KEBEBASAN BERGAYA DALAM PENAMPILAN
Seringkali kita melihat gaya-gaya berpakaian dan penampilan pada sosok manusia, bahkan golongan sekalipun. Gaya-gaya itu sendiri muncul sebagai penggambaran karakter identitas mereka yang ingin dianggap berada (eksis). Namun seringkali identitas-identitas diri dipermasalahkan bagi mereka yang tidak menyukai, bahkan ekstrimnya ada yang anti terhadap gaya tersebut.
Keberagaman dalam berpakaian juga termasuk keberagaman
secara universal.
|
Gaya dalam penampilan sendiri juga menggambarkan latar belakang agama, budaya, atau pengaruh hidup yang diambil. Semisalnya, seorang muslim yang taat, sebagai identitasnya yang demikian pasti mengenakan gamis, peci, atau hijab (bagi yang muslimah). Atau semisalnya orang tradisional Papua, sebagai identitasnya yang memegang teguh tentunya mereka berpakaian cukup mengenakan koteka, rok rumbai atau taring babi. Misalnya lagi seorang pecinta lagu punk biasanya mempunyai ciri khas identitas mereka seperti rambut mohawk punk, memasang tindik, atau mengenakan jaket jeans yang biasanya di gunting bagian lengannya.
Tidak dipungkiri, gaya berpakaian seseorang memang untuk menjelaskan agama, suku, ras, bangsa, kesukaan, sumber pengaruh hidup, bahkan kebiasaan seseorang.
Lantas mengapa kita sering menstereotipkan hal yang buruk kepada gaya penampilan yang berbeda? Mungkin disebabkan pengalaman buruk seseorang atau dari orang lain yang dilakukan oleh seorang atau segelintir orang yang berbeda. Keselahannya adalah asumsi orang ini setelah mendapatkan pengalaman demikian, sehingga menganggap semua yang dari golongan si pelaku adalah sama dengan si pelaku.
Sudah banyak kejadian-kejadian diskriminasi terhadap cara berpenampilan di seluruh dunia, dan mendata keberadaan kasus diskriminas tersebut. Menurut The Guardian, 30% wanita muslimah yang mengenakan hijab di Eropa mengalami diskriminasi karena hijabnya. Di Indonesia sendiri, pakaian tradisional koteka dianggap mayoritas sebagai pakaian terbelakang.
Susi Pudjiastuti yang berambut acak-acakan dan merokok di pojokkan kesan prejudicenya seolah dia 'ngegembel', padahal ia akan membeli pesawat yang ada di acara Singapore Air Show 2010
|
Pengalaman pribadi saya, saya sering berpenampilan berantakan dan sederhana. Karena menurut saya, terlalu rapih seperti merepotkan diri sendiri, teurtamanya bagi saya menyukai perjalanan yang tak perlu merepotkan diri dengan penampilan. Jujur saja, saya juga kerap dibully karena penampilan saya, tapi saya memilih apatis. Karena toh menurut saya bully sendiri karena perasaan kita yang mudah baper (Baca: Bully, Becanda dan Baper). Namun inilah identitas saya sebagai orang yang sederhana dan menyukai perjalanan dan tak mau ambil repot.
Carol (kanan) |
Paragaraf di atas hanyalah klarifikasi saya untuk menuntut pembaca memahami, bahwa seseorang bisa terlihat buruk di matamu tetapi ada identitas yang sederhana di balik penampilannya, bahkan dia bisa jadi memiliki hati yang lebih mulia daripada kamu yang mengasumsikan keburukan seseorang. Padahal pepatah juga mengatakan, don't judge the book by it's cover. Jangan menilai buku hanya dari covernya.
Seharusnya perlu disadari betul, bahwa perbedaan bergaya dalam penampilan juga termasuk salah satu keragaman yang ada. Sebab dengan penampilan-penampilan yang beragam, kita bisa mengetahui bahwa terdapat banyak karakter dan latar belakang pribadi seseorang atau kelompok. Ketahui manusia memiliki simbol dalam tubuh dan apa yang mereka kenakan atau gunakan, ada filosofi tersendiri atas pengenaannya itu. Jangan menganggap suatu identitas atau latar belakang seseorang atau golongan itu lebih buruk atau lebih tinggi daripada kita, kita yang perlu belajar dan memahami keberadaan simbol-simbol tersebut.
Komentar
Posting Komentar