KETIKA PERS BERSUARA...
Foto oleh: Fadhil Djajasasmita. |
Tidak hanya buruh pekerja
di sektor industri barang dan jasa, para jurnalis juga tergabung dalam aksi
mayday tersebut. Tuntutan mengenai pemberian upah rendah, jaminan sosial yang
rendah, kekerasan terhadap jurnalis, dan menuntut penghormatan kerja jurnalis,
menjadi tuntutan yang banyak dilontarkan. Salah satu serikat jurnalis yang
mengikuti aksi buruh yang diadakan di Senayan, Jakarta, adalah Aliansi Jurnalis
Independen (AJI). Alasan jurnalis harus mengikuti aksi tersebut menurut AJI,
bahwa jurnalis juga pekerja kasar untuk mengisi konten liputan atau feature-feature yang ada pada media.
“Bilang sama Dilan, yang
berat itu jadi jurnalis, gajinya minim,” tulis salah satu spanduk demonstran
dari kawanan media dengan membawa lelucon film Dilan 1990.
Tuntutan mengenai jaminan
sosial bagi jurnalis, sesuai dengan amanat Undang-Undang No 24 Tahun 2011
tentang BPJS. Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI, Aloysius Budi Kurniawan
menyampaikan bahwa jaminan sosial dan kesehatan itu perlu bagi jurnalis karena
termasuk buruh media.
"Tujuan kami adalah
agar perusahaan pers wajib memenuhi undang-undang jaminan sosial tersebut
kepada seluruh karyawan pekerja media," kata Budi saat peringatan Hari
Buruh.
Budi menyampaikan
pendapatnya, perusahaan media selama ini membuat citra seolah-olah mematuhi UU
BPJS untuk kesejahteraan pekerjanya, namun yang terjadi tidak sesuai dengan
kenyataannya. Citra tersebut berbentuk perusahaan yang tidak memasukkan
karyawannya, termasuk jurnalisnya kepada BPJS. Selain itu ada juga perusahaan
yang memasukan karyawannya kedalam BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan tetapi
tidak membayarkannya, atau hanya membayarkan salah satu BPJS antara Kesehatan
atau Ketenagakerjaannya saja. Bahkan perusahaan media juga ada yang tidak
melakukan pendaftaran pekerjanya ke BPJS tetapi diikutkan asuransi lain yang
nilai jaminannya lebih rendah dari BPJS.
Dalam siaran pers di
Jakarta tahun 2015, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI, Yudie Thirzano,
mengatakan, “Jika dulu ancaman terhadap kebebasan pers dilakukan oleh negara,
kini AJI melihat ancaman terhadap kebebasan pers justru dari dalam industri
media itu sendiri.”
Foto oleh: Fadhil Djajasasmita |
Sebagian jurnalis lepas
atau tidak tetap sendiri pun memiliki sebutan mereka beragam dari perusahaan
media, mulai dari koresponden, kontributor, freelance,
stringer, hingga Tuyul. Para jurnalis dengan status tidak tetap ini masih berjuang
menuntut kesejahteraan yang lebih baik dari perusahaan pers. AJI yang lebih
dari 40 persen memiliki anggota yang berstatus
sebagai pekerja tidak tetap ini menemukan sebagian besar dari mereka mendapat
upah rendah. Sebagian jurnalis malah menerima penghasilan jauh di bawah UMR
(Upah Minimur Regional) yang berlaku di tiap provinsi.
Selain di Jakarta, AJI
juga ikut aksi buruh di berbagai kota.Di Bali misalnya, Ketua AJI Denpasar Hari
Puspita mengakui bahwa organisasinya tak segan-segan ikut berdemo, karena
kenyataannya saat ini banyak sekali yang diupah sangat rendah dengan ikatan
kerja yang tak jelas dan tanpa jaminan sosial serta kesehatan. Sedangkan di
Sumatera Selatan, Ketua AJI Palembang, Ibrahim Arsyad mengajak para jurnalis
ikut serta dalam aksi damai buruh tersebut sebagai momentum menguatkan para
jurnalis dan makin menyehatkan perusahaan media.
