Featured

REJEKI ANAK SOLEH JALAN-JALAN MURAH KE FLORES

by - Agustus 01, 2018


Flores menjadi pulau primadona untuk wisata masa kini. Banyak orang yang mendamba-damba untuk bisa berlibur ke sana, namun tidak banyak juga yang mengurungkan niatnya karena tiket pesawa ke sana yang lumayan mahal. Saya juga selalu berusaha dengan budget yang minim dengan backpackeran per pulau dari ke pulau. Artikel saya setahun yang lalu (BACKPACKERAN KE SURGA) juga adalah trip menuju Flores yang gagal, setelah melalui Jawa, Bali dan hanya berhenti di Lombok karena beberapa kendala.

BACA JUGA:

7 TIPS TRAVELING GO GREEN, LIBURAN SEKALIGUS SELAMATKAN BUMI

BACKPACKERAN KE SURGA (JOGJA-LOMBOK)


Banyak jalan menuju Roma, itu kata pepatah, berarti ada banyak jalan juga menuju Flores. Saya bersama teman-teman menemukan cara murah ke Flores, yakni menggunakan jalur laut dari Surabaya, alias naik kapal laut. Sembari mengisi liburan panjang semester ini, tentunya trip ke Flores ini tidak boleh dilewatkan untuk beberapa hari ke depan. Inilah kisah kami.

Awalnya, saya, Kicay, Jedi (namanya memang Jedi, bukan nama tokoh di Star Wars), dan Yoman (teman kami dari Ende), mengawali dengan membeli tiket kereta api Kertajaya seharga Rp 160.000 dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Perjalanan berangkat Rabu siang pukul 2, sampai hingga Kamis pukul 3 malam.

Kami berencana naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Perak, pada hari Sabtu berdasarkan informasi yang kami dapat dari website kapal laut. Secara otomatis, kami harus buang-buang waktu di Surabaya, kami akhirnya memilih tempat istirahat di kost-kostan teman Yoman yang berada di Surabaya bernama Koko Edwin. 


Sempat dipikir-pikir kami perlu buang waktu yang banyak, kami mengecek kembali website penyedia informasi kapal. Kicay menemukan tiket hari kamis itu juga, kapal penyeberangan menuju Labuan Bajo dari Pelabuhan Tanjung Perak, berangkat jam 11 malam.

Para penumpang harus sudah ada di Pelabuhan Tanjung Perak sebelum jam 9, karena Pelabuhan tutup pada jam tersebut. Tetapi kami tiba pada pukul 8 malam dari kostnya Edwin. Dengan waktu yang hanya sejam, kami harus menyiapkan dana jajan, belanja untuk makan malam di atas pesawat, dan persediaan minuman di mini market.

Saat di mini market, sesaat ingin membayar di kasir.

Saya: "Mbak, total berapa jadinya?"

Mbak Mini Market: "50 ribu, semuanya mas"

Saya: Mengambil uang "Ini ya, mbak"

Mbak Mini Market:  Ngeluarin kantong plastik "Mau pakai kantong plastik?"

Saya: dengan berpikir gerakan Go Green "Gak usah, mbak"

Mbak Mini Market: "Kembaliannya ini ya mas" sambil ngeluarin recehan.

Saya: karena uangnya gak seberapa "Tidak usah, mbak, buat tip aja"

Mbak Mini Market: "Oh baik, ini struknya" sambil nyodorin struk.

Tiba-tiba ada orang suara logat Jakarta campur timur: "Sekalian aje struknya kagak usah"

Pria berwajah Indonesia timur berambut brokoli warna hitam, dengan logat yang sepertinya lama di Jakarta tersebut, berhasil ngecengin saya, kami semua tertawa. Tanpa basa-basi kami langsung pergi ke dalam pelabuhan untuk kemudian naik ke atas kapal.

Selama di atas kapal, Yoman mencari-cari siapa tahu ada orang yang dia kenal di atas kapal. Menurut dia, sebagai orang Flores, tentunya pasti di atas kapal ada orang yang ia kenali dari Ende atau dari kota lainnya. Tetapi yang tidak di sangka, kami bertemu dengan orang yang kami temui di mini market. Namanya adalah Aldho, seorang mahasiswa dari universitas di Depok, ia bersama temannya, Kak Jimi.

