Featured

AHMAD SAHIDE, MENGEMBALIKAN CAHAYA KINDANG YANG REDUP

by - Agustus 12, 2018



Kindang, salah satu desa dan kecamatan di Kabuptaen Bulukumba yang berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng di sebelah barat, dan Kabupaten Gowa di sebelah utara, yang memiliki luas sekitar 40,72 hektar di lereng Gunung Lompo Battang. Tempat ini adalah kawasan bercampurnya dua budaya suku Makassar yang menggunakan bahasa Konjo dan suku Bugis. Masyarakat disini umumnya memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari kegiatan bertani, dan penduduknya masih dalam kekurangan.

Pada masa lampau, Kindang adalah kerajaan yang bernama Kerajaan Kindang yang dibentuk tahun 1667 dan masih berdiri hingga sekarang, dan rajanya sekarang bernama Laraeng Lanyyaka ri Kindang. Terbentuk karena Kerajaan Gowa pada masa Perjanjian Bungaya setelah perang melawan Kerajaan Bone (Bugis), dan demi mempertahankan eksistensinya, Kerajaan Gowa mendirikan beberapa ‘kerajaan kecilnya’ seperti Butta Toa di Bantaeng, dan Kindang di Bulukumba, menjadikan Kindang sebagai tempat yang kaya akan budaya, litarasi, dan sejarah nusantara.

Beda dulu, beda kini. Arus globalisasi dan budaya bebas karena pengaruh Barat, terutama pasca kedatangan Belanda. Beberapa dari kegiatan kriminalitas dari Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba. Selain itu Kindang memang dikenal di Bulukumba sebagai tempat pabotoro’ atau peminum dan penjudi. Tidak heran, karena di sini banyak pula distributor Ballo, minuman keras Sulawesi Selatan, secara diam-diam karena kerap kali dilakukan penangkapan minuman keras.

Termotivasi dengan pembenahan stereotip di kampung halamannya, yang terkenal dengan kriminalitas tingkat tinggi, Ahmad Sahide, yang tinggal berasal dari Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, berniat meningkatkan literasi anak muda di Kindang, dengan mendirikan Sanggar Baca Bawakaraeng yang kini ia berperan sebagai pembina di sanggar yang ia dirikan beberapa meter sebelah rumahnya.

Berawal dari perantauannya menjadi mahasiswa S1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan S2 hingga S3 Universitas Gadjah Mada pada Fakultas FISIPOL. Sahide mendirikan komunitas penggerak literasi, dan aktif dalam tulis-menulis maupun membuka forum diskusi dan menjadi cukup tersohor namanya di Yogyakarta sejak 2010. Ia juga dikenal hingga kini sebagai penggerak Komunitas Belajar Menulis (KBM) di kota pelajar tersebut.

Ahmad Sahide saat diwawancarai di kediamannya.

Keaktifan atas minatnya di dunia literasi pun di pandang oleh Eko Prasetyo seorang penulis dan pendiri Social Movement Institute, sehingga dijadikan sebagai kepala sekolah di Sekolah Menulis Progresif yang kemudian menjadikan dirinya bagian penting dari penggerak literasi di Yogyakarta.

Kisah perjuangan Ahmad Sahide sendiri, berawal dari niatnya untuk merantau ke Yogyakarta. Pria berusia 33 tahun ini berlatarbelakang keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun kedua orangtuanya sangat mengutamakan pendidikan sehingga dengan rela menjual kebun kopi dan cengkeh yang dimiliki untuk biaya kuliah anak-anaknya, termasuk Sahide. Tidak hanya menjual kebun, bahkan orangtuanya sampai mengutang kepada tetangga sambil menunggu panen.

“Saya bersyukur sekali orangtua saya sangat mengutamakan pendidikan. Orang tua saya sangat berani sebagai orang desa yang mengeularkan biaya besar untuk pendidikan, di saat orang-orang kampung saya tidak berani, apalagi di kampus swasta seperti UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta),” jelasnya.

Hingga akhirnya bisa mandiri di tanah rantau, Sahide sendiri melahirkan beberapa buku yang ditulisnya dan sudah terbit sejak 2013, salah satunya adalah “Gejolah Politik Timur Tengah” yang terbit tahun 2017. Tidak hanya buku-buku saja, sejak masih menjadi mahasiswa pun kerap menulis esai di bebarapa media massa, beberapa diantaranya seperti “Kekuasaan yang Bermahkota” yang terbit di harian Kompas pada Rabu 24 Agustus 2016, dan “Nasionalisme Kaum Pinggiran” yang terbit di harian Kompas pada Sabtu 19 Agustus 2017.



