Featured

LANCONG RENJANA

by - Maret 15, 2018


Diana, di mana kamu? Apakah kita bisa bertemu?

Aku menyayangimu, Diana. Bukan kah aku berjanji jika telah datang waktu, aku akan datang kepadamu dan mempercayai bahwa kau baik-baik saja. Dalam doa-doaku sepanjang malam, selalu aku selipkan namamu dalam kemustahilan yang selalu aku semogakan.

***

Siang ini aku sedang dalam penantian perjalanan, perjalanan di mana aku harus menerima keadaannya dan berusaha menjadi yang tertegar saat bertemu dengannya. Aku yang bergamis putih terang seperti cahaya mentari siang ini menghalau terik mentari, hingga sorban merahku hanya cukup kugantungi di leher. Setelah sekian lama tak bertemu, aku mengharapkan sebuah perjumpaan yang pasti saat bertemu dengannya, dan aku juga ingin berkata-kata secara langsung padanya walaupun hanya sebatas satu kata rindu saja.

Penjual koran menyeru-nyeru nama-nama koran yang mereka jual agar para pelanggannya bisa membeli. Namun hari ini aku enggan membeli atau pun sekedar membaca koran. Tentu kamu tahu sendiri kan, Diana, kenapa aku membenci koran? Nanti akan kujelaskan kembali padamu. Sehingga aku hanya berdiri mengelus-elus janggutku di antara anonim-anonim sepertiku yang lalu lalang menuju dan menunggu kedatangan pesawat yang akan membawa mereka ke suatu tempat yang lebih baik lagi, atau mungkin menjadi peluang dalam kehidupannya untuk mencari nafkah. Aku mencoba berkuat kaki saat berdiri karena tidak ada lagi tempat duduk yang tersedia, yang ada hanyalah orang-orang lesehan berada di pinggir-pinggir koridor bandara.

Selama menunggu menuju perjalanan, aku mulai mengingat-ingat kembali bersama dirimu di waktu-waktu yang lalu. Bahkan aku berani-beraninya melontarkan dengan rindunya lidahku memanggil nama lengkapmu, Puspita Anggreini Diana. Atau nama panggilanmu, Diana. Rasanya lidah ini sudah lama tak menyebutnya tertelan dengan zikir-zikir yang selalu kuucapkan untuk diriku sendiri.

Penerbanganku menuju kotamu masih 1 jam lagi. Aku masih menikmati panasnya siang ini dengan mengingat-ingatmu kembali yang kian lama, kian menyisakan rinduku dan segala penyesalanku terhadapmu. 1 jam saja itu sebentar, jauh lama lagi estimasi hatimu yang terenyut entah berapa lama di lautan keraguan karena tak terjawab. Aku harap saja kehadiranku nanti kepadamu menyisakan persaan itu hadir kembali pada dirimu.

Di dalam carrier yang kugendong ini, masih kubawa beban-beban itu, beban-beban yang menghalau rasamu yang dulu. Sengaja aku membawakannya kembali, agar kamu tahu bahwa aku juga sakit. Aku juga takut akan kehilanganmu untuk selamanya. Apa lagi bebanku bertambah saat aku mendengar bahwa kamu sudah di lamar. Apa kamu baik-baik saja? Apakah kamu benar-benar mencintainya? Apakah kamu sehat-sehat saja? Aku ingin menaruh perhatianku kembali kepadamu. Beban ini akan kubawa untuk bertemu denganmu. Kamu yang berada sekitar 1500an mil dari tempatku berada.

Sudahlah, Diana. Lupakan sajalah episode-episode yang lalu dari sinetron panjang kita. Saat-saat bedil meneror di hadapan kita, saat-saat ledakan itu menyapu habis apa yang pernah kita lihat sebelumnya, saat-saat kita dianggap pengancam negara, dan saat-saat aku tertangkap hampir dibawa ke Nusakambangan.