Beberapa kenalan dari Kak Jimi ternyata Yoman kenal. Beruntungnya lagi, kami dapat tumpangan sampai ke Ende saat kapal sudah berlabuh di Labuan Bajo. Padahal jarak Labuan Bajo ke Ende sama seperti Tangerang ke Bandung jika tanpa tol. 

Karena tawaran Kak Jimi, tentu saja ini membuat penghematan kami. Awalnya kami berencana untuk menggunakan travel atau bus ke Ende. Mengingat mahalnya travel seharga Rp600.000 per kabupaten, at least sampai Ende Rp2,5 jutaan, merasa beruntung sekali bagi kami. Tetapi tentunya sebagai ucapan terimakasih kami bantu-bantu pengeluaran bensin juga. Wajar apabila harga travel di Flores sangat mahal, karena pom bensin sangat langka di sini, sedangkan bensin eceran bisa saja cepat habis atau tutup di bawah jam 9 malam.

***

Pelayaran kapal Surabaya-Labuan Bajo memakan waktu 38 jam. Selain berkenalan dengan Aldho dan Kak Jimi, kami juga berkenalan dengan dua orang mahasiswa Jogja yang asalnya Ruteng, Dolin dan Ece. Selama kapal berlayar, kami berdelapan bersama-sama.

(Kiri-Kanan) Kicay, Kak Jimi, Saya, Aldo, Jedi, Dolin dan Yoman.

Kapal yang kami naiki bernama Swarna Bahtera. Jujur saja, kapal ini sangat lama kelajuannya. Umumnya kapal cepat dari Surabaya adalah KM Nikki, yang hanya memakan waktu 26 jam (jika sampai Labuan Bajo), dengan rute Surabaya-Labuan Bajo-Ende. Tetapi kapal Nikki berangkat pada hari Sabtu.

***



Lewat 38 jam, kami akhirnya tiba di perairan Labuan Bajo. Waktu itu sore menjelang, dengan pemandangan pulau-pulau Taman Nasional Komodo di selatan kapal. Pemandangan cukup indah dilihat, terlebih saat sunset muncul pada waktu kami akan berlabuh di Pelabuhan Labuan Bajo.

Nah, pada saat bongkar muat, membutuhkan waktu yang lama bagi Kak Jimi untuk mengeluarkan mobilnya karena harus mengantre truk terlebih dulu. Maka sembari menunggu Kak Jimi keluar, kami membeli kartu untuk ponsel, dan selama di Flores hanya ada Telkomsel yang mempunyai sinyal dan jaringan internet.

Tak ketinggalan juga, kami nongkrong-nongkrong dulu di kafe dekat sini. Harganya pun lumayan tinggi untuk di Flores, satu kopi bisa menyentuh 30 ribu rupiah. Masih normal hitungannya bagi orang Jakarta. Hitung-hitung saya merayakan ulangtahun sembari perjalanan, saya juga menraktirkan teman-teman saya.


Terima kasih untuk Kak Jimi yang menjadi supir dan Aldo yang mau menumpangkan kami ke Ende. Namun tentunya sebagai ucapan kami juga kami membantu dalam mengemas barang-barang bawaan Kak Jimi dan Aldo yang ternyata untuk diberikan oleh sanak-sanaknya yang ada di beberapa kota di Flores, kami juga ikut singgah-singgah ke Aimere, Bajawa, dan Nangaroro untuk membantu sekaligus menemani untuk memberikan barang-barang pesanan dan titipan. Tidak hanya membantu membawakan dan mengemasi barang-barang, tentunya kami membantu bayar bensin yang langka di sini.

***
Selama perjalanan kami menyempatkan ke Aimere untuk menurunkan beberapa beban dan minum arak Moke. Moke adalah arak khas Flores yang tidak beresiko seperti arak di Jawa yang banyak oplosannya. Moke murni dari alam, diambil dari penyulingan air dari pohon Lontar.


Kemudian kami juga singgah di Bajawa, dan Nangaroro untuk menurunkan beberapa beban bawaan. Kak Jimi memang memiliki kenalan banyak di kota ini, sehingga banyak yang menitipkannya belanjaan dari Jakarta.

Akhirnya kami sampai di Ende, kota tempat Yoman tinggal, tepatnya di Woloare. Kami pun beristirahat selama sehari semalam sebelum petualangan di Flores dimulai.

