PULAU SANGIANG, CERITA ANTARA BUKIT, GUA, LAUT, DAN SAMPAH.

Fotonya pakai sarung, biar dikira abis jaga ronda.

Hallo guys, mungkin dari judulnya kalian udah tahu opini saya mengenai Pulau Sangiang. Tapi perjalanan trip ini berawal dari sebuah keisengan saya dan rekan saya, Tropical Girl, di sela-sela UAS yang ngebet buat liburan singkat. Kami mengambil open trip ini dengan harga Rp350.000 untuk 2 hari 1 malam. Berhubung kami adalah mahasiswa yang mencari diskonan, kami mendapatkan harga Rp250.000 untuk trip ini karena promo menggunakan booking di aplikasi Open Trip.

Untuk detailnya, Rp350.000 Rp250.000 ini sudah termasuk harga kapal wisata, tiket wisata, simaksi, guide, retribusi pulau, 3 kali makan, homestay, persediaan air mineral selama 2 hari, pelampung dan pendokumentasian bawah laut selama trip.

Sebelumnya, beberapa foto yang ada di postingan kali ini dijepret oleh Tropical Girl. Tentunya saya mengatakan ini sebagai langkah menghargai hak cipta karya seseorang. Semua foto yang menampilkan diri saya di sini adalah hasil gambarnya.

Langsung saja, dengan menaiki bus Jumat malam, 29 Juni, saya dan Tropical Girl meluncur menuju Simpang Cilegon untuk bertemu dengan TL (Trip Leader) yang telah stand by dengan angkot-angkot yang telah disewakan untuk pulang pergi Cilegon- Pelabuhan Paku Anyer. Anggota trip yang baru sampai di Simpang Cilegon ini baru kami berdua pada pukul 11 malam. Hingga pukul 1 malam, barulah tiba rombongan dari Depok, yang beranggotakan 4 orang mahasiswa dan mahasiswi.

Setelah berkumpul jadi 6 orang, TL kami bernama Ilyas ini membawa kami bersama angkot menuju dermaga. Terlalu pagi untuk berlayar, kami beristirahat di sebuah warung dekat gerbang pelabuhan. Ada yang mengisi perut, merokok, atau ke jamban, sementara TL kami mempersiapkan semua kebutuhan dan mengontak awak perahu yang akan membawa kami ke Pulau Sangiang.

Kami saling berkenalan, empat orang mahasiswa dan mahasiswi tersebut adalah Komeng, Bang Dave, Hany dan Anita. Mereka ada yang masih semester 4, dan ada juga yang sedang menyusun skripsi, serta ada yang tidak kuliah.

Pagi menjelang keberangkatan, 3 anggota rombongan lainnya datang. Ternyata 3 orang tersebut adalah seorang ibu rumah tangga dan 2 anaknya yang berbeda paket trip, tetapi terpaksa digabungkan dengan trip kami. Untuk nama dan foto ibu dan anak-anaknya tidak saya ekspos untuk kepentingan privasi.

Berlayar menggunakan perahu selama 1 setangah jam, kami mendarat di dermaga Pulau Sangiang. Tempatnya eksotis, akses dermaganya melalui bakau-bakau dahulu sebelum berlabuh. Penuh dengan kelak-kelok dan airnya yang bening dari mulut pantai hingga tengah-tengah hutan bakau. Namun banyak di beberapa pohon bakau ditemukan sampah-sampah yang didominasi oleh plastik menyangkut di akarnya.


Memasuki perairan bakau dari laut serasa masuk ibukota Negara Api di film Avatar The Legend of Aang. Karena beberapa sampah ditemui ada yang mengapung, kadang tersangkut di perahu yang harus disingkirkan terlebih dahulu. Amat miris rasanya, ingin membantu tapi airnya menyentuh kedalaman 3 meter, dan alat snorkeling baru tersedia saat sudah berlabuh.

Saat berlabuh di dermaga, rumah warga yang menjadi homestay untuk kami sudah menunggu. Homestaynya nyaman banget, rumah warga yang masih berbahan kayu membuat suasana dusun yang membuat rindu kampung. Mungkin bagi yang terbiasa dengan kehidupan borjuis kurang nyaman, tapi cobalah untuk mengerti kedamaian tinggal di rumah yang bersekat kayu-kayu begini.

