Featured

MENJADI TUHAN DENGAN DOKTRIN MENGKAFIR-KAFIRKAN SEJAK DINI

by - April 14, 2017


"Dasar Cina Kafir!"
"Pemakan Babi!"
"Yang nyembah Yesus itu otomatis masuk neraka!"
"Jangan temenan sama dia, dia kan kafir"
"Halal hukumnya darah seorang kafir"

Sejujurnya, saya menulis ulang umgkapan-ungkapan yang sering diteriakan oleh fanatik garis keras suatu agama terhadap agama lain itu agak tidak enak. Seperti menyebarkan kebencian dan mencari musuh dari orang-orang yang bukan golongan sendiri.

Tidak hanya disebutkan secara langsung oleh pemuka-pemuka yang menganggap dirinya sebagai ulama, bahkan tersebar di media sosial. Sejak Januari 2018, saya memburu akun-akun yang menebarkan kebencian terhadap kebhinekaan dari segala golongan yang berbenturan. Kegiatan tersebut membuat saya menemukan, bahwa dengan mudahnya kebencian itu menjalar ke semua orang-orang yang memiliki akun, terutama konten hate speech itu sendiri banyak ditemukan di facebook dan instagram.

Salah satu konten bermuatan provokasi di Instagram.

Saya mengkhawatirkan penebaran kebencian terhadap golongan lain, atau pengkafir-kafiran ini, bisa dibaca kepada mereka yang belum matang keilmuannya, seperti anak dibawah umur. Betapa menyeramkannya kehidupan di awal era digital ini, semua akses baik bahkan buruk bisa terserap dan terakses oleh anak-anak usia dini. Informasi-informasi di era digital ini, bisa merusak pola pikir anak mengenai "Siapa yang kafir?" "Apa yang akan dimaksud dengan kafir?" "Apa jadinya orang kafir di akhirat?" "Harus diapakan orang-orang kafir?"

***

Teringat pada masa kecil saya saat masih tinggal di Surabaya, tepatnya di Wiyung. Saat kecil saya tinggal bersebelahan dengan beberapa tetangga yang menjadi teman masa kecil saya, yang bahkan yang saya temani adalah orang non-muslim. 

Saat itu sekitar tahun 2001-2002 yang masih hangat-hangatnya tahun setelah krisis sosial di tahun 1998 (tahun di mana saya lahir), teman-teman saya yang non-muslim ini dipanggil Koko, Cici dan Bhea. Koko dan Cici usianya kurang lebih 3-5 tahun lebih tua dari saya, sedang Bhea sepantaran dengan saya. Koko dan Cici beragama Kristen, sedangkan Bhea Kong Hu Chu. Semua harmonis dan lugu saat masa kecil, bahkan saat saya masuk TK At-Taqwa yang bersebelahan dengan TK tempat Bhea bersekolah yang saya lupa namanya, dan Masjid At-Taqwa bersebelahan dengan Gereja IFGF di komplek tersebut. Kami masih berteman, terutama dengan Bhea karena sering berjumpa saat pulang TK.

Namun saat saya SD di Tangerang, di SD Islam Terpadu Nurul Islam (kini telah menjadi Al Wildan Islamic Boarding School). Saat pendidikan dasar agama Islam diajarkan, berbagai doktrin mengenai non-muslim yang buruk ditanam oleh beberapa guru. Guru-guru yang saya anggap radikal ini, menanamkan bahwa berhati-hatilah kepada orang kafir, dan mengajarkan kebencian terhadap orang-orang kafir hingga memenggal ayat yang mengatakan 'darah orang kafir itu halal'.

Ayat yang dipenggal ini adalah surah At-Taubah: 36

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."

Ayat tersebut terpenggal menjadi Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya. Doktrin pun tersebar mendasar di jiwa anak-anak SD tersebut, termasuk saya.

Tidak hanya di sekolah, saat saya di rumah pun ketika sudah pindah ke Kelapa Dua, Tangerang. Saya tinggal di lingkungan mayoritas muslim. Saya memiliki tetangga sekaligus teman dan seusia dengan saya beragama Nasrani (entah dia Katolik atau Kristen), namanya adalah John dan Will. Suatu sore ketika saya bermain di lapangan bulu tangkis, depan Mushala komplek bersama teman-teman, John dan Will ingin ikut bermain. Namun seorang teman bermain melarangnya, dengan alasan ini lapangan Mushala dan tidak boleh bagi orang kafir bermain. Saya yang termakan doktrin guru radikal dan lingkungan teman-teman komplek, ikut melarang bahkan mengusir dua orang ini. Padahal, lapangan tersebut adalah ruang terbuka di komplek saya. 