***

16 Juli, kami mengawali petualangan kami dengan berkeliling kota Ende. Sebagai tempat kelahiran Pancasila, karena mantan presiden pertama, Sukarno, mendapatkan pencerahan disini, kami berkeliling menuju rumah pengasingan Sukarno yang tidak jauh dari rumah Yoman.


Kami pula berkunjung ke Taman Renungan Bung Karno, tempat di mana Sukarno mendapatkan pencerahan tentang Pancasila. Lokasinya yang strategis dengan pantai untuk melihat sunset, mungkin menjadi tempat yang cocok untuk merenung bagi sang proklamator ini.


Bagi saya Flores, terutama Ende memanglah tempat yang bertoleran. Sebab negeri ini penuh dengan gereja Katolik yang tidak jauh pasti juga ada masjid. Selain itu, mereka paham betul tentang bagaimana menjamu yang tidak mengonsumsi alkohol dan babi. Orang-orang Flores yang Katolik selalu mengingatkan dan melarang orang-orang Muslim bila makanan yang disuguhkan mengandung zat haram atau disajikan dengan secara non-Syariah (seperti sembelih tanpa menggunakan nama Allah).

BACA JUGA:

PROSES PEMBUATAN DAN TATA CARA MENIKMATI MOKE


Selain itu terhadap isu agama, memang tidak mempan dengan apa yang sedang terjadi di Jakarta. Ada kata-kata yang saya sangat sukai dari orang-orang Ende mengenai toleransi beragama, terutama awalnya orang-orang Flores bukan beragama Katolik atau Islam sama sekali.

"Manusia dan budaya lahir sebelum adanya agama. Maka isu pecah belah agama tidak menghancurkan kemanusiaan kami sebagai manusia dan saling menolong,"


"Jakarta sadis politiknya, bawa-bawa agama. Di sini juga sadis karena urusan keluarga dan teman-teman dekatnya. Dalam politik, setan dan Tuhan itu kerjasama," Ucap salah seorang yang memandang politik dan kebudayaan di sini.


Lanjut cerita, esoknya Kak Jimi memanggil kami kembali untuk jalan-jalan bersama. Antara dia gabut karena sendirian, karena Aldho sudah balik ke kota asalnya di Raja. Ia mengajak kami untuk jalan-jalan ke Nangaroro untuk ke air terjunnya, hingga mengikuti trip di Riung, pantai utara Flores. Tentunya, kami tidak boleh melewatkan kesempatan ini.


Kak Jimi membawa kami dengan mobil Innova yang dibawanya kemarin dari Labuan Bajo hingga Ende ini. Beberapa tempat wisata menarik di sepanjang jalan Ende-Nangaroro dikunjungi. Ada pantai hingga kelokkan yang bisa melihat laut.

Hingga tiba di Nangaroro, kami bertemu dengan Om Budi. Om Budi ini juga mengelola perkebunan kopi di Bajawa. Sehingga kami sebagai penikmat kopi, disuguhkan oleh Om Budi kopi tubruk dari Bajawa. Nikmat. Perlu kamu tahu, untuk oleh-oleh kuliner Flores yang pas untuk minuman selain Moke adalah kopi aseli Bajawa dan Ruteng. Mau yang Arabika atau Robusta tersedia di Bajawa dan Ruteng.

Om Budi juga punya link untuk perahu di Riung. Katanya untuk mendapatkan harga termurah perahu untuk ke beberapa pulau, adalah 2 hari dari ketibaan kami dari Nangaroro. Maka kami beristirahat sehari, dan kami. Harga murah yang dimaksud adalah Rp650.000 per perahu, padahal umumnya di hari lain bisa mendapatkan harga sekisar Rp800.000 hingga 1 Jutaan. Beruntung sekali kami bertemu dengan Om Budi. Oh ya, kami tiba di Nangaroro pada hari Selasa 18 Juli berarti kami akan melakukan trip di tanggal 20 Juli.


Sembari membuang waktu menunggu kepergian menuju Riung. Om Budi menyarankan kami bersama Kak Jimi untuk datang ke air terjun dekat sini yang belum begitu terekspos di internet. Tapi untuk menggapai ke sini juga gampang-gampang susah bila menggunakan mobil. Ketika sudah dekat, kita perlu berjalan kaki menyusuri sungai bebatuan, menurun-mendaki hingga memanjat batu besar.


