aku tak mengenalmu!”  Jaya membentak mengusir dengan suara paraunya.
Mayang terkaget dan tidak menyangka  Jaya melupakan dirinya dengan begitu cepat karena amnesianya. Ia memilih beranjak dari  Jaya dan melaporkannya kepada kepala Panti agar  Jaya segera diperiksa dan diobati.
Kemudian  Jaya sendiri di sofa, tangannya memegang bando yang sedari tadi dia bawa. Ia sedikit berpikir keras, kenapa bando ini dibawa olehnya, dan siapa pemilik bando ini. Ia berpikir keras untuk mengingat-ingat pikirannya yang semakin memudar karena termakan usianya yang senja. Kemudian dalam pikirnya yang kelabu memori, seolah bando itu menjadi pemancar cahaya bagi gelapnya ingatannya dari apa-apa.  Jaya seperti berhasil mengingat kembali dalam pikirannya tentang bando yang sedang ia pegang kali ini, namun  Jaya tidak begitu yakin akan hal itu, wajahnya sepertinya menyesali bertindak bodoh untuk dahulu memilih melupaan banyak hal demi hal terpenting ini.  Jaya akhirnya teringat bahwa dia pernah mencoba melupakan segala hal, sebuah titik cerah muncul dalam badai di pikirannya.
“Untuk Purnama. Kekasihku” Ucap  Jaya membaca tulisan yang ada di bagian dalam bando tersebut.
Kemudian ia menyenderkan punggungnya ke pada senderan sofa kemudian mengadah ke atas, seraya menghela nafas ia mencoba mengambil kembali memorinya yang lalu untuk memutar kembali waktu mengingat siapa itu Purnama. Tentu saja akhirnya dia ingat, dia jelas-jelas berhasil mengingat nama itu, tetapi masih samar mengingat wajah pemilik nama itu.  Jaya melepas senderan dan memrungkuh memerhatikan kembali bando warna merah muda yang ia pegang itu.
Dalam rungkuhannya, ia memejamkan mata memohon kembali dibukakan kembali ingatannya yang sepertinya begitu berarti di masa hidupnya sebelum pintu menuju Tuhan dibukakan untuknya, pintu keabadian. Rungkuhnya seperti berdoa ke pada bando yang tak bisa menjawab seperti pengabulan doa, tetapi ia masih memohon, tapi ia bukan penye berhala, ia hanya lupa Tuhannya siapa walaupun ia masih percaya akan adanya Tuhan.
***
Seorang wanita muda menangis berdiri mematung di ruang tamu dengan memegang selembar foto. Wanita itu meneteskan air mata yang jatuh pada lantai ruangannya, makin lama ia menangis bahkan ruangan itu bisa saja tenggelam dengan air matanya. Tangisnya itu yang membuat kesedihannya terjadi.
Foto yang digenggam wanita itu adalah Jaya berusia berkepala dua dan masih kuat daa. Dalam foto itu selain ada Jaya, terdapat seorang wanita yang begitu mesra merangkulnya dengan mesra bak seorang yang berpacaran. Foto itu seperti menjadi pedang tajam yang sudah tertancap di dada wanita itu, tetapi ia tak mau mencabutnya seperti sudah nyaman dengan rasa sakit yang telah mendalam.
Wanita itu melepas bando merah muda itu dan meletakannya ke dada sebagai pengobat luka dari tancapan pedang cemburu itu. Ia kian menangis
“Mama?” Jaya memanggilnya dengan terheran. Suaranya saat itu masih belum parau.
“Mama, sedang apa kamu? Kenapa kamu menangis?” Jaya mendekatinya.
Wanita itu menolehJaya dengan tatapan sedih yang berubah menjadi tatapan kebencian dengan wajah yang tadinya membiru karena tersedu menjadi mendidih karena sedih berubah jadi emosi.
“Buaya! Ini aku istri kamu, Jaya. Purnama nama istri kamu, bukan wanita ini.” Wanita itu melemparkan bando warna merah jambunya ke arah  Jaya, ia meledak-ledak.
“Mama.”  Jaya berusaha menenangkan istrinya.