Aku ingat betul dengan wajahmu yang selalu mengingatkan aku untuk segera melaksanakan shalat berjamaah di mushala yang tak jauh di kontrakan kita. Kamu selalu mengingatkan aku bahwa yang terpenting adalah kemanusiaan, bukan keagamaan yang terlalu egois. Tapi saat itu juga aku dengan buta kepadamu bahwa semua orang yang berbeda dari kita adalah musuh, hingga aku buta hati. Bertindak tak mengerti apa itu kedamaian berarti. Kamu memberiku dalil-dalil kitab suci yang menyatakan tentang Tuhan menyeru kita akan kedamaian, dan menciptakan manusia bereda-beda agar kita saling mengerti. Nasehat-nasehatmu baru kukenang dan kuingat sekarang setelah kau pergi.

***

Pesawat telah tiba, para penumpang lainnya termasuk aku bergegas dengan cepat untuk segera masuk. Di jembatan antar pintu pesawat dan bandara, aku berjalan dengan pelan dengan lalu-lalang orang yang terlalu tergesa-gesa untuk memasuki pesawat, bebarapa di antaranya memperhatikan aku dengan sangsi seperti melihat penjahat.

Hingga akhirnya aku mulai mendekati pintu masuk pesawat, terdapat dua penjaga yang berdiri di sisi-sisi pintu menatapku. Aku merasa gugup, mereka mendatangiku secara sigap. Kamu akan menyadarinya, Diana. Aku sudah seperti dianggap penjahat kelas dunia dengan perubahan dari tampangku yang seperti ini. Mereka menahanku di lambung jembatan penyebrangan itu dan mulai menggeledahku. Kenapa, Diana? Kenapa bertemu untuk dirimu harus sesulit ini?

Mungkin jika kamu berada di sini, mungkin kamu akan menertawaiku di jendela bandara yang menghadap langsung ke arah pesawatku. Aku seperti malu akan diriku sendiri yang selalu tak pernah mencoba mendengarmu tentang apa itu rasa cinta yang sebenarnya. Aku terlalu naif dalam mengartikan kata-katamu dan ideologi yang kuanut.

Masih ingatkah dirimu saat ledakan besar di kantor tempat ayahmu bekerja sebagai cleaning service di daerah Jakarta terjadi? Semalam sebelum peristiwa itu, Diana. Aku diajak oleh teman-temanku untuk mengikuti aksi yang mereka sebut jihad itu. Antara takut aku akan kehilanganmu atau bukan, aku tidak berani mengikuti mereka. Aku takut aku tak bisa bertemu denganmu lagi dengan mataku sendiri, aku takut aku tak bisa mendengar cerita-cerita lucu darimu lagi, aku tak bisa lagi menerima pesan-pesan Tuhan yang sering kau sampaikan setelah kau membaca-baca buku tafsir dan hadist nabi, aku tak bisa lagi mengimamimu di mushala dekat kontrakanku lagi.

Aku masih ingat akan suaramu yang merdu melantunkan ayat-ayat suci itu di telingaku, sedang di saat itu aku sedang sibuk-sibuknya membantu teman-temanku untuk merancang untuk sebuah keonaran di esok hari. Yang aku tahu, aku dan teman-temanku selama seminggu tak mengaji, hanya memikirkan bagaimana untuk menyukseskan keonaran di hari H. Kami seperti lupa Tuhan, tapi kamu selalu mengingatkan walau aku sering kali lupa karena kesetanan untuk mengagungkan namaNya.

Ledakkan besar itu terjadi, teman-temanku mati, banyak korban yang berhasil dikembalikan ke alam baka dan ada juga yang gagal hingga menyisakan kesakitan, termasuk ayahmu. Aku dan kamu menganga menonton berita televisi di kontrakanku. Ayahmu menjadi salah satu yang tersisa. Aku menjadi buronan dan mengajakmu bergegas meninggalkan Jakarta, kamu menolak pergi denganku.

