Featured

PESAN DARI DALAM LACI

by - Maret 31, 2017

Meja kerja yang sudah reyot tak terpakai beberapa tahun di dalam ruangan yang biasanya berisik dengan suara keyboard yang berbunyi. Berisikan dengan makalah-makalah yang sudah mulai termakan rayap. Laptop lawas yang sebenarnya masih bisa menyala menunggu untuk digunakan kembali seperti semula. Stop kontak yang sudah lama tak tercolok oleh kabel charger laptop. Ruangan itu seperti sudah lama tak ada pesta meriah mengisikan karya-karya yang menghidupkan suasana.
Foto kecil berukuran 4R dengan pigura kayu yang dilapisi antirayap. Foto yang berisi 3 orang yang sedang tersenyum di suatu tempat wisata yang menyenangkan. Aku, Ibu dan Ayah. Foto itu seperti menunjukkan kami akan kebahagian sederhana pada keluarga kecil satu atap bahagia. Namun, foto itu hanyalah memberikan kiasan senyuman dari masa lalu saja. Sekarang pun foto itu terhias dengan aksesoris buatan laba-laba. Jaring laba-laba.
Aku berjalan menatap seluruh isi ruang kerja yang kosong yang sudah lama tak dihuni. Tanganku menari mengitari di atas hiasan-hiasan di ruangan rumah sambil mengikuti langkahku mengelilingi isi rumah yang minimalis tapi menyimpan penuh dengan memori. Kemudian kulihat tivi cembung yang dulu aku, Ayah, dan Ibu menonton bersama untuk menyaksikan pertandingan bulutangkis yang bisa memecahkan suasana
Aku ingat saat aku kecil dahulu, keluarga kami terobsesi dengan kemenangan demi kemenangan yang diraih atlit Indonesia dalam kejuaran dunia, sehingga kami sering bermain bulutangkis tiap sabtu sore. Biasanya, aku satu tim dengan Ibuku melawan Ayahku yang sendiri menghadapi kami. Aku ingat betul ketika Ayah memberikan smash yang super kencang, sehingga aku dan Ibuku berebut untuk service atau membalas smash kembali shuttlecock yang mencoba mengalahkan kami. Namun, aku atau Ibu tak bisa membalikan shuttlecock kepada Ayah. Kemudian kami tertawa.
Mobil kijang tua terparkir di garasi samping ruang kerja Ayah. Jendela di ruang kerja Ayah melayarkan kijang itu. Kijang itu mengingatkanku dengan masa tamasya kami ke Palembang. BerlIbur panjang, berjalan jauh, bernyanyi bersama, melupakan penat masa kerja dan sekolah yang mengganggu kebersamaan kami.
Sampai suatu ketika di usiaku ke15 tahun, Ibu pergi meninggalkan kami. Sebuah kekecewaan yang mendalam dari hatiku dan Ayah. Ibu pergi kawin lagi dengan selingkuhannya setelah ayah memergokinya selingkuh di suatu hotel di luar kota. Ayah lebih kecewa saat itu. Terjadi percekcokan selama berbulan-bulan hingga aku menjadi bingung dan menjadi frustasi akan kejadian hal ini. Ibu memilih pergi bersama selingkuhannya karena dia lebih kaya dan mampu menghidupi kehidupannya dan tak mau mengasuhku lagi. Aku tinggal bersama Ayah. Hilanglah semua kebahagian yang pernah dIbuat bertahun-tahun bersama keluarga yang kukira bakal menjadi indah hingga kelak mereka tua bersama.
“Nak, maafkan Ayah bila tak bisa menjadi ayah yang baik untuk menjaga Ibumu.” Itulah sebuah kalimat yang berbekas di kepalaku dari Ayah seusai secara hukum Ibu meninggalkanku. Ayah mengalami depresi berat. Hanya pekerjaannyalah yang menghIburnya. Aku terlantarkan dari kesenangan yang mendadak hilang.
***
Dalam rumah yang kosong sudah penuh debu karena tak pernah lagi diisi oleh cerita drama dan keceriaan oleh penghuninya, rumah ini menjadi museum nostalgia bagiku yang sudah bekerja dan memiliki keluarga baru dengan istri yang selalu setia bersamaku di rumahku yang baru. Aku telah memiliki cerita yang baru bersama orang-orang baru yang menjadi satu. Rumah ini hanya sisa-sisa keikhlasan hati yang enggan melepaskan.
Aku melangkahkan kaki menuju dapur, gudang, dan kamarku dulu yang penuh cerita-cerita dan sebongkah haru. Aku hanya tersenyum mengingat-ingat masa manis, dan bersedih ketika muncul lagi kisah sedih.
Hari ini, hari ulangtahunku. Biasanya sejak kecil, Ayah selalu memberiku hadiah yang istimewa dan sederhana untukku. Di usiaku ke9 tahun, aku dibelikan Nintendo dan hingga kini masih terpampang rapih di lemari. Di usiaku ke12 aku diberi kamera analog untuk memotret semua cerita keluarga dan menjadi bukti adanya sejarah keberadaan masa lalu itu. Namun di usiaku ke15, hanya kejadian tragis. Sudahlah lupakan. Terakhir, aku tentu tak lupa dengan keinginan Ayah yang paling aneh ketika usiaku ke18.
“Kamu tahu, apa yang Ayah inginkan?” tanya Ayah padaku di suatu ruangan.
“Apa, yah?” tanyaku berbalik
“Sesuatu yang memberi kebahagiaan yang luas”
“Memberi kebahagiaan yang luas?”
Ayah mengangguk.
“Ayah memangnya ingin apa?” Sepertinya Ayah sedikit melankolis dengan usianya yang makin menua dengan rambutnya yang sudah sedikit beruban.
