Featured

KETIKA PERS BERSUARA...

by - Mei 07, 2018

Foto oleh: Fadhil Djajasasmita.
Hari Buruh dirayakan setiap tahunnya dengan aksi damai dari berbagai pihak buruh pada 1 Mei. Aksi tersebut penuh dengan tuntutan untuk kesejahteraan sebagai pekerja yang salah satunya berlangsung di beberapa titik di Jakarta. Beberapa diantaranya adalah penuntutan terhadap upah layak dan jaminan sosial dari sejumlah serikat buruh.

Tidak hanya buruh pekerja di sektor industri barang dan jasa, para jurnalis juga tergabung dalam aksi mayday tersebut. Tuntutan mengenai pemberian upah rendah, jaminan sosial yang rendah, kekerasan terhadap jurnalis, dan menuntut penghormatan kerja jurnalis, menjadi tuntutan yang banyak dilontarkan. Salah satu serikat jurnalis yang mengikuti aksi buruh yang diadakan di Senayan, Jakarta, adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Alasan jurnalis harus mengikuti aksi tersebut menurut AJI, bahwa jurnalis juga pekerja kasar untuk mengisi konten liputan atau feature-feature yang ada pada media.

“Bilang sama Dilan, yang berat itu jadi jurnalis, gajinya minim,” tulis salah satu spanduk demonstran dari kawanan media dengan membawa lelucon film Dilan 1990.

Tuntutan mengenai jaminan sosial bagi jurnalis, sesuai dengan amanat Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI, Aloysius Budi Kurniawan menyampaikan bahwa jaminan sosial dan kesehatan itu perlu bagi jurnalis karena termasuk buruh media.

"Tujuan kami adalah agar perusahaan pers wajib memenuhi undang-undang jaminan sosial tersebut kepada seluruh karyawan pekerja media," kata Budi saat peringatan Hari Buruh.

Budi menyampaikan pendapatnya, perusahaan media selama ini membuat citra seolah-olah mematuhi UU BPJS untuk kesejahteraan pekerjanya, namun yang terjadi tidak sesuai dengan kenyataannya. Citra tersebut berbentuk perusahaan yang tidak memasukkan karyawannya, termasuk jurnalisnya kepada BPJS. Selain itu ada juga perusahaan yang memasukan karyawannya kedalam BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan tetapi tidak membayarkannya, atau hanya membayarkan salah satu BPJS antara Kesehatan atau Ketenagakerjaannya saja. Bahkan perusahaan media juga ada yang tidak melakukan pendaftaran pekerjanya ke BPJS tetapi diikutkan asuransi lain yang nilai jaminannya lebih rendah dari BPJS.

Dalam siaran pers di Jakarta tahun 2015, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI, Yudie Thirzano, mengatakan, “Jika dulu ancaman terhadap kebebasan pers dilakukan oleh negara, kini AJI melihat ancaman terhadap kebebasan pers justru dari dalam industri media itu sendiri.”
Foto oleh: Fadhil Djajasasmita
AJI menilai, industri pers yang berkembang pesat tak berbanding lurus pada kesejahteraan pers. Belum lagi perubahan media yang membuat beban kerja jurnalis dan pekerja media semakin bertambah untuk digital, namun dalam hal kesejahteraan tidak ada kemajuan.

Sebagian jurnalis lepas atau tidak tetap sendiri pun memiliki sebutan mereka beragam dari perusahaan media, mulai dari koresponden, kontributor, freelance, stringer, hingga Tuyul. Para jurnalis dengan status tidak tetap ini masih berjuang menuntut kesejahteraan yang lebih baik dari perusahaan pers. AJI yang lebih dari 40 persen memiliki  anggota yang berstatus sebagai pekerja tidak tetap ini menemukan sebagian besar dari mereka mendapat upah rendah. Sebagian jurnalis malah menerima penghasilan jauh di bawah UMR (Upah Minimur Regional) yang berlaku di tiap provinsi.

Selain di Jakarta, AJI juga ikut aksi buruh di berbagai kota.Di Bali misalnya, Ketua AJI Denpasar Hari Puspita mengakui bahwa organisasinya tak segan-segan ikut berdemo, karena kenyataannya saat ini banyak sekali yang diupah sangat rendah dengan ikatan kerja yang tak jelas dan tanpa jaminan sosial serta kesehatan. Sedangkan di Sumatera Selatan, Ketua AJI Palembang, Ibrahim Arsyad mengajak para jurnalis ikut serta dalam aksi damai buruh tersebut sebagai momentum menguatkan para jurnalis dan makin menyehatkan perusahaan media.

Selain dari sisi peningkatan kesejahteraan pers yang masih sangat minim, perlindungan kerja juga menjadi tuntutan pers yang bekerja dibawah perusahaan media. AJI mengungkapkan dalam tuntutan kepada Dewan Pers pada Hari Kebebasan Pers Dunia di Surabaya, bahwa dalam satu dekade terakhir 640 kasus kekerasan kepada jurnalis dalam bentuk kekerasan fisik, intimidasi maupun teror.

Kekerasan yang dialami jurnalis diantaranya terjadi pada wartawan Radar Madura, Ghinan Salman 2016 lalu yang dikeroyok beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat melakukan peliputan dan kasusnya yang tidak kunjung disidangi. Selain itu juga pada jurnalis Harian Surya, Sugiono yang dituduh mencemarkan nama baik dalam UU ITE ketika meverifikasi informasi. Data kasus tersebut berdasarkan apa yang disampaikan AJI dalam siaran persnya.


BACA JUGA ARTIKEL: 


“Dalam banyak kasus, media massa ini malah berubah menjadi menjadi corong politik partai pemilik media” Ujar dalam siaran pers AJI sebagai bentuk keperihatinan dengan adanya ikut campur pemilik media ke ruang redaksi, khususnya  yang merangkap sebagai pemilik media sekaligus ketua partai.