***

Anti kekafiran dan pengkafir-kafiran saya memuncak ketika masuk SMP pesantren di Jogja. Malah pesantren tersebut sangat politis sekali, karena penyumbang terbesarnya adalah Amien Rais, seorang ketua partai. Meskipun pesantren tersebut dibawahi oleh organisasi Islam bernama Muhammadiyah, tetapi doktrin mengenai orang kafir sendiri tersebar dalam beberapa ceramah dan pendidikan di pesantren tersebut.

Sampai akhirnya di pendidikan tersebut saya nyaris semain mabuk agama Islam. Saya hanya memiliki teman-teman beragama yang sama dengan saya, dan konsepsi Jihad yang (walaupun menentang terorisme) yang keras mengenai menghakimi seorang muslim. Bahkan pemikiran ideologi yang harus patuh pada agama, bukan Pancasila yang memiliki pandangan terhadap keragaman. 

Syukurnya, saya memiliki orangtua yang pemikirannya terbuka mengenai teman dengan siapa saja bebas asal jangan terjerat, dan memiliki pandangan toleransi terhadap keberagaman agama. Sejak kecil pun, saya sering dibelikan buku oleh kedua orangtua saya dan memahaminya. Hingga saat SMP, saya sering membaca-baca buku karangan Karl Marx, Muhammad Hatta, Karen Armstong, Larry Gonick, Ibnu Batutah, Imam Maliki, Dalai Lama dan buku-buku berat lain tentang kosmik, sosial, pluralisme, kebebasan pemikiran, ilmiah alam (seperti National Geographic, dan segala penelitian ilmiah maupun, seputar traveling yang membukaka pikiran tentang dunia), dan masih banyak yang berat untuk dibaca untuk anak SMP. Buku-buku tersebut kadangkala saya bawa ke pesantren sejak kelas 2 SMP.

Dari buku-buku tersebut, saya memahami dan menyebarkan ilmu tentang keterbukaan pemikiran terhadap teman-teman saya tentang agama Islam dan keragaman di agama, ideologi, sosial di dunia maupun Indonesia. Suatu ketika malah saya terucap antek kafir di pesantren saya karena menyebarkan ilmu yang tidak sesuai dengan di pesantren. Hingga kini pun beberapa diantara teman, ustad saya yang ada dan alumni di sana pasti menganggap saya begitu. 

Bahkan penyebutan PKI atau Liberal pernah dilabeli kepada saya, yang padahal Komunisme dan Liberalisme adalah hal yang berlawanan, dan saya berani taruh, Pancasila itu sendiri terkandung nilai-nilai Komunisme dan Liberalisme sehingga bisa beragam. Tentunya dogma Pancasila lebih kuat daripada dogma di dalam pesantren tersebut, karena ia terlindungi oleh segenap rakyat Indonesia, bukan dogma Islam garis keras yang dipegang santri dan ustad-ustazah pesantren.

Karena kejiwaan saya yang masih muda, masih SMP tersebut, membuat saya yakin, bahwa agama bukanlah patokan saya untuk hidup. Bahkan saya bangga dikafirkan oleh rekan-rekan saya dan ustad saya. Saya pun usai lulus 3 SMP, keluar dari pesantren tersebut.

***

2013 pertengahan, saya masuk SMA yang lebih bebas, dan masih berkutat di SMA beragama Islam, SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (MUHI). Berbagai kegiatan saya lewati, bahkan pada 2014 saya mengikuti program dari Balai Bahasa Yogyakarta untuk turut serta dalam kesastraan. Di awal kebebasan saya tersebut saya mengenal orang-orang berbeda bahkan agamanya beda.

Namun ada pihak yang menjelekkan nama baik sekolah Muhammadyah ini, yakni adalah geng sekolah. Terlebih parahnya, saya juga ikut berpartisipasi pada kegiatan geng tersebut walaupun secara tidak langsung, seperti ikut kumpul-kumpul dan tawuran. Musuh bebuyutan dari geng sekolah saya ini, adalah geng dari SMA Bopkri 2 Yogyakarta (BODA), yakni sekolah pendidikan Kristen di Yogyakarta. Salah satu aksi yang dilakukan dari geng sekolah kami adalah membawa embel-embel agama seperti bendera Tahlil, dan membawa-bawa nama Tuhan seperti Takbir, Tahmid, dan Tahlil, dan lebih memalukannya lagi membawa bendera Muhammadiyah. Seolah kegiatan yang mereka lakukan (termasuk saya), adalah suatu kegaitan Jihad. Walaupun, sekolah lawan kami juga ikut-ikut membawa embel-embel agama mereka. Jogja memanas.