Setelah menggapai prestasinya dan menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sebagai orang ‘dusun’ yang ingat kampungnya itu, memotivasi baginya untuk mengembangkan kualitas wawasan masyarakat di kampungnya. Terlebih dengan kampung halamannya yang dikenal sebagai pabotoro’ tersebut. Awalnya dengan Sanggar yang ia dirikan, secara perlahan mendirikan forum diskusi, kajian, dan dorongan untuk menulis bagi masyarakat Kindang yang baru diadakan di masjid saja bila pulang kampung dari Yogyakarta ke Bulukumba. Hingga pada Juli 2016, ia mendirikan Sanggar Baca Bawakaraeng dengan membuka perpustakaan.

“Tujuan saya sendiri mendirikan Sanggar, saat orang-orang Kindang ke kota, boleh jadi orang kampung tapi tidak kampungan,” Ujarnya.

Awalnya memang sulit untuk membuka forum kepada masyarakat Kindang, karena wawasan dan buku bacaan yang minim. Saat menayangkan slide presentasi untuk dijelaskan pun bagi masyarakat Kindang yang ikut, masih kesulitan memahami cara membaca slide. Untuk meningkatkan jumlah buku bacaan pun, Sahide membawakan buku-buku yang telah ia baca dari Yogyakarta setiap kali ia pulang kampung, dan juga beberapa buku yang telah ia tulis agar dibaca oleh warga Kindang untuk menginspirasi masyarakat Kindang untuk bisa berkarya. Namun berkat kerjasama dengan beberapa warga yang memiliki antusias yang tinggi, terbantulah persediaan buku-buku untuk perpustakaan, terutama buku untuk anak-anak agar mengembangkan wawasan sejak dini.

Sanggar Baca Bawakaraeng di Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Sanggar Baca Bawakaraeng sendiri mendapat dukungan oleh beberapa tokoh-tokoh Kindang, terutama kepala desa Kindang dan camat Kindang sendiri. Meskipun begitu, Ahmad Sahide menolak bantuan dari politik, kecuali sekedar sumbangan untuk kepentingan kesadaran sosial.

Hingga saat ini, jumlah buku yang berada di perpustakaan Sanggar Baca Bawakaraeng sekitar tiga ratus buah. Tetapi kerap kali buku-buku tersebut hilang atau tidak dikembalikan. Maka untuk sistemnya, Sahide bersama Sahir, seorang pengabdi dan ketua yang dipilih oleh Sahide untuk mengurus Sanggar, mengatur agar buku-buku tersebut dibaca di tempat. Sumbangan buku-buku berdatangan setiap dua bulan sekali dari pemerintah pusat melalui kantor pos, walaupun sebenarnya sama sekali tidak ada keinginan untuk dapat bantuan dari pemerintah.

“Ini kemampuan saya untuk menghadirkan buku seadanya. Jadi bila saya pulang, saya pasti membawa 10-20 buku,”

Sumbangan buku-buku yang dikirim dari pemerintah pusat ini, awalnya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2017. Atas kesadaran pemerintah akan rendahnya literasi masyarakat Indonesia, Presiden Joko Widodo mengajak pegiat literasi berkumpul untuk membangun tingkat literasi di Indonesia. Hingga kemudian berbuntut peresmian program pengiriman buku-buku ke sejumlah daerah yang diinisiasikan oleh Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab dan sejumlah pegiat literasi lainnya dan bekerja sama dengan PT Pos Indonesia agar bisa mengirimkan buku-buku secara gratis ke daerah terpencil sekalipun, termasuk Kindang, Bulukumba.

Menurut Sahide, beberapa tahun ini telah bermunculan komunitas-komunitas intelektual, dan sastra yang berperan menjaga literasi tersebut. Terutama di Bulukumba, tanah kelahirannya, mengadakan “Dialog Literasi Bulukumba” pada Sabtu, 9 Juli 2016, dan menjadi awal mula berdirinya Sanggar Baca Bawakaraeng yang ia dirikan di kampungnya, Kindang.