“Aku tidak sudi lari bersama buronan negara” marahmu kepadaku.

Aku hanya meratapi kesalahanku.

“Kamu tidak tahu kah? Ayahku bekerja di sana, bodoh!” dirimu tampak mulai stres dengan keadaan ini. “Mau berapa nyawa lagi yang mau kamu rengut? Sekarang mau keluargaku hancur? Aku sudah hampir pasrah sama keadaan kamu yang begini. Aku pergi.”

Kamu berkemas-kemas sendiri, mengambil koper sendiri. Kau bilang, kau hendak meninggalkanku. Lalu kamu benar-benar meninggalkanku yang masih diliput penyesalan. Suara bantingan pintu darimu yang menemaniku sekarang dalam kegelisahan.

Kemudian seluruh media massa seperti menuduhku salah satu otak kekacauan ini. Beberapa hari kemudian, namaku dan wajahku muncul di headline seluruh koran di negeri ini. Aku sendiri dan ketakutan. Saat itulah aku mulai membenci media, mereka mampu membuat dunia memusuhiku sehingga semua tak ada lagi yang percaya padaku. Kepercayaan mereka bergantung pada media, bukan kitab suci.

***

Burung besi ini mengepakkan sayapnya ke arah timur, sayangku. Tidakkah kamu lihat aku yang sedang mencoba menggapaimu kembali setelah terbebas dari kesalahan-kesalahanku? Aku hanya termenung memikirkan kamu dengan mengadahkan raut mukaku ke jendela dan menyaksikan bangunan-bangunan yang kian lama makin mengerdil. Apakah kehadiranku di hatimu juga mengerdil? Atau aku sudah lenyap bagai mentari yang besar tergulung oleh bumi di hari akhir nanti? Ku kira kiamat telah datang padaku di hatimu.

Dalam kabin pesawat ini aku hanya menyebut nama Tuhan dan namamu. Kemudian aku leburkan dirimu dengan Tuhan sehingga menjadi kesatuan dalam doa yang terus-menerus aku semogakan.

Kemudian dengan cepat pesawat sudah berada di permukaan laut. Aku teringat dengan kamu yang pergi ke Bontang dengan kapal laut bersama ayahmu yang sudah berbalut perban, dan akan berlayar selama beberapa hari hingga kamu menggapai daratan yang bisa melupakanku selamanya, ataukah kamu masih mengingatku hingga sekarang?

Aku teringat dengan ekspresi wajah ayahmu yang begitu membenciku sehingga aku mungkin tak akan direstui oleh orangtuamu. Aku tahu aku merasa bersalah. Seandainya ada cara untuk menghapus luka ayahmu, aku akan memberikannya dan memohon berjuta-juta maaf kepadanya dan memohon agar kamu tak pergi menuju suatu tempat yang tak bisa kucapai sendiri. Namun nyatanya, aku akhirnya bisa menuju tempatmu untuk menjadi dokter yang mungkin bisa menyembuhkan luka ayahmu atau mungkin bisa menjadi penyakit baru yang bisa mengancamnya.

Dalam perjalanan ini pun aku teringat kembali saat-saat aku ditahan oleh polisi sebagai salah satu tersangka dalam pengeboman. Mau tak mau aku harus pasrah untuk mendekam di penjara sebagai orang yang berdosa, dan aku memang menyesali segala perbuatanku. Berbulan-bulan di dalamnya menyadarkan aku akan dirimu yang seharusnya aku dengar sedari dulu. Hingga kini, yang kudengar bukan lagi lantunan ayat atau pun nasehat, melainkan mendengar beritamu bertunangan dengan seorang polisi. Mendengarnya membuat selku bergonjang-ganjing tak menentu hingga akhirnya pagar jeruji bisa rusak juga karena beritamu.

