Featured

ANGKARA BUWANA

by - April 01, 2018

Monumen Lindu Gedhe di Prambanan.
Sumber: brilio.net

Mengingat kenyataan yang menyeramkan 12 tahun yang lalu itu, membuat Johan, nama panggilan dari Aloysius Johan Chandra Putra, hanya bisa terduduk merenung terduduk pada kursi kelas kuliahnya di Universitas Multimedia Nusantara. Ia sebenarnya tak mau mengingat kembali peristiwa yang ia alami semasa kecilnya itu. Bahkan sedikit goncangan saja, bisa membuatnya panik.

Ia tidak mau lagi melihat gerombolan orang panik keluar rumah dan menyaksikan mayat-mayat berjatuhan. Baginya berlama-lama di tanah lapang adalah kondisi terbaik, dari segala malapetaka dari reruntuhan bangunan yang goyah mengancam nyawa dengan jatuh secara babi buta.

***

Minggu itu, 27 Mei 2006. Hari Minggu itu, bukanlah Minggu yang ceria bagi Johan, seorang anak kecil yang duduk di kelas 4 SD. Minggu itu, seharusnya adalah hari orang-orang berkumpul dan bergembira bersama keluarga ke tempat berlibur menyenangkan di Klaten. Atau mungkin sekedar menghabiskan akhir pekan di tanah lapang perkampungan, bermain gobak sodor atau petak umpet bersama teman-teman.

Johan lahir di Klaten, tanggal 23 Februari 1998. Semenjak lahir, ia dititipkan orangtuanya kepada Kakek dan Neneknya yang berada di Klaten juga. Alasan orangtuanya menitipkan sederhana, demi keamanan dan keselamatan Johan. Karena orangtua Johan sebenarnya tinggal di Jakarta yang sedang panas-panasnya oleh krisis moneter, dan kerusuhan rasial yang membara di mana-mana.

Tapi pagi itu, tak ada lagi petak umpet dan gobak sodor bagi Johan.

***

Seperti biasa, pada pukul 5 pagi, Mbok, panggilan Johan untuk neneknya, sedang menyiapkan sarapan. Sedangkan Mbah, panggilan Johan untuk kakeknya, sedang menyeruput kopi di teras rumah, dirindangi pohon mangga, di atas kursi bambu yang ia buat sendiri.

Rumah yang berdiri sederhana di dukuh Ngantenan, desa Canan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten itu kemudian, terasa aneh. Bumi bergunjang-ganjing, lampu gantung di ruang tamu bergoyang-goyang. Ternyata gempa berkekuatan besar membuat panik seisi rumah. Mbah lari ke depan halaman, Mbok berlari membangunkan Johan yang masih lelap dalam tidurnya.

Le, tangi le! (Nak, bangun nak)

Johan terbangun dari tidurnya, ia dibangunkan oleh Mbok.

Gempa le! Gek tangi, mlayu, metu o!(Gempa, nak! Cepat bangun, keluarlah!)Seru neneknya, di pagi itu. Bersama Mbok, Johan berlari tunggang-langgang ke halaman mengikuti Mbah.

Sesampai di depan halaman, Johan dan Mbok yang panik ketakutan karena bumi yang berguncang, masuk ke dalam pelukan Mbah. Mbah seperti berusaha melindungi mereka, walaupun sebenarnya juga sama-sama dalam ambang ketakutan.

Di dalam pelukannya, Johan melihat rumah yang ia tumpangi sedari lahir rubuh. Tak lagi kokoh seusai digoyangkan alam. Kemudian diikuti oleh rumah tetangga-tetangga sekitarnya yang sudah berhamburan, rumah-rumah mereka rubuh secara hampir bersamaan. Hingga kemudian, semua yang berdiri gagahnya di pinggir jalan desa Ngantenan itu, rata dengan tanah.

Allahu Akbar!

Laa Ilaha Illallah!”

“Tuhan Yesus!”

“Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu...”