Jika diingat-ingat, untuk apa kita membawa-bawa agama? Bahkan membawa bendera Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang toleran? KH Ahmad Dahlan yang menyebarkan pembaruan agama Islam di Indonesia yang sempat dikafir-kafirkan masyarakat, bisa malu atas tindakan tersebut.

Tidak hanya itu, tindakan 'jihad' tersebut ternyata dilakukan oleh beberapa guru di sekolah. Konon katanya berdasarkan isu-isu di sekolah saya, beberapa guru bila mengawasi UN di sekolah-sekolah non-muslim akan mengetatkan pengawasannya, sedangkan di sekolah-sekolah muslim terutama di sekolah-sekolah yang sesama Muhammadiyah akan melonggarkan pengawasannya, begitu juga sebaliknya dari guru-guru sekolah non-muslim. Untuk perkara ini, bisa tolong dicek validitasnya bagi pembaca yang sedang mengenyam pendidikan di SMA tersebut.
***

2016, saya lulus SMA dan masuk ke Universitas yang lebih plural sosialnya di Tangerang. Universitas Multimedia Nusantara. Mengenai keberagaman dan keterbukaan pikiran saya semakin terbuka di sini. Bacaan-bacaan saya terterapkan di sini mengenai toleransi. Pluralitas di kampus saya beragam, terdapat orang Muslim, Non-Muslim, Ateis, Agnostik, LGBT, dan masih banyak keragaman latar belakang manusia lainnya.

Bahkan di masa kuliah saya, saya bertemu dengan orang yang ternyata dari sekolah yang gengnya adalah musuh bebuyutan sekolah saya, dan kami menjadi teman baik seolah lupa luka-luka yang kami saling ciptakan di masa SMA.

Selama saya mengambil pendidikan jurnalistik, saya meliput banyak hal sekali mengenai isu SARA dan anti-toleransi di negeri ini. Sangat disayangkan di negeri yang bersemboyan "Bhineka Tunggal Ika" ini, kekerasan, isu politik-SARA dan fanatik agama begitu tersebarnya di negeri ini melalui sosial media ataupun khutbah-khutbah provokatif. Penanaman dogma selalu mengincar kepada mereka yang memiliki kurangnya pendidikan dasar mengenai memanusiakan manusia sendiri, seolah golongan sendiri adalah maha manusia,  dan pembicara provokasi adalah Tuhan.

Perihal kafir-mengkafirkan orang, menganggapnya dia masuk neraka atau bukan, bukankah itu urusan Tuhan? Tetapi banyak sekali orang-orang mengganti jabatan Tuhan itu sendiri.

Secara filsafat, bukankah suatu hal termasuk manusia memiliki nilai dan buruk, tetapi mengapa selalu menilai bahwa orang kafir adalah orang yang buruk? Apakah kualitas keburukan hanya berpatok dari kekafiran seseorang? Bukankah kita sendiri belum tentu masuk surga? Bahkan surga dan neraka pun belum tentu keberadaannya.

***

Bersyukurnya saya dilahirkan dari orangtua yang berpikir terbuka mengenai keberagaman di Indonesia dan seluruh dunia. Pendidikan dasar di rumah dari orangtua saya, membuat saya terhindar dari penyakit mengkafir-kafirkan orang lain.

Pendidikan sendiri bukan hanya dari sekolah. Perlunya pendidikan dasar untuk menggunakan akal sehat dari keluarga. Anak-anak perlu dijaga pikirannya dari segala macam doktrin provokatif, agar anak-anak memahami, bahwa hidup itu indah jika dijalani bersama orang-orang yang berbeda-beda latar belakangnya, termasuk agamanya.

Namun kerasnya kehidupan kini membuat saya takut untuk berkeluarga dan memiliki anak. Karena tanggung jawab sebagai orangtua, adalah bagaimana mengurus anaknya untuk masa depan dunia yang lebih baik.

Akhir kalimat, saya mengutip lirik John Lennon - Imagine.
Imagine all the people, living life in peace.

You May Also Like

0 komentar