Bukan, aku bukan bebas karena penjara gonjang-ganjing dengan beritamu. Tetapi entah kenapa aku ternyata terbukti tidak bersalah. Entah malaikat mana yang menjadi pengacaraku sehingga aku terbebas, aku tidak pernah bertemu dengan pengacara gratisan misterius itu setelah bebas. Aku juga berpikir, apakah itu kamu yang menjadi pengacara itu? Jika memang iya, tujuan kamu untuk membebaskanku? Apakah agar aku semakin menderita untuk menyaksikan bahwa kamu hendak dipinang orang? Jika itu memang hal yang benar, Diana. Kumohon ijinkan aku mencegah hal itu terjadi kali ini. Akan kuberikan sejuta sore untukmu agar kamu jual menjadi emas lalu pajanglah sebagai cinta yang benar-benar berharga dariku seperti sekarang ini, sore telah tiba.

***

Matahari telah setengah terbenam, azan maghrib menggema di tanah Balikpapan. Aku mencoba menginjakkan kakiku yang berterompah ke tanah Kalimantan yang akhirnya aku bisa kunjungi juga. Cuacanya begitu tentram ketika sore, mungkin aku harus mencoba siangnya yang konon memang terik dan panas. Di sinilah aku yang masih buta akan pulau besar ini, dengan keadaan yang asing sendiri dan entah ke mana tujuanku di pulau ini.

Bandara Sepinggan mengantarkan aku ke dalam kesibukkan orang-orang Balikpapan. Membuatku terasa asing di sini dengan mereka yang bercakap-cakap menggunakan bahasa yang tidak sama sekali kumengerti, tetapi logat mereka begitu enak di dengar seperti orang melayu tercampur logat makassar, seperti logat yang sering kamu lantunkan kepadaku. Aku sepintas langsung teringat kepadamu untuk melanjutkan perjalanan tempatmu. Bontang.

Setelah sebahyang, aku langsung memesan travel menuju Bontang. Aku cukup merogoh kocek sekitar 150ribu saja, toh nanti semua pengeluaranku terbayarkan dengan muara bertemunya aku dengan dirimu. Bukannya aku kaya dan memiliki banyak uang, tetapi aku memang memiliki tabungan yang cukup. Perjalanan menuju tempatmu memakan waktu 6 jam. Sekarang jam setengah 7, itu berarti aku akan sampai di tempatmu pukul satu tengah malam. Entahkah aku akan telat untuk perjumpaan dengan dirimu, tapi sudikah kau menunggu kedatanganku yang mendadak ini.

Ataukah kamu sudah memprediksi kedatanganku sebelumnya? Bisa saja kamu sedang memegang fotoku di teras rumahmu sambil meminum susu panas menertawakan aku karena kebodohan-kebodohan yang lalu, atau bisa saja tertawamu itu diganti dengan amarahmu yang enggan menemuiku bahkan kamu katakan kepada ayahmu tentang kedatanganku sehingga aku bisa saja terusir oleh ayahmu. Jika kedatanganku adalah hal yang tidak kamu harapkan, biarkan aku seperti musafir yang menderita dalam perjalanan jauh, yang haus, yang lelah, yang terbuang bagai bagian hati yang terlupakan.

Aku terkantuk-kantuk selama perjalanan menggunakan travel. Suasana sunyi para penumpang yang hanya berdiam-diam saja dan ada juga yang mematung, nampaknya mereka tak ada yang saling mengenal. Kadang aku jatuh tertidur lalu bangun kembali karena guncangan melalui jalanan yang rusak atau juga berbatu, kadang semakin sunyi ketika melewati hutan-hutan yang gelap dan nyaris tak ada pencahayaan lampu jalan maupun pengendara kendaraan lain.

6 jam tak terasa, semua penumpang travel turun di Bontang. Aku yang masih setengah sadar segera bergegas menuju tempatmu. Aku tahu kamu tinggal di mana, aku cukup bermodalkan fotocopy KTPmu yang tertinggal di kontrakanmu yang berisikan alamat aslimu di Bontang. Cukup kucari alamatmu di GPS ponselku, aku berjalan mengikuti garis yang memang agak jauh bila berjalan kaki dari tempatku turun. Kuputuskan berjalan kaki.