Listrik tersedia dari siang sampai malam pukul 1. Kemudian menyala kembali saat pagi. Jadi jangan khawatir untuk yang ingin charge gawai dan peralatan dokumentasinya. Listrik disini menggunakan panel surya dan generator listrik.

Aktivitas yang kami lakukan pertama di  di pulau yang berada di tengah-tengah jalur pelayaran feri Merak-Bakauheni ini, adalah snorkeling. Biota laut di sini berwarna-warni, memang khas seperti yang ada di Selat Sunda pada umumnya. Ikan-ikan di sini lebih mudah di ajak berfoto. Bahkan saya berhasil mengambil gambar ikan yang menghampiri layar action cam yang saya pakai.


Snorkeling yang kami lakukan hanya di tiga spot, yakni di Legon Waru, Legon Bajo, dan Pantai Sepanjang.

Sepulang dari snorkeling, kami langsung menyantap makan siang, istirahat dan sholat. Yang membuat saya terkejut adalah lauk siang itu adalah ayam sambal, sayur asem, tempe-tahu, dan sambal hijau. Menunya prasmanan dan porsinya banyak sekali, sehingga membuat kami bersembilan kenyang. Sambal hijaunya juga legit di lidah dengan campuran asam-pedas.

Lupakan soal makan siang, pada 4 sore kami langsung melanjutkan trip menuju Goa Kelelawar, Puncak Harapan, Puncak Begal dan Pantai Sepanjang.


Goa Kelelawar yang kami kunjungi, memang banyak kelelawarnya. Goa ini cantik, menyerupai terowongan yang diujungnya nampak secercah cahaya matahari sore berusaha masuk ke goa di ujungnya. Tapi baru saya sadari dan pertama kalinya mencium bau kelelawar seperti apa, baunya menyengat, membuat saya yang ingin mengambil gambar harus bernafas menggunakan mulut. Sebab dengan menutup hidung pun masih tercium baunya.

Namun sekali lagi, sayang banyak sampah di dekat Goa Kelelawar. Kami menemukan beberapa sampah plastik seperti autan, dan cemilan. Tolong, kalau kesini kesadarannya yah.


Kemudian tidak jauh dari Goa Kelelawar, ada tanjakan menuju Puncak Harapan. Puncak ini berada di atas Goa Kelelawar. Berupa bukit yang sekaligus menjadi tebing yang langsung menuju laut. Tempat ini menjadi wisata yang pas untuk berfoto-foto dengan senja.

Beberapa meter dari Puncak Harapan ada Puncak Begal. Tidak sesuai namanya, di sini tidak ada tindak pembegalan, melainkan satu-satunya puncak yang ada warungnya dan beberapa fasilitas untik menikmati laut dari ketinggian.

Puncak Begal sendiri memiliki spot-spot yang bagus untuk memotret pantai dan langit senja. Memang dijadwalkan sesuai trip untuk berkunjung pada golden hour. Selain itu di sini juga bersih, karena tersedia tempat sampah yang banyak tersedia, terutama di dekat warung yang menjual minuman instan.

Jalan kemudian menurun, perjalanan menembus ke Pantai Sepanjang. Pantai ini akan banyak waktu dikunjungi esok harinya, karena pada saat turun dari Puncak Begal, hari sudah gelap.

Setelah makan malam, dengan porsi jumbo lagi yang disajikan paket trip. Kami beristirahat di homestay. Saya dan Tropical Girl lebih memilih beristirahat di gazebo homestay, karena niatan kami untuk berburu milkyway bersama Bang Dave di dermaga pulau.

Tapi saya tidak mau melewatkan malam di pulau ini begitu saja. Saya dan Tropical Girl pada pukul 8-9 malam itu langsung menyerbu dermaga setelah saya menyiapkan kasur untuk tidur di gazebo, dan Tropical Girl memasang hammock di antara pilar-pilar gazebo. Awalnya kita mengajak Bang Dave, tapi Bang Dave sibuk mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Maklum semester akhir.

