AHMAD SAHIDE, MENGEMBALIKAN CAHAYA KINDANG YANG REDUP
Kindang,
salah satu desa dan kecamatan di Kabuptaen Bulukumba yang berbatasan dengan
Kabupaten Bantaeng di sebelah barat, dan Kabupaten Gowa di sebelah utara, yang
memiliki luas sekitar 40,72 hektar di lereng Gunung Lompo Battang. Tempat ini
adalah kawasan bercampurnya dua budaya suku Makassar yang menggunakan bahasa
Konjo dan suku Bugis. Masyarakat disini umumnya memenuhi kebutuhan sehari-harinya
dari kegiatan bertani, dan penduduknya masih dalam kekurangan.
Pada
masa lampau, Kindang adalah kerajaan yang bernama Kerajaan Kindang yang
dibentuk tahun 1667 dan masih berdiri hingga sekarang, dan rajanya sekarang
bernama Laraeng Lanyyaka ri Kindang. Terbentuk karena Kerajaan Gowa pada masa
Perjanjian Bungaya setelah perang melawan Kerajaan Bone (Bugis), dan demi
mempertahankan eksistensinya, Kerajaan Gowa mendirikan beberapa ‘kerajaan
kecilnya’ seperti Butta Toa di Bantaeng, dan Kindang di Bulukumba, menjadikan
Kindang sebagai tempat yang kaya akan budaya, litarasi, dan sejarah nusantara.
Beda
dulu, beda kini. Arus globalisasi dan budaya bebas karena pengaruh Barat,
terutama pasca kedatangan Belanda. Beberapa dari kegiatan kriminalitas dari
Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba. Selain itu Kindang memang dikenal di Bulukumba sebagai tempat pabotoro’ atau peminum dan penjudi.
Tidak heran, karena di sini banyak pula distributor Ballo, minuman keras
Sulawesi Selatan, secara diam-diam karena kerap kali dilakukan penangkapan
minuman keras.
Termotivasi
dengan pembenahan stereotip di kampung halamannya, yang terkenal dengan
kriminalitas tingkat tinggi, Ahmad Sahide, yang tinggal berasal dari Kecamatan
Kindang, Kabupaten Bulukumba, berniat meningkatkan literasi anak muda di
Kindang, dengan mendirikan Sanggar Baca Bawakaraeng yang kini ia berperan
sebagai pembina di sanggar yang ia dirikan beberapa meter sebelah rumahnya.
Berawal
dari perantauannya menjadi mahasiswa S1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
dan S2 hingga S3 Universitas Gadjah Mada pada Fakultas FISIPOL. Sahide mendirikan
komunitas penggerak literasi, dan aktif dalam tulis-menulis maupun membuka
forum diskusi dan menjadi cukup tersohor namanya di Yogyakarta sejak 2010. Ia
juga dikenal hingga kini sebagai penggerak Komunitas Belajar Menulis (KBM) di
kota pelajar tersebut.
Ahmad Sahide saat diwawancarai di kediamannya. |
Keaktifan
atas minatnya di dunia literasi pun di pandang oleh Eko Prasetyo seorang
penulis dan pendiri Social Movement Institute, sehingga dijadikan sebagai
kepala sekolah di Sekolah Menulis Progresif yang kemudian menjadikan dirinya
bagian penting dari penggerak literasi di Yogyakarta.
Kisah
perjuangan Ahmad Sahide sendiri, berawal dari niatnya untuk merantau ke
Yogyakarta. Pria berusia 33 tahun ini berlatarbelakang keluarga yang memiliki
keterbatasan ekonomi. Namun kedua orangtuanya sangat mengutamakan pendidikan
sehingga dengan rela menjual kebun kopi dan cengkeh yang dimiliki untuk biaya
kuliah anak-anaknya, termasuk Sahide. Tidak hanya menjual kebun, bahkan
orangtuanya sampai mengutang kepada tetangga sambil menunggu panen.
“Saya
bersyukur sekali orangtua saya sangat mengutamakan pendidikan. Orang tua saya
sangat berani sebagai orang desa yang mengeularkan biaya besar untuk
pendidikan, di saat orang-orang kampung saya tidak berani, apalagi di kampus
swasta seperti UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta),” jelasnya.