“Kita sudah menikah 20 tahun, Jaya. Ternyata masih menjadi buaya rupanya”
“Mama, dengarkan aku dulu–“
“Tega-teganya kamu masih memiliki foto ini, rajungan!” Purnama bergegas keluar rumah sambil memakan cemburu yang sudah meluber-luber entah kemana.
 Jaya hanya diam menatap Purnama pergi tak tahu arah. Ia merasa bingung entah harus berlaku apa untuk tegar dan tak membiarkannya pergi. Bunga pujaannya sakit karena ia sendiri yang menyakitinya. Penuh sesal ia menatap jejak Purnama berlari.
***
Bel istirahat sekolah terdengar, para remaja berseragama putih abu-abu berhamburan keluar dari kelas. Para siswa SMA itu seolah mendengar nyanyian musik merdu sehingga menari-nari dalam kegembiraan di waktu senggang. Celana cingkrang menjadi gaya yang nyentrik bagi siswa pria sehingga mereka beberapa berlarian agar tak dikejar oleh guru karena celana mereka yang tidak mengikuti persyaratan peraturan sekolah.
Meja-meja makan panjang di kantin begitu sumpek dengan para pelajar yang sedang memakan makanan jajanannya. Begitu juga meja yang ditempati oleh Jaya yang sudah dipenuhi oleh anak-anak sekolahannya, ia hanya sedang terduduk memakan mie ayam kesukaannya yang baru saja dibeli. Ia memang sudah berlangganan untuk makan mie ayam yang konon baginya seenak buatan ibunya sendiri di rumah.
Saat Jaya sedang melahap-lahap mie ayamnya, ada seorang siswi yang sedang membawa semangkuk bakso terbingung mencari tempat duduk untuk makan. Jaya yang sedang asik melahap tak sengaja melihat siswi yang pelanga-pelongo mencari tempat makan. Wajah perempuan itu tampak sudah terlalu bingung dan kasihan untuk mencari tempat yang lowong, karena kasihannya itu Jaya memanggil perempuan yang sedang dalam kebingungan itu untuk duduk di dekatnya, kemudian perempuan itu mendatanginya dan Jaya menggeser sedikit untuk memberinya tempat duduk. Perempuan itu duduk dan mengucapkan terima kasih serta memberikan senyuman dan memakan bakso yang dipesannya .
Tiba-tiba Jaya tidak bisa memakan mie ayamnya dan sedikit enyuman perempuan itu tiba-tiba saja mampu mendinginkan kuah mie ayam Jaya yang panas. Senyuman perempuan SMA itu juga berhasil mengubah cuka pada mie ayam Jaya menjadi gula cair yang manis, Jaya ternyata terpukau. Jaya ternyata jatuh hati kepadanya.
***
Selang beberapa waktu, Jaya mengetahui nama perempuan yang telah mengikat hatinya dengan senyuman. Namanya adalah Purnama, dia hanya selisih 2 ruangan kelas dari ruang kelas Jaya. Semakin waktu telah berlalu juga, Jaya berpacaran dengan Purnama dan sering sekali izin keluar kelas hanya untuk bertemu dengan Purnama. Maklum saja, saat itu sedang populer-populernya lagu Kisah-Kasih di Sekolah oleh Obie Mesakh.
Pernah suatu ketika Jaya keluar dari kelas untuk bertemu Purnama di tempat biasa bertemu berdua-duaan di kantin untuk memakan makanan favoritnya masing-masing. Di kantin yang sepi karena jam pelajaran itu, Jaya dengan memberanikan diri memberikan Purnama sebuah bando pink yang cantik untuknya, dengan malu-malu penuh keberanian diri ia memberikannya. Purnama menerima bando itu. Purnama tersipu malu dengan pipi yang memerah sambil mengucapkan terimakasih dengan senyumannya yang memang membuat Jaya makin sayang kepadanya.
“Aku mencintaimu. Aku berjanji padamu, aku akan melindungimu hingga kamu aman bersamaku, selamanya sampai kita tua, sampai jadi debu aku di liang yang satu, aku di sebelahmu.” Ucap Jaya.
Purnama hanya tersipu. Hanya mengatakan “Gombal ih”, dan kemudian ia mengacungkan jari kelingkingnya kepada Jaya.
“Untuk apa?” tanya Jaya.
