PESAN DARI DALAM LACI
Meja
kerja yang sudah reyot tak terpakai beberapa tahun di dalam ruangan yang
biasanya berisik dengan suara keyboard
yang berbunyi. Berisikan dengan makalah-makalah yang sudah mulai termakan
rayap. Laptop lawas yang sebenarnya masih bisa menyala menunggu untuk digunakan
kembali seperti semula. Stop kontak yang sudah lama tak tercolok oleh kabel charger laptop. Ruangan itu seperti
sudah lama tak ada pesta meriah mengisikan karya-karya yang menghidupkan
suasana.
Foto
kecil berukuran 4R dengan pigura kayu yang dilapisi antirayap. Foto yang berisi
3 orang yang sedang tersenyum di suatu tempat wisata yang menyenangkan. Aku, Ibu
dan Ayah. Foto itu seperti menunjukkan kami akan kebahagian sederhana pada
keluarga kecil satu atap bahagia. Namun, foto itu hanyalah memberikan kiasan
senyuman dari masa lalu saja. Sekarang pun foto itu terhias dengan aksesoris
buatan laba-laba. Jaring laba-laba.
Aku
berjalan menatap seluruh isi ruang kerja yang kosong yang sudah lama tak
dihuni. Tanganku menari mengitari di atas hiasan-hiasan di ruangan rumah sambil
mengikuti langkahku mengelilingi isi rumah yang minimalis tapi menyimpan penuh
dengan memori. Kemudian kulihat tivi cembung yang dulu aku, Ayah, dan Ibu
menonton bersama untuk menyaksikan pertandingan bulutangkis yang bisa
memecahkan suasana
Aku
ingat saat aku kecil dahulu, keluarga kami terobsesi dengan kemenangan demi
kemenangan yang diraih atlit Indonesia dalam kejuaran dunia, sehingga kami
sering bermain bulutangkis tiap sabtu sore. Biasanya, aku satu tim dengan Ibuku
melawan Ayahku yang sendiri menghadapi kami. Aku ingat betul ketika Ayah
memberikan smash yang super kencang,
sehingga aku dan Ibuku berebut untuk service
atau membalas smash kembali shuttlecock yang mencoba mengalahkan
kami. Namun, aku atau Ibu tak bisa membalikan shuttlecock kepada Ayah. Kemudian kami tertawa.
Mobil
kijang tua terparkir di garasi samping ruang kerja Ayah. Jendela di ruang kerja
Ayah melayarkan kijang itu. Kijang itu mengingatkanku dengan masa tamasya kami
ke Palembang. BerlIbur panjang, berjalan jauh, bernyanyi bersama, melupakan
penat masa kerja dan sekolah yang mengganggu kebersamaan kami.
Sampai
suatu ketika di usiaku ke15 tahun, Ibu pergi meninggalkan kami. Sebuah
kekecewaan yang mendalam dari hatiku dan Ayah. Ibu pergi kawin lagi dengan
selingkuhannya setelah ayah memergokinya selingkuh di suatu hotel di luar kota.
Ayah lebih kecewa saat itu. Terjadi percekcokan selama berbulan-bulan hingga
aku menjadi bingung dan menjadi frustasi akan kejadian hal ini. Ibu memilih
pergi bersama selingkuhannya karena dia lebih kaya dan mampu menghidupi
kehidupannya dan tak mau mengasuhku lagi. Aku tinggal bersama Ayah. Hilanglah
semua kebahagian yang pernah dIbuat bertahun-tahun bersama keluarga yang kukira
bakal menjadi indah hingga kelak mereka tua bersama.
“Nak,
maafkan Ayah bila tak bisa menjadi ayah yang baik untuk menjaga Ibumu.” Itulah
sebuah kalimat yang berbekas di kepalaku dari Ayah seusai secara hukum Ibu
meninggalkanku. Ayah mengalami depresi berat. Hanya pekerjaannyalah yang menghIburnya.