Hingga
akhirnya bisa mandiri di tanah rantau, Sahide sendiri melahirkan beberapa buku
yang ditulisnya dan sudah terbit sejak 2013, salah satunya adalah “Gejolah
Politik Timur Tengah” yang terbit tahun 2017. Tidak hanya buku-buku saja, sejak
masih menjadi mahasiswa pun kerap menulis esai di bebarapa media massa,
beberapa diantaranya seperti “Kekuasaan yang Bermahkota” yang terbit di harian
Kompas pada Rabu 24 Agustus 2016, dan “Nasionalisme Kaum Pinggiran” yang terbit
di harian Kompas pada Sabtu 19 Agustus 2017.
Setelah
menggapai prestasinya dan menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
sebagai orang ‘dusun’ yang ingat kampungnya itu, memotivasi baginya untuk
mengembangkan kualitas wawasan masyarakat di kampungnya. Terlebih dengan
kampung halamannya yang dikenal sebagai pabotoro’
tersebut. Awalnya dengan Sanggar yang ia dirikan, secara perlahan mendirikan
forum diskusi, kajian, dan dorongan untuk menulis bagi masyarakat Kindang yang
baru diadakan di masjid saja bila pulang kampung dari Yogyakarta ke Bulukumba.
Hingga pada Juli 2016, ia mendirikan Sanggar Baca Bawakaraeng dengan membuka
perpustakaan.
“Tujuan
saya sendiri mendirikan Sanggar, saat orang-orang Kindang ke kota, boleh jadi
orang kampung tapi tidak kampungan,” Ujarnya.
Awalnya
memang sulit untuk membuka forum kepada masyarakat Kindang, karena wawasan dan
buku bacaan yang minim. Saat menayangkan slide
presentasi untuk dijelaskan pun bagi masyarakat Kindang yang ikut, masih
kesulitan memahami cara membaca slide.
Untuk meningkatkan jumlah buku bacaan pun, Sahide membawakan buku-buku yang
telah ia baca dari Yogyakarta setiap kali ia pulang kampung, dan juga beberapa
buku yang telah ia tulis agar dibaca oleh warga Kindang untuk menginspirasi
masyarakat Kindang untuk bisa berkarya. Namun berkat kerjasama dengan beberapa
warga yang memiliki antusias yang tinggi, terbantulah persediaan buku-buku
untuk perpustakaan, terutama buku untuk anak-anak agar mengembangkan wawasan
sejak dini.
Sanggar Baca Bawakaraeng di Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. |
Sanggar
Baca Bawakaraeng sendiri mendapat dukungan oleh beberapa tokoh-tokoh Kindang,
terutama kepala desa Kindang dan camat Kindang sendiri. Meskipun begitu, Ahmad
Sahide menolak bantuan dari politik, kecuali sekedar sumbangan untuk
kepentingan kesadaran sosial.
Hingga
saat ini, jumlah buku yang berada di perpustakaan Sanggar Baca Bawakaraeng
sekitar tiga ratus buah. Tetapi kerap kali buku-buku tersebut hilang atau tidak
dikembalikan. Maka untuk sistemnya, Sahide bersama Sahir, seorang pengabdi dan
ketua yang dipilih oleh Sahide untuk mengurus Sanggar, mengatur agar buku-buku
tersebut dibaca di tempat. Sumbangan buku-buku berdatangan setiap dua bulan
sekali dari pemerintah pusat melalui kantor pos, walaupun sebenarnya sama
sekali tidak ada keinginan untuk dapat bantuan dari pemerintah.
“Ini
kemampuan saya untuk menghadirkan buku seadanya. Jadi bila saya pulang, saya
pasti membawa 10-20 buku,”
Sumbangan
buku-buku yang dikirim dari pemerintah pusat ini, awalnya pada peringatan Hari
Pendidikan Nasional 2 Mei 2017. Atas kesadaran pemerintah akan rendahnya
literasi masyarakat Indonesia, Presiden Joko Widodo mengajak pegiat literasi
berkumpul untuk membangun tingkat literasi di Indonesia. Hingga kemudian
berbuntut peresmian program pengiriman buku-buku ke sejumlah daerah yang
diinisiasikan oleh Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab dan sejumlah pegiat
literasi lainnya dan bekerja sama dengan PT Pos Indonesia agar bisa mengirimkan
buku-buku secara gratis ke daerah terpencil sekalipun, termasuk Kindang,
Bulukumba.
Menurut
Sahide, beberapa tahun ini telah bermunculan komunitas-komunitas intelektual,
dan sastra yang berperan menjaga literasi tersebut. Terutama di Bulukumba,
tanah kelahirannya, mengadakan “Dialog Literasi Bulukumba” pada Sabtu, 9 Juli
2016, dan menjadi awal mula berdirinya Sanggar Baca Bawakaraeng yang ia dirikan
di kampungnya, Kindang.