Selain dari sisi
peningkatan kesejahteraan pers yang masih sangat minim, perlindungan kerja juga
menjadi tuntutan pers yang bekerja dibawah perusahaan media. AJI mengungkapkan
dalam tuntutan kepada Dewan Pers pada Hari Kebebasan Pers Dunia di Surabaya,
bahwa dalam satu dekade terakhir 640 kasus kekerasan kepada jurnalis dalam
bentuk kekerasan fisik, intimidasi maupun teror.
Kekerasan yang dialami
jurnalis diantaranya terjadi pada wartawan Radar Madura, Ghinan Salman 2016
lalu yang dikeroyok beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat melakukan
peliputan dan kasusnya yang tidak kunjung disidangi. Selain itu juga pada
jurnalis Harian Surya, Sugiono yang dituduh mencemarkan nama baik dalam UU ITE
ketika meverifikasi informasi. Data kasus tersebut berdasarkan apa yang
disampaikan AJI dalam siaran persnya.
BACA JUGA ARTIKEL:
“Dalam banyak kasus,
media massa ini malah berubah menjadi menjadi corong politik partai pemilik
media” Ujar dalam siaran pers AJI sebagai bentuk keperihatinan dengan adanya
ikut campur pemilik media ke ruang redaksi, khususnya yang merangkap sebagai pemilik media
sekaligus ketua partai.
AJI juga mengatakan,
selagi masih berjalannya peristiwa kekerasan pada jurnalis dan intervensi
pemilik media, kebebasan pers belum sepenuhnya terwujud dan terbentuk khususnya
di Indonesia.
Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) juga menuntut pada semua pihak untuk menghormati kerja
jurnalis dan dilindungi UU Pers. Ungkapan tersebut disampaikan IJTI sebagai
peneguhan inisiatif dalam rangka peringatan World Press Freedom Day 2018 yang
jatuh pada 3 Mei, dan peringatannya diadakan di Accra, Ghana.
Pernyataan pers IJTI yang
dibubuhi nama Ketua Umumnya, Yadi Hendriana dan Sekretaris Jenderal, Indria
Purnamahadi tersebut, mengungkapkan tantang jurnalis yang kini menghadapi
perkembangan teknologi informasi digital, terlebih munculnya media sosial yang
banyak penggunanya. Kondisi yang serba terbuka informasi, mengakibatkan
masyarakat tak lagi terbendungi oleh pengaruh media akibat arus informasi yang
makin tidak terkendali, hingga maraknya penyebaran hoax.
Solusi atas hal tersebut,
pentingnya Dewan Pers membuat undang-undang yang kuat dan harus dipatuhi setiap
perusahaan media maupun segala pihak mengenai keberadaan pekerjaan pers.
Menyadari fungsi berdasarkan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, bahwa
pers sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, media kontrol
sosial, dan media lembaga ekonomi. Perusahaan pers sendiri perlu juga
memberikan jaminan ketenagakerjaan maupun sosial kepada persnya, sehingga
jurnalisnya terjamin dalam segi kecelakaan kerja atau kehidupannya sebagai
wartawan yang memiliki resiko ancaman dari luar.
Foto oleh: Fadhil Djajasasmita. |
Aksi buruh 1 Mei, Ketua
Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSMPI) Sasminto Madrim, mendorong
dan mengajak dewan pers supaya dapat memberikan media kampus perlindungan yang
sama dengan jurnalis profesional. Forum Pekerja Media yang terdiri dari
beberapa aliansi organisasi jurnalis, berusaha membantu media kampus lewat AJI pada
kongresnya di Surakarta lalu untuk menjadi anggota AJI.
Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat kurang lebih terdapat 12 kasus diskriminasi
terhadap pers kampus dalam kurun 2014-2016 dengan beragam kasus seperti,
pelarangan diskusi, pembatasan pemberitaan, pelarangan terbit, pemberedelan
hingga pembekuan kepengurusan media. Variasi pelaku pembungkaman yang dilakukan
berbagai pihak dimulai dari pejabat kampus, pihak kepolisian, hingga sesama
lembaga kemahasiswaan seperti himpunan dan BEM, dengan alasan yang dikemukan
tidak jauh dari sifat fasisme dan anti kritik lembaga.
Dilansir dari persma.org, website dari PPMI. PPMI menyampaikan praktik diskrimanasi pers mahasiswa sendiri dapat dinilai sebagai bentuk penistaan terhadap demokrasi. Sebab praktik distribusi infomasi yang dilakukan oleh pers mahasiswa, meski tidak dilindungi secara lansung oleh lembaga pers yang berwenang. Pers Kampus diproteksi dengan terang lewat undang-undang, seperti pada pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak atas informasi, serta pemberlakuan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini membuka kesempatan seluas-luasya bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi.
Dilansir dari persma.org, website dari PPMI. PPMI menyampaikan praktik diskrimanasi pers mahasiswa sendiri dapat dinilai sebagai bentuk penistaan terhadap demokrasi. Sebab praktik distribusi infomasi yang dilakukan oleh pers mahasiswa, meski tidak dilindungi secara lansung oleh lembaga pers yang berwenang. Pers Kampus diproteksi dengan terang lewat undang-undang, seperti pada pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak atas informasi, serta pemberlakuan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini membuka kesempatan seluas-luasya bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi.
Sementara kampus dalam
statusnya sebagai insitusi pendidikan yang non-politik, dapat dinilai seharusnya
dalam menjalankan diskriminasi. Utamanya bila dilakukan oleh pejabat kampus
yang seharusnya lebih terdidik dan lebih matang soal kedewasaan berpikir,
apalagi praktik pembungkaman yang dilakukan seringkali di luar mekanisme yang
telah ditetapkan. Kampus sejatinya, adalah ruang sadar yang seharusnya jauh
dari pembatasan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Kampus adalah wadah
paling pantas untuk membicarakan diskursus sosial, oleh seluruh sivitas
akademik tanpa batasan dan rasa tidak aman selama dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Salah satunya kejadian
adalah wartawan Ultimagz, pers kampus di bidang majalah, saat meliput
permasalahan di kampus. Pihak kampus terkait kerap enggan memberikan keterangan
terhadap wartawan media Ultimagz dibandingkan media lainnya di kampus tersebut. Bahkan pada suatu pertemuan yang menghadirkan media-media kampusnya, pihak kampus kadangkala seperti menganak-tirikan Ultimagz dengan mengelu-elukan media lainnya dan menganggap sebelah mata media ini.
PPMI dalam lansirannya
menyuarakan tuntutan utama yang perlu diperjuangkan, mengenai diskriminasi
media kampus, yaitu;
- Hentikan segala bentuk pembungkaman terhadap pers mahasiswa.
- Pulihkan hak individu dan lembaga yang menjadi korban pembungkaman.
- Berikan jaminan rasa aman terhadap seluruh awak pers mahasiswa dalam melakukan peliputan dan distribusi pemberitaan.
- Kemenristek (kini Kemenristekdikti) harus tindak tegas birokrasi kampus yang mengekang kebebasan berekspresi berpedapat dan kebebasan pers di perguruan tinggiJurnalis harus perhatikan kode etik jurnalistik dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Hidup jurnalisme Indonesia.
Sumber data, berita, dan
informasi:
Tribunnews.com, Tempo.co, Teraslampung.com, Dewanpers.or.id, Metrotvnews.com, Suara.com, Kumparan.com, Tirto.id, Wartabromo.com, dan Persema.org
Tribunnews.com, Tempo.co, Teraslampung.com, Dewanpers.or.id, Metrotvnews.com, Suara.com, Kumparan.com, Tirto.id, Wartabromo.com, dan Persema.org