Saat di dermaga malam itu, banyak sekali anak-anak muda nongkrong di sana. Karena memang selain tempatnya yang syahdu, di sana sinyal XL dan Axis berjaya. Ada yang sedang nonton YouTube atau bersosmed, sedangkan kami mempersiapkan tripod dan kamera untuk memotret langit malam itu.
Gambarnya pecah, karena tidak menggunakan forrmat RAW. Jika ingin foto langit atau milkyway, biasakan gunakan format RAW yah.
Tidak begitu bersahabat langit malam itu. Perlahan awan menyelimuti bulan dan beberapa binyang. Setelah mendapatkan beberapa foto terbaik, kami memutuskan kembali ke gazebo untuk beristirahat.

Sialnya, kasur yang saya siapkan di gazebo ditiduri banyak kucing. Memang di sini banyak hewan peliharaan seperti anjing dan kucing untuk menjaga-jaga perkebunan yang sering diserang monyet dan babi hutan. Terpaksa saya yang masih ingin tidur di luar homestay, tidur di atas kayu-kayu gazebo, tepatnya di bawah langsung hammock Tropical Girl. Saya juga minta tolong untuk Bang Dave untuk membangunkan kami pukul 3 untuk mengabadikan milkyway.

Besoknya, ternyata saya terbangun pukul 5 pagi. Hilanglah kesempatan mengabadikan milkyway, lagipula Bang Dave dan Tropical Girl bilang kalau semalam pukul 3, langit sangat berawan.



Tidak perlu digalaukan, langsung saja melanjutkan petualangan, kami berjalan-jalan menuju Pantai Sepanjang, sisi pulau yang dekat dengan Lampung. Sepanjang perjalanan menuju pantai, banyak pohon-pohon kelapa yang ditanami warga. Kelapa-kelapa tersebut memang berguna untuk dijual dalam bentuk es kelapa. Tampak juga kulit-kulit kelapa yang dipaksa kupas secara liar, nampaknya dilakukan oleh monyet-monyet yang berkeliaran di sekitar sini.

Di Pantai Sepanjang, sinyal-sinyal provider bermunculan. Telkomsel dapat 4G di sini. Lokasi ini juga banyak ditemukan tenda-tenda yang didirikan oleh pengunjung yang berkemah. Ada juga beberapa kamar mandi umum yang berguna bagi pengunjung yang berkemah untuk akses air bersih. Terdapat juga warung yang menjadi tempat jajan pengunjung.

Pantai Sepanjang kotor banget di ujung sisi selatan dan utara pantai. Pantai ini sebenarnya memiliki beberapa spot cantik untuk berfoto, tetapi banyak spot yang jadi jelek karena sampah. Entah sumbernya pengunjung atau kiriman dari laut, yang jelas saya memohon untuk siapapun yang berkunjung untuk menjaga kebersihan. Kalau perlu bantu bersihkan beberapa sampah agar pemandangannya tetap asri.

Setelah kesal dengan melihat banyaknya sampah di pantai tersebut, kami kembali ke homestay untuk sarapan. Kali ini menunya nasi kuning. Tapi lauknya hanya tahu, ayam dan mirip sayur cakwe.

Jam 11 kami pulang, dan sudah berkemas, termasuk mandi. Kami berlayar dari dermaga dengan perahu yang berbeda, dan malah disatukan dengan orang-orang yang berkemah di pantai sepanjang. Tidak masalah, hanya saja administrasi trip ini yang sedikit kurang bikin nyaman, seperti beberapa tempat yang belum disinggahi.

Selama pelayaran menuju Pelabuhan Paku Anyer, terakhir kalinya sampah dengan jumlah yang banyak bertebaran di laut. Di tambah lagi, nahkoda perahu, di depan saya membuang sampah air mineral kemasan gelas ke laut, kesal dalam hati, ingin marah tapi saya takut diterjunkan ke laut. Padahal beberapa nahkoda mengeluh banyak sampah yang membuat baling-baling perahunya macet. Ah sudahlah.

Yang penting, Go Green guys!

Postingan Populer