Bersama
dengan KP2K (Komunitas Pemuda Pelajar Kindang), pria yang juga menjadi penulis
novel “Cinta Anak Karaeng” ini, membimbing anak-anak SD hingga SMP untuk
berdiskusi dan membahas ilmu yang menjadi favorit tiap individu anak-anak, agar
bisa berpikir kritis dan memahami pengetahuan yang luas. KP2K sendiri adalah
komunitas pemuda sekitar Kindang yang memiliki semangat untuk membangun
Kecamatan Kindang. Karena memiliki kesamaan visi dengan Sanggar Baca
Bawakaraeng, KP2K turut serta membantu Sanggar tersebut.
Dalam
kurun waktu 2 tahun, terbukti Sanggar Baca Bawakaraeng mengalami kemajuan untuk
mengembangkan kualitas anggota komunitasnya. Perpustakaan kecil yang hanya
seluas 7 x 4 meter ini, menjadi sarang mencari referensi warga Kindang.
Anak-anak yang mengikuti komunitas pun diklaim oleh Sahide sudah sangat kritis
dalam berpendapat, dan menyukai buku-buku bacaan yang berat untuk dibaca untuk
anak-anak. Orang tua juga turut sering berkunjung ke perpustakaan milik Sanggar
ini, sehingga Sahide menganggap bahwa sebenarnya minat baca di kampung
halamannya sebenarnya tinggi, hanya saja buku yang tersedia masihlah sangat
sedikit.
“Saya
dulu membaca buku itu ya pas SMA dan pas
kuliah, sekarang anak-anak sudah SD dan tsanawiyah, dan SMP. Kalau
ini bisa diteruskan, mereka bisa prestasinya jauh lebih dari saya,” kata Sahide
menyampaikan keterkesanannya terhadap kegiatan sanggar yang didirikannya.
“Kadang kalau saya pulang, biasanya teman-teman
pemuda membuat forum dan membuat pelatihan. Kelihatan juga dari anggota forum
dan pelatihan. Kelihatan mana jika memberi pertanyaan dan berpendapat, mana
yang membaca buku dan mana yang tidak. Sedangkan banyak yang memberikan
pertanyaan dan pendapat yang berbobot saat berdiskusi, dan berlomba-lomba
bertanya. Bacaan mereka ngeri gitu, lebih dari kadar mereka
seharusnya”
Berdirinya
pusat literasi di Kindang bukan berarti tidak memiliki kekurangan, perpustakaan
dan sanggar ini sayangnya masih belum
konsisten dalam kinerjanya. Tampak perpustakaan ini kadang buka-tutup
tergantung ketersediaan pemuda yang ingin berjaga, seringkali Sahir, ketua
sanggar harus turun tangan sendiri agar perpustakaan terbuka untuk dikunjungi. Sahide
juga mengakui bahwa Sanggar Baca Bawakaraeng ini belum bersifat profesional,
karena masih social work, dan yang ikut serta selain para pemuda juga
para warga sendiri.
“Rencana
saya semoga sifat kinerja kami kedepannya sudah profesional. Rencana saya mau
gaji pekerja untuk jaga, dan uangnya itu berasal dari pendapatan saya sendiri,”
kata Sahide.
Faktor
lainnya juga, akibat perkembangan jaman globalisasi juga menjadi tantangan bagi
Sahide. Anak-anak lebih suka bermain gadget
untuk bermain game, dan masih banyak
juga anak-anak yang belum berminat untuk sering-sering singgah untuk melakukan
aktivitas di sanggar, atau membaca di perpustakaan. Hal itu disebabkan
tempatnya yang masih seadanya dan belum menjadi tempat nyaman untuk anak-anak
berakitvitas.
“Saya
juga rencananya bersama teman-teman pemuda akan merenovasi perpustakaan, agar
anak-anak semakin betah nongkrong-nongkrong,”
Sanggar
baca yang didirikan Ahmad Sahide ini menjadi penggerak kemajuan literasi di
tanah Bulukumba, terutama Kindang yang sedang redup karena krisis moral.
Berupaya untuk membangunkan kembali kejayaan Kindang di masa lalu yang kaya
akan budaya dan literasi asli Sulawesi, menjadikan sanggar tersebut harus
mempersiapkan PRnya untuk menghadapi tantangan yang masih banyak, terutama di
kawasan terpencil.