Tapi cukup sepi! sejuk dan damai. Karena kami datang pada musim kemarau, airnya tidak sebanyak musim hujan yang deras. Tempat ini mirip kolam terbentuk secara alami.

Setelah itu, kami berganti baju dan kembali ke Nangaroro untuk beristirahat agar mempersiapkan diri untuk petualangan ke Flores belahan utara. Riung.

***
Menuju Riung

Kami usai beristirahat hingga pukul 10 malam, saya dan Kak Jimi mencari-cari pom bensin eceran yang masih buka. Memang langka, terlebih jam malam adalah setengah 10 malam. Hampir putus asa kami berdua mencari bensin, akhirnya teman Kak Jimi memberi tahu bahwa di dekat jalan menuju pantai ada penjual bensin eceran yang stoknya masih banyak. Masalah pun terselesaikan.

Maka kami kembali ke rumah Om Budi, dan mengajak teman-teman bersama Om Budi dan satu dari kerabatnya, untuk ikut. Jadi kami ber-7 jalan menuju Riung.

Sepanjang perjalanan menuju Riung dipenuhi dengan savana yang tandus. Tempat ini memang susah air bersih, karena kering. Tapi pemandangannya serasa di Australia atau Afrika. Batu-batu, bukit-bukit menjulang dilapisi rerumputan yang menguning karena kemarau.


Nah, untuk menyeberang ke beberapa pulau, pastinya harus ada dermaga tempat perahu bersandar kan? Ternyata beberapa pekerja di tempat wisata ini kenalan Om Budi. Nahkoda yang mengendarai perahu kami juga Om Budi kenal, sehingga beliau bisa menawar-nawar harga untuk menyeberang.

Kerabat Om Budi dan Om Budi.

Untuk peralatan snorkeling juga disewakan, dengan harga Rp25.000, hanya mendapatkan snorkel saja.

Trip ini menuju 3 pulau, pertama kami mengunjungi Pulau Kelelawar. Kelelawar banyak yang beristirahat di sini, di dahan-dahan pohon bakau pinggir pantai. Agak aneh ya, umumnya setahu kami kelelawar menyukai tempat gelap untuk beristirahat seperti dalam gua, tetapi di sini kelelawar beristirahat di pohon-pohon tersebut di tempat sinar matahari mudah sekali menerpa mereka.


Alangkah kerennya apa bila kita membangunkan mereka, kita dapat melihat ribuan kelelawar berpindah ke tempat yang tenang. Melihatnya seperti migrasi besar-besaran.

Usai puas melihat-lihat kelelawar yang beristirahat, kemudian kami lanjutkan ke Pulau Nunsa Rutong. Pulau ini memiliki pasir putih yang indah dilihat, ditambah ada bukit batu yang bisa didaki untuk melihat pemandangan sekitar. Panas memang, tapi yang namanya pemandangan langka kami tetap harus menikmati.



Untuk istirahat dan berenang-renang ria di Nunsa Tiga. Banyak sekali turis mancanegara datang untuk berjemur dan bersnorkeling ria. Sementara para wisatawan bisa bersenang-senang, para nahkoda dan beberapa petugas wisata menyiapkan makan siang berupa ikan bakar.

Pemandangan bawah laut di Nusa Tiga indah sekali. Dimulai pinggir lautnya yang lebat akan rumput laut, kemudian bintang-bintang laut, hingga karang-karang dan ikan-ikan yang beragam jenisnya di dasar yang lebih dalam.



Sayangnya, dokumentasi foto tidak mengambil momen-momen pas di dasar yang lebih dalam, karena yang memegang action cam harus menemani teman kami yang belum bisa ke tempat dalam.

Nah berikutnya adalah tempat yang bikin saya jatuh cinta pada Flores. Bukan Taman Nasional Komodo yang sudah ramai, melainkan Watu Mitong, Riung.


Tempatnya masih dipinggir pantai, berada di jalan Riung-Ruteng. Destinasi ini mungkin terlihat sepele bila di pinggir jalan, namun jika berjalan kaki sedikit akan bisa melihat keindahannya.

Destinasi ini rekomendasi dari Om Budi juga, katanya baru ditemukan 1 tahun lebih. Belum banyak yang tahu, tapi pastinya lebih indah dinikmati saat musim kemarau dengan savana kuningnya.