Bersama dengan KP2K (Komunitas Pemuda Pelajar Kindang), pria yang juga menjadi penulis novel “Cinta Anak Karaeng” ini, membimbing anak-anak SD hingga SMP untuk berdiskusi dan membahas ilmu yang menjadi favorit tiap individu anak-anak, agar bisa berpikir kritis dan memahami pengetahuan yang luas. KP2K sendiri adalah komunitas pemuda sekitar Kindang yang memiliki semangat untuk membangun Kecamatan Kindang. Karena memiliki kesamaan visi dengan Sanggar Baca Bawakaraeng, KP2K turut serta membantu Sanggar tersebut.

Dalam kurun waktu 2 tahun, terbukti Sanggar Baca Bawakaraeng mengalami kemajuan untuk mengembangkan kualitas anggota komunitasnya. Perpustakaan kecil yang hanya seluas 7 x 4 meter ini, menjadi sarang mencari referensi warga Kindang. Anak-anak yang mengikuti komunitas pun diklaim oleh Sahide sudah sangat kritis dalam berpendapat, dan menyukai buku-buku bacaan yang berat untuk dibaca untuk anak-anak. Orang tua juga turut sering berkunjung ke perpustakaan milik Sanggar ini, sehingga Sahide menganggap bahwa sebenarnya minat baca di kampung halamannya sebenarnya tinggi, hanya saja buku yang tersedia masihlah sangat sedikit.

“Saya dulu membaca buku itu ya pas SMA dan pas  kuliah, sekarang anak-anak sudah SD dan tsanawiyah, dan SMP. Kalau ini bisa diteruskan, mereka bisa prestasinya jauh lebih dari saya,” kata Sahide menyampaikan keterkesanannya terhadap kegiatan sanggar yang didirikannya.

“Kadang  kalau saya pulang, biasanya teman-teman pemuda membuat forum dan membuat pelatihan. Kelihatan juga dari anggota forum dan pelatihan. Kelihatan mana jika memberi pertanyaan dan berpendapat, mana yang membaca buku dan mana yang tidak. Sedangkan banyak yang memberikan pertanyaan dan pendapat yang berbobot saat berdiskusi, dan berlomba-lomba bertanya. Bacaan mereka ngeri gitu, lebih dari kadar mereka seharusnya”

Berdirinya pusat literasi di Kindang bukan berarti tidak memiliki kekurangan, perpustakaan dan  sanggar ini sayangnya masih belum konsisten dalam kinerjanya. Tampak perpustakaan ini kadang buka-tutup tergantung ketersediaan pemuda yang ingin berjaga, seringkali Sahir, ketua sanggar harus turun tangan sendiri agar perpustakaan terbuka untuk dikunjungi. Sahide juga mengakui bahwa Sanggar Baca Bawakaraeng ini belum bersifat profesional, karena masih social work,  dan yang ikut serta selain para pemuda juga para warga sendiri.

“Rencana saya semoga sifat kinerja kami kedepannya sudah profesional. Rencana saya mau gaji pekerja untuk jaga, dan uangnya itu berasal dari pendapatan saya sendiri,” kata Sahide.

Faktor lainnya juga, akibat perkembangan jaman globalisasi juga menjadi tantangan bagi Sahide. Anak-anak lebih suka bermain gadget untuk bermain game, dan masih banyak juga anak-anak yang belum berminat untuk sering-sering singgah untuk melakukan aktivitas di sanggar, atau membaca di perpustakaan. Hal itu disebabkan tempatnya yang masih seadanya dan belum menjadi tempat nyaman untuk anak-anak berakitvitas.


“Saya juga rencananya bersama teman-teman pemuda akan merenovasi perpustakaan, agar anak-anak semakin betah nongkrong-nongkrong,

Sanggar baca yang didirikan Ahmad Sahide ini menjadi penggerak kemajuan literasi di tanah Bulukumba, terutama Kindang yang sedang redup karena krisis moral. Berupaya untuk membangunkan kembali kejayaan Kindang di masa lalu yang kaya akan budaya dan literasi asli Sulawesi, menjadikan sanggar tersebut harus mempersiapkan PRnya untuk menghadapi tantangan yang masih banyak, terutama di kawasan terpencil.