Aku terlantarkan dari kesenangan yang mendadak hilang.
***
Dalam
rumah yang kosong sudah penuh debu karena tak pernah lagi diisi oleh cerita
drama dan keceriaan oleh penghuninya, rumah ini menjadi museum nostalgia bagiku
yang sudah bekerja dan memiliki keluarga baru dengan istri yang selalu setia
bersamaku di rumahku yang baru. Aku telah memiliki cerita yang baru bersama
orang-orang baru yang menjadi satu. Rumah ini hanya sisa-sisa keikhlasan hati
yang enggan melepaskan.
Aku
melangkahkan kaki menuju dapur, gudang, dan kamarku dulu yang penuh
cerita-cerita dan sebongkah haru. Aku hanya tersenyum mengingat-ingat masa
manis, dan bersedih ketika muncul lagi kisah sedih.
Hari
ini, hari ulangtahunku. Biasanya sejak kecil, Ayah selalu memberiku hadiah yang
istimewa dan sederhana untukku. Di usiaku ke9 tahun, aku dibelikan Nintendo dan hingga kini masih
terpampang rapih di lemari. Di usiaku ke12 aku diberi kamera analog untuk
memotret semua cerita keluarga dan menjadi bukti adanya sejarah keberadaan masa
lalu itu. Namun di usiaku ke15, hanya kejadian tragis. Sudahlah lupakan. Terakhir, aku tentu tak lupa dengan keinginan Ayah
yang paling aneh ketika usiaku ke18.
“Kamu
tahu, apa yang Ayah inginkan?” tanya Ayah padaku di suatu ruangan.
“Apa,
yah?” tanyaku berbalik
“Sesuatu
yang memberi kebahagiaan yang luas”
“Memberi
kebahagiaan yang luas?”
Ayah
mengangguk.
“Ayah
memangnya ingin apa?” Sepertinya Ayah sedikit melankolis dengan usianya yang
makin menua dengan rambutnya yang sudah sedikit beruban.
“Ayah
ingin menjadi matahari”
“Matahari?”
tanyaku.
“Iya,
Ayah ingin memberikan kebahagiaan kepada siapa pun tanpa terkecuali, termasuk
kamu, temanmu, pacarmu, tetangga, bahkan kepada Juliana. Mantan Ibumu dan
bersama suami barunya. Ayah ingin menjadi matahari yang membagi cahaya kebahagiaan
kepada siapa pun.”
Aku
kebingungan.
Kemudian
Ayah menyuruh segera berangkat kuliah. Aku baru menyadari kalau jam kuliahku
sudah mendekat termakan karena mendengarkan ocehan
Ayah
Itu
percakapan terakhirku bersama Ayah sebelum aku pamit untuk berangkat kuliah.
Ayah tak seperti biasanya, suaranya menjadi parau. Rambutnya lebih cepat
memutih karena beban pikiran yang diderita. Mungkin ia masih memikirkan Ibu
yang sudah tersenyum dengan pria lain yang lebih mampu membahagiakannya.
Mungkin juga dia penuh amarah tak tersurutkan dengan isi hati menyamakan Ibu
dengan jalang. Kalau ini, aku setuju dengan hatinya, aku juga murka pada Ibu.
Tetapi,
tak kusangka ketika ku kembali dari kuliahku di malam hari. Aku membuka rumah
menjadi sangat sunyi. Tak ada sapaan setelah aku berucap ‘Aku pulang’. Namun
saat aku berjalan, aku melihat sisi ruang kerja Ayah. Seperti ada yang aneh
dilihat. Ada yang terbaring di ruang kerja Ayahku. Aku mencoba bertanya siapa
itu tetapi tidak ada respon. Beranjaklah aku menuju tempat itu.
Tidak mungkin
Ayah!?
Ayah
berbaring di ruang kerja dengan kaku.
Ayah sudah meninggal! Aku terkejut
melihat jasad Ayah tak lagi bernyawa.