Kami tentunya tidak mau melewatkannya begitu saja, dengan pemandangan laut Flores dengan gugusan pulau yang melihatnya seperti Raja Ampat ala Flores.

Setelah itu, kami beranjak balik ke Nangaroro untuk beristirahat dan bertukar file dokumentasi dengan Om Budi.

***
Kelimutu, Danau 3 Warna

Usai kami berempat berjalan-jalan ria sampai ke pantai utara Flores, kami beristirahat kembali di Ende. Seharian kami menghabiskan waktu di rumah Yoman bersama teman-temannya hingga malam. Alasan kami begadang larut-larut karena tujuan kami mengejar sunrise di Danau Kelimutu yang masih berada di Kabupaten Ende.

Dengan 4 botol Moke yang disediakan untuk minum beramai-ramai, kami bernyanyi, melawak, dan mengobrol untuk menghabiskan waktu. Tentunya, saya tidak minum Moke. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi hari, saya, Yoman, Kicay dan Jedi berpamitan dengan teman-teman nongkrong.


Sepertiga malam tersebut cuacanya dingin, terlebih lagi angin dari selatan yang sedang musim dingin menyambar Flores di malam ini. Kami semua lengkap menggunakan jaket, dan celana panjang kecuali Yoman yang katanya sudah terbiasa ke Kelimutu dengan celana pendek bersama teman-temannya.

Perjalanan menggunakan motor memakan waktu 1,5 jam. Jalanan begitu gelap karena lampu jalanan yang belum setiap sisi tersedia, selepas kami keluar dari Kota Ende. Tapi tenang, walaupun selama perjalanan gelap, saat sudah sampai banyak lampu yang menyala, terlebih ada warung yang 24 jam buka.


Retribusi masuk ke Kelimutu adalah Rp5000 per orang. Biaya masuk menggunakan motor juga sama. Sehingga totalnya kami berempat dengan dua motor merogoh kocek sebanyak Rp30.000. Retribusi ini dibuka pada pukul 2 malam, dan ditutup pukul 6 sore, sehingga ada batas waktu saja untuk mengunjungi taman nasional ini.

Setelah memarkirkan motor, kami mendaki Kelimutu selama setengah jam. Sebenarnya karena kami telat datang, cahaya matahari mulai muncul saat kami hampir sampai di puncak.


Yoman bercerita tentang pengalamannya, bahwa biasanya bila ia pergi ke Kelimutu bersama teman-temannya pasti selalu dapat sunrise. Matahari akan muncul dari ufuk timur, bersamaan awan dan kabut yang mulai turun, dan memunculkan danau-danau yang terselimut kabut.

Oh ya, perlu kamu ketahui fakta kepercayaan lokal tentang Kelimutu ini dari prasasti yang saya temukan di dekat puncak.

"Masyarakat percaya bahwa jiwa/arwah akan datang ke Kelimutu setelah seseorang meninggal dunia. Jiwanya atau Mae meninggalkan kampungnya dan tinggal di Kelimutu untuk selama-lamanya. Sebelum masuk ke dalam salah satu kawah, para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu, selaku penjaga pintu masuk di Perekonde. Arwah tersebut masuk ke salah satu danau kawah yang ada, tergantung usia dan perbuatannya.


Ketiga danau/kawah seolah-olah bagaikan cat berwarna-warna airnya, berubah-ubah tanpa ada tanda alami sebelumnya. Mineral yang terlarut di dalam air menyebabkan warna air yang tidak dapat diduga sebelumnya.



Tidaklah aneh jika tempat yang keramat ini menjadi legenda sejak lama berlangsung turun-temurun. Masyarakat setempat percaya bahwa tempat ini adalah sakral..."


3 danau yang tersebut adalah Tiwu Ata Polo, Tiwu Koo Fai Nuwa Muri, dan Tiwu Ata Mbupu. Warnanya tidak hanya berubah menjadi hijau dan biru saja, bahkan bisa menjadi merah juga di suatu saat. Tiwu Ata Mbupu pada kepercayaannya sebagai tempat berpulangnya orang yang meninggal saat tua, Tiwu Koo Fai Nuwa Muri sebagai tempat berpulangnya arwah anak muda yang meninggal, sedangkan Tiwu Ata Polo adalah tempat berpulangnya arwah yang berbuat keburukkan.