“Untuk benar-benar kamu akan berjanji”
Jaya kemudian tersenyum mengacungkan jari kelingkingnya juga dan mengaitkannya dengan kelingking Purnama.
Bel pergantian jam pelajaran berganti, Purnama pamit meninggalkan Jaya untuk kembali ke kelasnya dengan masih mengenakan bando merah muda dari Jaya. Jaya mempersilahkan dan Jaya masih bolos kelas karena kelasnya belum pergantian jam. Ia memilih menongkrong menimati semilir angin pagi setengah siang di kantin sekolah. Purnama melambaikan tangannya dengan senyuman yang manis.
Setelah Purnama pergi, Jaya hanya duduk-duduk sambil meminum es teh manis untuk menikmati harinya, merenggangkan sendi-sendinya dan menguap-nguap kebosanan tetapi tak ada niat untuk masuk ke kelas kembali, toh tadi sudah izin dengan alasan sakit perut untuk ke toilet dan UKS. Jaya membolos bukan berarti dia bandel, melainkan dia hanya tak menyukai guru pelajarannya sekarang.
“Heh kamu, sendirian aja.” Tiba-tiba ada suara perempuan yang menegurnya. Ternyata pemilik suara itu adalah Vivi, seorang primadona sekolah yang tak ternyata bolos pelajaran juga.
Jaya terkaget. “Aku?”
“Iya, siapa lagi. Emang kamu lihat ada orang lain yang bolos selain kamu?”
“Kamu...” Jaya menjawabnya dengan polos.
ish, maksud aku, kenapa sendirian?”
“Cuma pengen nongkrong aja...” Jaya menjawabnya dengan datar, ia tidak suka dengan basa-basi sebenarnya.
Kemudian Vivi duduk di sebelah Jaya dan menaruh soda yang dipesannya di meja, ia menemani Jaya yang bolos karena dialah satu-satunya yang sedang bolos. Memang Vivi sangat cantik dan menjadi primadona di sekolah, tetapi siapa sangka kalau dia sering bolos kelas dan gampang bergaul dengan orang-orang. Tetapi dengan bolos dengan Jaya, Vivi nampak aneh sepertinya kali ini, Vivi tertarik dengannya Jaya. Vivi menatap mata Jaya dalam-dalam memberikan isyarat bahwa ia tertarik dengannya.
“Vivi, maaf aku tidak ingin bersamamu.” Jaya memahami gerak-gerik Vivi. Ya, Jaya memang seorang yang peka terhadap komunikasi tersirat yang disampaikan wanita.
“Ya ampun, Jaya. Tidakkah aku menarik bagimu? Tidakkah ingin berjalan-jalan bersamaku?” Vivi memanjakan gerak-geriknya seperti menggoda.
“Menarik kok, banget malahan.” Jawab Jaya terpatah-patah.
“Kalau begitu, kita pergi jalan-jalan saja, yuk, Jaya.” Vivi berdiri.
Awalnya Jaya memang tidak mau, tetapi beberapa kali diterjang godaan wanita kandas juga hatinya. Mungkin dalam hati Jaya mengatakan “kapan lagi gue bisa jalan sama cewek cakep.” Maka sejak itulah Jaya mulai menjadi seperti anjing peliharaan Vivi, kemana-mana selalu bersamanya
***
“Jaya!” Purnama terbelalak tidak menyangka. “Apa-apaan ini?”
Jaya yang sedang makan sambil saling bersuapan dengan Vivi terkejut.
“Tega-teganya kamu.” Purnama tiba-tiba mulai menangis.
Jaya meletakkan kembali sendok yang semestinya ia berikan suapan kepada Vivi, kemudian ia berjalan menuju Purnama.
Purnama hanya menangis, dan melepaskan bando yang ia kenakan. “Berengsek!” Ia melemparkannya ke arah Jaya sembari lari dalam tangisan.
“Purnama, tunggu!” Jaya berusaha menggapainya, meski Vivi mencoba untuk Jaya tak menghiraukan lagi Purnama. Jaya terus mengejarnya, penyesalan tumbuh dalam hatinya, mencederai hati yang ia cintai setulus hatinya, setulus senyumannya, setulus kesederhanaannya.