Semua berhamburan, menyerukan nama dan berdoa kepada Tuhannya. Selain itu juga, diiringi suara teriakan ramai untuk menyelamatkan diri dan orang-orang yang terkasihnya. Walaupun satu-satu jatuh korban, hingga akhirnya korban yang berjatuhan sebanyak 335 jiwa di kecamatan Wedi.

Di halaman yang luas, Johan, Mbok dan Mbah, hanya bisa diam saling berpelukkan, dan hanya menyaksikan keadaan yang tiba-tiba yang tak biasa karena guncangan dahsyat berkekuatan 6,3 skala richter menurut lembaga BMG yang kemudian telah melebur menjadi BMKG itu.

Tiba-tiba ada yang berteriak dengan spontan dari hiruk-pikuk warga yang panik.

Ayo! gek munggah nang gunung! Ono Tsunami!! (Ayo! Cepat naik ke gunung! Ada Tsunami!)” Ujar seorang yang katanya mendapatkan informasi bahwa gempa tersebut berisiko tsunami.

Teriakan tersebut membuat warga Ngantenan dan sekitarnya, yang berada di kecamatan Wedi terbirit-birit. Semua mengeluarkan kendaraannya yang bisa digunakan. Mobil dan motor yang selamat dari reruntuhan, bahkan sepeda keluar dari parkirannya untuk menaiki dataran tinggi. Semua mengevakuasi diri.

Sialnya, kabar Tsunami itu bohong. Seorang kakek-kakek mengetahui berita kebenaran Tsunami yang ternyata tidak ada itu dari radionya. Warga Ngantenan geram, dan kesal karena informasi asal telan oleh warga lain yang tak sempat mengecek kebenaran informasi tersebut.

***

Johan sudah lupa bagaimana rasa pedih yang diterima pada tragedi itu. Jelasnya, Ia tak mau lagi mengingat kejadian dahsyat yang merusak lingkungan masa kecilnya, dan beberapa orang terdekat seperti tetangganya yang sudah tiada akibat bencana tersebut.

Jelasnya, pihak gereja datang memberikan bantuan kepada keluarga dan penduduk yang beragama Nasrani. Mereka memberikan sumbangan dengan bentuk dana serta, tenaga untuk membangun desa kembali dari kehancuran.

"Setidaknya, aku aman sekarang di Jakarta," syukurnya saat diwawancara.

***
Rumah Dome di Prambanan.
Sumber: akutj.id


Saat ini, kejadian tersebut diabadikan dalam bentuk monumen, bernama Monumen Lindu Gedhe yang berlokasi di Prambanan. Diresmikan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang gunanya, sebagai aktivitas penyegiaan terhadap bencana sekaligus mengenang bencana besar 12 tahun lalu yang membekas di penduduk yang terkena bencana tersebut.

Dikutip dari infolokasi.com, lokasi tersebut sering dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara untuk berswafoto.

Selain itu juga, terdapat pemukiman rumah Dome atau yang biasa disebut rumah Teletubies. Pemukiman tersebut berguna sebagai model pemukiman yang tahan gempa, pasca terjadinya gempa yang berpusat di Bantul tersebut. Saya sebelumnya pernah berkunjung ke sana pada 2010.

Keharmonisan terjalin di pemukiman rumah Dome, dan gotong-royong yang tinggi pada masyarkatnya, seperti kerja bakti, dan lain sebagainya. Selain itu, pemukiman ini juga terdapat fasilitas sosial seperti puskesmas, mushola dan toilet bersama, semua ini didapatkan bantuan dari lembaga Domes For The World.

Seperti, Monumen Lindu Gedhe, tempat ini juga dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Pemukiman yang unik berebentuk seperti rumah serial televisi anak-anak itu, menjadi objek wisata dan pembelajaran geologi juga untuk dikunjungi. Lokasinya berada di Kelurahan Sumberharjo, kecamatan Prambanan, kemudian diresmikan pada 2008 sebagai simbol pengingat bencana tersebut.

You May Also Like

0 komentar