Tingkat literasi Indonesia tercatat pada tahun 2012 oleh UNESCO sangat rendah. Indeks tingkat membaca Indonesia hanyalah 0,001. Artinya ada kurang lebih 1 dari 1000 orang di Indonesia benar-benar membaca buku. Sedangkan dari BPS (Badan Penelitian Pusat Statistik) tahun 2012 mengatakan, orang Indonesia juga cenderung lebih memilih menonton TV daripada membaca buku, membuka internet daripada mencari di ensiklopedia, bermain game daripada membaca buku, dan sebagian besar orang Indonesia mengatakan membaca buku adalah hal yang sangat membosankan.
Rendahnya
literasi merupakan masalah besar bagi kemajuan bangsa, sehingga menurut UNESCO,
menimbulkan dampak yang buruk. Seperti tingginya kecelakaan kerja, tingginya
prevelansi sakit akibat pekerjaan, kesalahan prosedur. Dampak lainnya juga pada
kesehatan dan pendidikan, seperti minimnya pengetahuan kebersihan makanan
minuman bergizi, penyakit seksual yang tidak terkontrol atau dipahami, aborsi,
tingkat kematian tinggi, angka putus sekolah, pengangguran yang tinggi, hingga
rendahnya kepercayaan diri pada penduduk.
Tingkat
kriminalitas juga tinggi, seperti yang terjadi di Kindang saat sebelum Sanggar
Baca Bawakaraeng hadir. Penyalahgunaan obat, alkohol, serta kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi maupun sosial.
Ahmad
Sahide menyampaikan, sebenarnya mungkin saja tingkat literasi orang-orang di
tempat terpencil itu tinggi, melainkan infrastruktur sarana dan prasarana yang
menjadikan tingkat literasi nasional rendah.
“Mungkin
minat baca itu sebenarnya tinggi, orang-orang sebenarnya ingin membaca. Tapi
bagaimana caranya membaca kalau tidak ada yang bisa dibaca,” kata Sahide.
Infrastruktur
yang perlu dibangun untuk infrastruktur sendiri adalah taman baca atau
perpustakaan di setiap daerah, ketersediaan
listrik, akses internet, lab komputer, hingga sarana-sarana seperti
buku-buku dan majalah untuk dibaca. Sebab kebutuhan tersebut menjadi momok
untuk secara pribadi maupun masyarakat untuk meningkatkan kualitas literasinya.
Selama
ini, beberapa daerah terpencil yang mulai sadar kebutuhan kualitas literasi
menggunakan tempat ibadah, seperti masjid dan gereja. Namun kesalahan dalam forum
atau isi diskusi literasi yang berada di rumah ibadah rentan menyebarkan
pemahaman yang radikal. Pengaruh pendidik sendiri harus berkualitas dan terarah
agar pemahaman ilmu yang disebarkan tidah menjerumus pada paham yang salah,
seperti forum diskusi atau pelatihan yang ternyata menebarkan kebencian SARA,
terorisme, atau hal meresahkan lainnya. Itu sebabnya diperlukan infrastruktur
yang bisa mengarahkan masyarakat kepada pengkajian literasi yang baik dan
benar.
Langkah
pemerintah dalam meresmikan program pengiriman buku setiap tanggal 17 menjadi
langkah awal untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia. Selain itu para
pengembang komunitas literasi yang membuka forum diskusi atau pelatihan yang
mengajak warga sekitarnya, juga bisa mengembangkan tingkat literasi di tiap
daerahnya, terutama di daerah-daerah terpencil.
Cara
meningkatkan literasi menurut UNESCO, salah satunya adalah meningkatkan
kualitas guru sesuai dengan Kesepakatan Muscat yang diadakan 2014, dalam
pertemuan Global Education for All. Salah
satu tujuannya adalah menargetkan pada 2030, seluruh pelajar yang dididik oleh
guru-guru yang memenuhi kualifikasi, dapat terlatih secara profesional,
memiliki motivasi dan mendapat dorongan.
Bagi
Sahide sendiri, untuk mengembangkan kesadaran minat literasi di kampungnya,
selain menyediakan secara pribadi atau sanggar komunitasnya untuk menambah
fasilitas, ialah saling berinteraksi dengan beberapa forum, komunitas dan
kelompok diskusi atau literasi lainnya. Tentu saja dengan demikian, kegiatan
penegakan literasi di daerahnya dilakukan secara gotong royong, dan menambah
wawasan dengan bertukar pikiran dengan orang-orang yang baru di luar komunitas
literasinya. Dengan demikian, bibit dasar negara yang ada pada UUD 1945 dan
Pancasila, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan kemanusiaan yang adil dan
beradab bisa terwujud.