AJI juga mengatakan, selagi masih berjalannya peristiwa kekerasan pada jurnalis dan intervensi pemilik media, kebebasan pers belum sepenuhnya terwujud dan terbentuk khususnya di Indonesia.

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga menuntut pada semua pihak untuk menghormati kerja jurnalis dan dilindungi UU Pers. Ungkapan tersebut disampaikan IJTI sebagai peneguhan inisiatif dalam rangka peringatan World Press Freedom Day 2018 yang jatuh pada 3 Mei, dan peringatannya diadakan di Accra, Ghana.

Pernyataan pers IJTI yang dibubuhi nama Ketua Umumnya, Yadi Hendriana dan Sekretaris Jenderal, Indria Purnamahadi tersebut, mengungkapkan tantang jurnalis yang kini menghadapi perkembangan teknologi informasi digital, terlebih munculnya media sosial yang banyak penggunanya. Kondisi yang serba terbuka informasi, mengakibatkan masyarakat tak lagi terbendungi oleh pengaruh media akibat arus informasi yang makin tidak terkendali, hingga maraknya penyebaran hoax.

Solusi atas hal tersebut, pentingnya Dewan Pers membuat undang-undang yang kuat dan harus dipatuhi setiap perusahaan media maupun segala pihak mengenai keberadaan pekerjaan pers. Menyadari fungsi berdasarkan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, bahwa pers sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, media kontrol sosial, dan media lembaga ekonomi. Perusahaan pers sendiri perlu juga memberikan jaminan ketenagakerjaan maupun sosial kepada persnya, sehingga jurnalisnya terjamin dalam segi kecelakaan kerja atau kehidupannya sebagai wartawan yang memiliki resiko ancaman dari luar.

Foto oleh: Fadhil Djajasasmita.
Masih mengenai perlindungan pers, pers kampus juga menjadi sorotan berbagai serikat atau aliansi pers mengenai perlindungan kerja dari ancaman-ancaman yang menghantui pers dari segala sisi, dan masih rentan karena dikelola atau dijalani oleh golongan mahasiswa yang masih mengenyam pendidikan di kampus-kampus.

Aksi buruh 1 Mei, Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSMPI) Sasminto Madrim, mendorong dan mengajak dewan pers supaya dapat memberikan media kampus perlindungan yang sama dengan jurnalis profesional. Forum Pekerja Media yang terdiri dari beberapa aliansi organisasi jurnalis, berusaha membantu media kampus lewat AJI pada kongresnya di Surakarta lalu untuk menjadi anggota AJI.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat kurang lebih terdapat 12 kasus diskriminasi terhadap pers kampus dalam kurun 2014-2016 dengan beragam kasus seperti, pelarangan diskusi, pembatasan pemberitaan, pelarangan terbit, pemberedelan hingga pembekuan kepengurusan media. Variasi pelaku pembungkaman yang dilakukan berbagai pihak dimulai dari pejabat kampus, pihak kepolisian, hingga sesama lembaga kemahasiswaan seperti himpunan dan BEM, dengan alasan yang dikemukan tidak jauh dari sifat fasisme dan anti kritik lembaga.

Dilansir dari persma.org, website dari PPMI. PPMI menyampaikan praktik diskrimanasi pers mahasiswa sendiri dapat dinilai sebagai bentuk penistaan terhadap demokrasi. Sebab praktik distribusi infomasi yang dilakukan oleh pers mahasiswa, meski tidak dilindungi secara lansung oleh lembaga pers yang berwenang. Pers Kampus diproteksi dengan terang lewat undang-undang, seperti pada pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak atas informasi, serta pemberlakuan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini membuka kesempatan seluas-luasya bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi.

Sementara kampus dalam statusnya sebagai insitusi pendidikan yang non-politik, dapat dinilai seharusnya dalam menjalankan diskriminasi. Utamanya bila dilakukan oleh pejabat kampus yang seharusnya lebih terdidik dan lebih matang soal kedewasaan berpikir, apalagi praktik pembungkaman yang dilakukan seringkali di luar mekanisme yang telah ditetapkan. Kampus sejatinya, adalah ruang sadar yang seharusnya jauh dari pembatasan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Kampus adalah wadah paling pantas untuk membicarakan diskursus sosial, oleh seluruh sivitas akademik tanpa batasan dan rasa tidak aman selama dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Salah satunya kejadian adalah wartawan Ultimagz, pers kampus di bidang majalah, saat meliput permasalahan di kampus. Pihak kampus terkait kerap enggan memberikan keterangan terhadap wartawan media Ultimagz dibandingkan media lainnya di kampus tersebut. Bahkan pada suatu pertemuan yang menghadirkan media-media kampusnya, pihak kampus kadangkala seperti menganak-tirikan Ultimagz dengan mengelu-elukan media lainnya dan menganggap sebelah mata media ini. 

PPMI dalam lansirannya menyuarakan tuntutan utama yang perlu diperjuangkan, mengenai diskriminasi media kampus, yaitu;
  1. Hentikan segala bentuk pembungkaman terhadap pers mahasiswa. 
  2. Pulihkan hak individu dan lembaga yang menjadi korban pembungkaman. 
  3. Berikan jaminan rasa aman terhadap seluruh awak pers mahasiswa dalam melakukan peliputan dan distribusi pemberitaan.
  4. Kemenristek (kini Kemenristekdikti) harus tindak tegas birokrasi kampus yang mengekang kebebasan berekspresi berpedapat dan kebebasan pers di perguruan tinggiJurnalis harus perhatikan kode etik jurnalistik dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Hidup jurnalisme Indonesia.

You May Also Like

0 komentar