Suasana kota ini begitu sepi malam ini, semua orang sudah tertidur pulas di rumahnya masing-masing atau di penginapannya. Aku berharap, kamu memimpikan kedatanganku malam ini. Aku berjalan sendiri dalam sunyi, hanya truck-truck proyek yang lalu-lalang sekali-dua kali yang terkadang membuatku harus menutup muka dan membiarkan gamis putihku tercemar oleh tiupan asap solar seperti musafir ditengah gurun hitam merindukkan sungai.

Akhirnya beberapa meter lagi aku akan sampai di tempatmu. Badanku yang sedikit lepek oleh keringat membanjiri jalan kecil ini yang mungkin pas dimuat 2 mobil sekaligus dengan berpepet-pepet. Dalam imajinasiku, aku bisa membayangkan betapa terkejutnya diri kamu di saat kamu terbangun untuk solat tahajud atau aku mungkin bisa mengintip dari luar di jendela kamarmu dan melihat kembali wajah pulasmu tertidur. Ragaku belum sampai di tempatmu, tapi khayalku sudah sampai di tempatmu.

***

Apa-apaan ini? Ke mana semuanya?

Gelap. Pekat.

Sesaat aku tiba di kawasan yang seharusnya rumahmu berada, aku benar-benar terkejut. Tempat ini habis tersisa abu berhektar-hektar seperti habis di semburkan api oleh naga. Aku melihat sisa-sisa goresan-goresan dan abu-abu yang berserakkan. Aku menyaksikan banyak garis kuning polisi melintang di mana-mana.

Aku berlari-lari mencari kebanaran tempat seharusnya engkau berada dengan gelisah mencarimu. Setiap langkah kakiku mengenai serbuk abu, abu itu beterbangan hingga meracuni paru-paruku. Aku terbatuk.

Gelisah ku rasa, apakah dirimu sudah menjadi abu yang tak sengaja terinjak dalam pijakannku. Aku mencarimu lagi di saat aku semestinya bertemu denganmu. Padahal telah kubayang-bayangkan kau membuka pintu rumahmu dengan senyuman, kadang juga kupikir dengan kebencian yang mendalam.

Setidaknya, yang kubutuhkan adalah seduhan kopimu untuk malam ini. Setidaknya, yang ku mau ucapan selamat datangmu yang rancu bunyinya.

Tak jauh dari pandangku yang sedang terbatuk, samar-samar abu yang berterbangan menghilang dan memunculkan segerombolan orang. Aku melihat kerumunan polisi berseragam dan para SAR berseragam jingga. Apa-apan ini? Apa yang terjadi dengan tempat ini? Seharusnya dirimu ada di sekitar sini. Seharusya aku sudah bisa melihat wajahmu yang sedang tertidur pulas atau sekedar mengucapkan salam kepadanya. Aku bergegas menuju salah satu polisi yang ada.

Saat bergegas, segerombolan polisi berpengamanan lengkap mengejarku. Mereka memoncongkan larasnya ke arahku.

“Berhenti!” Seru seorang berseragam kepadaku.

“Kamu mendapatkan seseorang yang mencurigakan!”

“Angkat tangan! Angkat tangan!”

Aku dalam keadaan yang mencekam tiba-tiba.

“Sepertinya salah satu dari tersangka, kapten.”

“Borgol dia!”

Kalut sudah pikirku. Aku dijatuhkan ke tanah berabu oleh dua orang polisi mencoba menjinakkanku yang lelah untuk memborgolku. Entahkah aku dijebak olehmu, aku hanya pasrah. Tanganku sudah diborgol Kemudian aku hanya bisa menjerit dalam hati.


Diana.Diana.. Puspita Anggreini Diana...

You May Also Like

0 komentar