Tingkat literasi Indonesia tercatat pada tahun 2012 oleh UNESCO sangat rendah. Indeks tingkat membaca Indonesia hanyalah 0,001. Artinya ada kurang lebih 1 dari 1000 orang di Indonesia benar-benar membaca buku. Sedangkan dari BPS (Badan Penelitian Pusat Statistik) tahun 2012 mengatakan, orang Indonesia juga cenderung lebih memilih menonton TV daripada membaca buku, membuka internet daripada mencari di ensiklopedia, bermain game daripada membaca buku, dan sebagian besar orang Indonesia mengatakan membaca buku adalah hal yang sangat membosankan.

Rendahnya literasi merupakan masalah besar bagi kemajuan bangsa, sehingga menurut UNESCO, menimbulkan dampak yang buruk. Seperti tingginya kecelakaan kerja, tingginya prevelansi sakit akibat pekerjaan, kesalahan prosedur. Dampak lainnya juga pada kesehatan dan pendidikan, seperti minimnya pengetahuan kebersihan makanan minuman bergizi, penyakit seksual yang tidak terkontrol atau dipahami, aborsi, tingkat kematian tinggi, angka putus sekolah, pengangguran yang tinggi, hingga rendahnya kepercayaan diri pada penduduk.

Tingkat kriminalitas juga tinggi, seperti yang terjadi di Kindang saat sebelum Sanggar Baca Bawakaraeng hadir. Penyalahgunaan obat, alkohol, serta kemiskinan dan kesenjangan ekonomi maupun sosial.

Ahmad Sahide menyampaikan, sebenarnya mungkin saja tingkat literasi orang-orang di tempat terpencil itu tinggi, melainkan infrastruktur sarana dan prasarana yang menjadikan tingkat literasi nasional rendah.

“Mungkin minat baca itu sebenarnya tinggi, orang-orang sebenarnya ingin membaca. Tapi bagaimana caranya membaca kalau tidak ada yang bisa dibaca,” kata Sahide.

Infrastruktur yang perlu dibangun untuk infrastruktur sendiri adalah taman baca atau perpustakaan di setiap daerah, ketersediaan  listrik, akses internet, lab komputer, hingga sarana-sarana seperti buku-buku dan majalah untuk dibaca. Sebab kebutuhan tersebut menjadi momok untuk secara pribadi maupun masyarakat untuk meningkatkan kualitas literasinya.

Selama ini, beberapa daerah terpencil yang mulai sadar kebutuhan kualitas literasi menggunakan tempat ibadah, seperti masjid dan gereja. Namun kesalahan dalam forum atau isi diskusi literasi yang berada di rumah ibadah rentan menyebarkan pemahaman yang radikal. Pengaruh pendidik sendiri harus berkualitas dan terarah agar pemahaman ilmu yang disebarkan tidah menjerumus pada paham yang salah, seperti forum diskusi atau pelatihan yang ternyata menebarkan kebencian SARA, terorisme, atau hal meresahkan lainnya. Itu sebabnya diperlukan infrastruktur yang bisa mengarahkan masyarakat kepada pengkajian literasi yang baik dan benar.

Langkah pemerintah dalam meresmikan program pengiriman buku setiap tanggal 17 menjadi langkah awal untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia. Selain itu para pengembang komunitas literasi yang membuka forum diskusi atau pelatihan yang mengajak warga sekitarnya, juga bisa mengembangkan tingkat literasi di tiap daerahnya, terutama di daerah-daerah terpencil.

Cara meningkatkan literasi menurut UNESCO, salah satunya adalah meningkatkan kualitas guru sesuai dengan Kesepakatan Muscat yang diadakan 2014, dalam pertemuan Global Education for All. Salah satu tujuannya adalah menargetkan pada 2030, seluruh pelajar yang dididik oleh guru-guru yang memenuhi kualifikasi, dapat terlatih secara profesional, memiliki motivasi dan mendapat dorongan.

Bagi Sahide sendiri, untuk mengembangkan kesadaran minat literasi di kampungnya, selain menyediakan secara pribadi atau sanggar komunitasnya untuk menambah fasilitas, ialah saling berinteraksi dengan beberapa forum, komunitas dan kelompok diskusi atau literasi lainnya. Tentu saja dengan demikian, kegiatan penegakan literasi di daerahnya dilakukan secara gotong royong, dan menambah wawasan dengan bertukar pikiran dengan orang-orang yang baru di luar komunitas literasinya. Dengan demikian, bibit dasar negara yang ada pada UUD 1945 dan Pancasila, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan kemanusiaan yang adil dan beradab bisa terwujud.

You May Also Like

0 komentar