Kenapa secepat ini? Aku bersandar
di dinding melihat ayah meninggal. Perlahan, air mataku menetes, dan kemudian
tetes air mataku berubah menjadi tangis yang menderita karena telah kehilangan
seseorang yang amat kucintai.
Pikiranku
mulai menjelajah ke dimensi masa lalu menuju waktu-waktu yang pernah aku lewati
bersama ayah. Memacu tangisku semakin menjadi. Semua berlalu begitu cepat.
Ayah!
***
Aku
beranjak menuju kamar Ayah dan Ibu dulu. Kamar ini tak pernah tersentuh sejak
kematian Ayah hingga sekarang aku memasukinya. Semua masih sama, hanya berdebu.
Kasur yang dulu menjadi tempat tidur Ayah dan Ibu hingga akhirnya Ayah
sendirian sudah berdebu. Seprei masih sama belum tergantikan, mungkin hanya
jamur yang sekarang menduduki atasnya.
Laci
dengan cermin di atasnya masih ada di pojokkan. Tempat yang masih sama persis.
Laci ini juga menjadi tempat dandan Ibu dulu sebelum meninggalkan kami. Di
dalam laci biasanya terdapat alat-alat tulis Ayah. Terdapat juga retakkan di
cerminnya, mungkin Ayah dan Ibu dulu sempat berantam. Aku mulai bisa membaca
masa lalu yang telah terjadi di sini.
Aku
membuka laci itu. Terdapat secarik kertas yang ada di atas deretan alat tulis peninggalan Ayah. Kertas itu seperti ingin mengatakan
sesuatu sisa-sisa nasihat yang sempat terganjal dari masa lalu. Ku ambil kertas
itu yang memintaku menyalurkan tangan untuk mengadopsinya menjadi anak dari
orangtua mataku yang selalu penuh pengawasan.
Surat? Ternyata ini surat yang ingin
disampaikan Ayahku sebelum kematiannya. Aku baru mengetahuinya. Lalu aku
membaca surat dari Ayah.
Untuk Anakku.
Nak, jika kau membaca ini, artinya Ayah
sudah menjadi matahari seperti yang Ayah bilang kepadamu. Ayah menjadi cahaya
yang memberi kebahagian di siang hari kepada siapa pun.
Tidak usah menangis, nak. Ayah ada di
mana-mana. Selalu menemani kamu. Tak usah lagi dirimu dendam kepada Ibumu, biar
Ayah yang menderita di tengah kesedihan kesendirian di alam gelap kubur. Ayah
sudah bersama malaikat sekarang.
Jangan pernah berhenti melakukan kebaikan,
anakku. Selama kita hidup, Tuhan memberi kita PR bagi kita, yaitu berlaku baik
kepada siapa pun dengan tulus. Biarlah orang berbuat jahat kepada kita, tetapi
jangan pernah membalas dengan kejahatan juga. Manusia-manusia itu sedang sakit,
cobalah bantu Ayah yang menjadi sinar matahari ini untuk menjadi kebahagiaan.
Berbuat baiklah.
Mataku
mulai berlinang air mata. Dibalik surat ternyata ada kutipan tulisan.
“Khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia –Nabi Muhammad.”
Aku
sedikit tersenyum melihat pesan kutipan ini. Rupanya, masih sempatnya dirinya
mengingatkanku dalam hal kebaikan bersumber dari agama di saat mendekati
kematiannya. Kemudian, aku terharu dengan kepergian Ayah. Ia memberi hadiah di
hari ulang tahunku hari ini berupa surat dari dalam laci.
Ayah, meskipun dirimu telah menjadi
matahari yang menciptakan kesenyuman orang-orang, aku berjanji untuk menjadi
pria yang bermanfaat untuk umat manusia. Kata hatiku seraya aku menatap
cahaya jingga matahari senja yang menerobos masuk ke kamar ini melalui
pembiasan kaca jendela.
Ayah, kau di sini.
***
Komentar
Posting Komentar