***
“Mama, aku mencintaimu.” Jaya berteriak di belakang Purnama.
“Bohong! Jika kau memang benar-benar mencintaiku, kenapa kamu masih menyisakan ruang untuknya selama 20 tahun? Tidakkah itu membuatku tersakiti?” Jawab Purnama sembari menatap ujung dari atap gedung tertinggi di desa itu. “Sadarlah, Jaya. Jangan kamu sakiti hati wanita, wanita bisa mati karena sakit kecil yang dianggap pria sepele!”
“Aku minta maaf, Purnama.” Jaya mulai meneteskan air mata.
“Aku sering sekali melihat pintu rumah terkunci di saat kamu sedang tidak bekerja, apa yang sedang kau lakukan di dalamnya? Berselingkuh dengan dia kah?” Suara Purnama semakin meninggi.
Jaya hanya mengangguk dalam kesedihan.
“Saat aku pergi berjalan-jalan, aku tak sengaja melihatmu bersama wanita dengan bahagia 5 bulan yang lalu. Itu Vivi bukan?”
Jaya mengangguk bersedih karena penyesalannya dicampur takutnya akan kehilangan Purnama seorang wanita yang memang satu-satunya mencintainya apa adanya.
“Jaya, ingatkah janji kita saat SMA, hingga kemudian janji itu kamu ucapkan di mimbar pernikahan? kamu pernah bilang bahwa kamu akan melindungku dan aku akan selalu aman bersamamu, selamanya sampai kita tua...”
“Sampai jadi debu aku di liang yang satu, aku di sebelahmu.” Jaya melanjutkan.
“Sepertinya janji tinggal janji. Kamu tidak akan bisa melindungiku kali ini”
***
Di atas sofa itu, Jaya masih mengingat-ingat kembali kenangan bando merah jambu yang ada dalam genggamannya. Ia nampak menyesali atas kebodohannya hingga seperti ini. Seandainya waktu bisa berputar, dia lebih memilih melakukan hal yang seharusnya dia lakukan agar tidak kehilangan kekasihnya. Sekarang ia hanya bersedih merintih. Tetes air matanya menetes membahasahi tulisan “Untuk Purnama. Kekasihku.”
Penuh sesal dan ia mengucap berkali-kali janji yang ia ucapkan dulu yang muncul dalam ingatannya. Aku akan melindungimu hingga kamu aman bersamaku, selamanya sampai kita tua, sampai jadi debu aku di liang yang satu, aku di sebelahmu.
“Kakek” Suara parau wanita tua merusak lamunan kesedihan Jaya.
“Siapa kamu?” Jaya bertanya dengan suaranya yang juga tidak muda lagi.
“Ini aku, Purnama, tidakkah kamu ingat kepadaku, kakek Jaya?” jawabnya sambil sedikit bercanda. Wanita itu muncul mengenakan gaun serba putih dengan wajah tua yang kelelahan. Purnama mengambil bando warna merah jambu yang ada di genggaman Jaya dan mengenakannya.
“Pu...Pu...Purnama?” Setengah kaget Jaya memandang tak mempercayainya dan mendekatinya. Rasa rindunya muncul kembali dalam tetesan air matanya yang kembali muncul menatapnya
Wanita itu mengangguk.
Jaya memeluk Purnama. “Purnama, maafkan aku. Aku menyayangimu, janganlah kamu pergi lagi. Aku menyesali diriku salah.”
Dalam pelukkan, Purnama berbisik. “Kalau begitu, kita pulang yuk
Jaya menyetujuinya.
Kemudian Purnama menggandeng tangan Jaya, dan membawa Jaya berjalan. Jaya tersenyum karena bisa kembali menghabiskan waktu dengan orang yang terkasihnya sejak SMA. Purnama pun tersenyum, senyumannya kini bagai bulan Purnama yang bersinar terang di malam hari. Purnama membawa Jaya ke luar ruangan, menuju tempat yang berselimut cahaya.
Brakk!
Jaya terjatuh. Jasadnya tak lagi bernyawa dengan tangannya yang masih memegang bando warna merah jambu.


NB: Cerpen ini menggunakan penggalan kalimat dari lagu Banda Neira – Sampai Jadi Debu

You May Also Like

0 komentar