“Ayah ingin menjadi matahari”
“Matahari?” tanyaku.
“Iya, Ayah ingin memberikan kebahagiaan kepada siapa pun tanpa terkecuali, termasuk kamu, temanmu, pacarmu, tetangga, bahkan kepada Juliana. Mantan Ibumu dan bersama suami barunya. Ayah ingin menjadi matahari yang membagi cahaya kebahagiaan kepada siapa pun.”
Aku kebingungan.
Kemudian Ayah menyuruh segera berangkat kuliah. Aku baru menyadari kalau jam kuliahku sudah mendekat termakan karena mendengarkan ocehan Ayah
Itu percakapan terakhirku bersama Ayah sebelum aku pamit untuk berangkat kuliah. Ayah tak seperti biasanya, suaranya menjadi parau. Rambutnya lebih cepat memutih karena beban pikiran yang diderita. Mungkin ia masih memikirkan Ibu yang sudah tersenyum dengan pria lain yang lebih mampu membahagiakannya. Mungkin juga dia penuh amarah tak tersurutkan dengan isi hati menyamakan Ibu dengan jalang. Kalau ini, aku setuju dengan hatinya, aku juga murka pada Ibu.
Tetapi, tak kusangka ketika ku kembali dari kuliahku di malam hari. Aku membuka rumah menjadi sangat sunyi. Tak ada sapaan setelah aku berucap ‘Aku pulang’. Namun saat aku berjalan, aku melihat sisi ruang kerja Ayah. Seperti ada yang aneh dilihat. Ada yang terbaring di ruang kerja Ayahku. Aku mencoba bertanya siapa itu tetapi tidak ada respon. Beranjaklah aku menuju tempat itu.
Tidak mungkin
Ayah!?
Ayah berbaring di ruang kerja dengan kaku.
Ayah sudah meninggal! Aku terkejut melihat jasad Ayah tak lagi bernyawa.
Kenapa secepat ini? Aku bersandar di dinding melihat ayah meninggal. Perlahan, air mataku menetes, dan kemudian tetes air mataku berubah menjadi tangis yang menderita karena telah kehilangan seseorang yang amat kucintai.
Pikiranku mulai menjelajah ke dimensi masa lalu menuju waktu-waktu yang pernah aku lewati bersama ayah. Memacu tangisku semakin menjadi. Semua berlalu begitu cepat.
Ayah!
***
Aku beranjak menuju kamar Ayah dan Ibu dulu. Kamar ini tak pernah tersentuh sejak kematian Ayah hingga sekarang aku memasukinya. Semua masih sama, hanya berdebu. Kasur yang dulu menjadi tempat tidur Ayah dan Ibu hingga akhirnya Ayah sendirian sudah berdebu. Seprei masih sama belum tergantikan, mungkin hanya jamur yang sekarang menduduki atasnya.
Laci dengan cermin di atasnya masih ada di pojokkan. Tempat yang masih sama persis. Laci ini juga menjadi tempat dandan Ibu dulu sebelum meninggalkan kami. Di dalam laci biasanya terdapat alat-alat tulis Ayah. Terdapat juga retakkan di cerminnya, mungkin Ayah dan Ibu dulu sempat berantam. Aku mulai bisa membaca masa lalu yang telah terjadi di sini.
Aku membuka laci itu. Terdapat secarik kertas yang ada di atas deretan alat tulis  peninggalan Ayah. Kertas itu seperti ingin mengatakan sesuatu sisa-sisa nasihat yang sempat terganjal dari masa lalu. Ku ambil kertas itu yang memintaku menyalurkan tangan untuk mengadopsinya menjadi anak dari orangtua mataku yang selalu penuh pengawasan.
Surat? Ternyata ini surat yang ingin disampaikan Ayahku sebelum kematiannya. Aku baru mengetahuinya. Lalu aku membaca surat dari Ayah.
Untuk Anakku.
Nak, jika kau membaca ini, artinya Ayah sudah menjadi matahari seperti yang Ayah bilang kepadamu. Ayah menjadi cahaya yang memberi kebahagian di siang hari kepada siapa pun.
Tidak usah menangis, nak. Ayah ada di mana-mana. Selalu menemani kamu. Tak usah lagi dirimu dendam kepada Ibumu, biar Ayah yang menderita di tengah kesedihan kesendirian di alam gelap kubur. Ayah sudah bersama malaikat sekarang.
Jangan pernah berhenti melakukan kebaikan, anakku. Selama kita hidup, Tuhan memberi kita PR bagi kita, yaitu berlaku baik kepada siapa pun dengan tulus. Biarlah orang berbuat jahat kepada kita, tetapi jangan pernah membalas dengan kejahatan juga. Manusia-manusia itu sedang sakit, cobalah bantu Ayah yang menjadi sinar matahari ini untuk menjadi kebahagiaan. Berbuat baiklah.
Mataku mulai berlinang air mata. Dibalik surat ternyata ada kutipan tulisan.
“Khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia –Nabi Muhammad.”
Aku sedikit tersenyum melihat pesan kutipan ini. Rupanya, masih sempatnya dirinya mengingatkanku dalam hal kebaikan bersumber dari agama di saat mendekati kematiannya. Kemudian, aku terharu dengan kepergian Ayah. Ia memberi hadiah di hari ulang tahunku hari ini berupa surat dari dalam laci.
Ayah, meskipun dirimu telah menjadi matahari yang menciptakan kesenyuman orang-orang, aku berjanji untuk menjadi pria yang bermanfaat untuk umat manusia. Kata hatiku seraya aku menatap cahaya jingga matahari senja yang menerobos masuk ke kamar ini melalui pembiasan kaca jendela.
Ayah, kau di sini.

***

You May Also Like

0 komentar