Atas ke Bawah: Foto Tiwu Ata Mbupu, dan Foto
Tiwu Koo Fai Nuwa Muri bersama Tiwu Ata Polo.
Konon, dunia akan berakhir tanda-tandanya adalah bila Tiwu Ata Polo (tempat arwah keburukkan) dan Tiwu Koo Fai Nuwa Muri (tempat arwah anak muda) bercampur. Bisa dilihat memang dua danau ini berdempetan dan sangat mungkin bisa menyatu. Mungkin yang dimaksud adalah tanda-tanda akhir zaman seperti sekarang yang kebanyakkan pendosa adalah anak-anak muda, seperti saya pastinya.

Saat kami naik ke puncak, sayangnya kami tidak mendapatkan sunrise karena danau-danau tersebut tertutup kabut. Tapi kami, terutama tetap senang karena akhirnya bisa melihat Kelimutu dengan jelas saat siang. Kelimutu yang selama ini hanya muncul di iklan-iklan pariwisata, ternyata bisa saya lihat dengan mata kepala saya.

BACA JUGA:


BERTANDANG KE RUMAH ANDREA HIRATA


TELAGA DI HIRUK PIKUK TANGERANG


Selain itu, saya memang bercita-cita ke sini sejak saya jalan-jalan ke Telaga Biru Cigaru yang ada di Cisoka, Tangerang dan Danau Biru Kaolin di Belitung. Sekilas mirip, cuma tempat-tempat tersebut panas, bekas galian tambang pula. Makanya saya bergumam norak: telaga birunya Ende kok dingin yak, gak kayak di Cisoka?

Sekitaran Ende juga tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Beberapa pantai, dan air terjun juga tidak kalah serunya untuk kamu jelajahi.


Seperti Pantai Ria, yang biasanya digunakan untuk nongkrong-nongkrong sambil melihat sunset. Warung-warung di Pantai Ria menyajikan cemilan-cemilan yang kesannya syahdu untuk para pecinta senja yang ala-ala

Untuk masuknya, kamu cukup membayar uang retribusi Rp2000 per orang. Lokasinya juga tidak jauh dari tempat pengasingan Bung Karno.



Pantai Mbu'u, bagi saya ini mirip dengan Pantai Parangtritis di Yogyakarta, karena pantainya yang warnanya hitam. Pantai yang berada di Kota Ende sebelah timur ini, bisa melihat pemandangan Gunung Iya dan Meja. Selain itu di tempat ini ramai orang mencari batu-batu untuk dijadikan sabun, dan berburu kepiting untuk makan malam.


Air Terjun Kede Bodu. Lokasi wisata ini berada di Desa Kede Bodu, Kabupaten Ende, dan hanya membutuhkan waktu 1 jam perjalanan dari Kota Ende. Sayangnya saat kami tiba, air terjun ini sedang tidak begitu bagus karena musim kemarau dan pasca kejadian longsor di lokasi tersebut.



Pantai Penggajawa atau Blue Stone Beach juga tidak kalah menarik, tempat ini hampir mirip denga Pantai Mbu'u karena banyak batu-batunya. Tapi batu-batu di sini berwarna biru. Pantai ini biasanya digunakan para turis asing untuk berjemur dan beristirahat dengan tenang di Ende.

Pantai ini berada di barat kota Ende, jadi bagi yang dari Bajawa atau Labuan Bajo untuk ke Kota Ende pasti melewati wisata yang berada di pinggir jalan ini.

***

Untuk kamu yang ingin mencari referensi perjalanan di Flores, saya merekomendasikan menggunakan kendaraan pribadi. Touring menggunakan motor juga sangat direkomendasikan bila beramai-ramai. Cara tersebut lebih murah daripada harus naik bus atau travel yang harganya luar biasa mahalnya.

Untuk kamu yang backpackeran, jangan khawatir. Saya merekomendasikan untuk menyewa kendaraan di Flores. Karena saya menghabiskan waktu di Ende, ada beberapa penyewaan motor di Ende. Kamu bisa menemui banyak penyewaan motor di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Mautapaga, dengan kisaran harga dari Rp80.000 hingga Rp110.000. Pastikan surat-surat identitasmu lengkap, ya

By the way, Taman Nasional Komodo dan Waerebo? Lain waktu saja.

"The traveler sees what he sees, tourist sees what he has come to see."
Gilbert K Chestenton.

You May Also Like

0 komentar