PENGALAMAN HOROR SAAT TRAVELING (PART 2): WANITA MISTERIUS YANG MENEROR PERJALANAN
Kisah ini sebenarnya adalah bagian dari yang tidak diceritakan dari petualang saya, dan teman-teman saya saat melancong ke Belitung. Perjalanan yang diawali dari ide Kicay yang menjanjikan saya bersama Refan dan Refo untuk mengunjungi kampung halamannya, yakni Belitung, usai Refan dan Refo semester pendek.
Agar kamu paham bagaimana kisah perjalanan kami, sebelum membaca pos tentang pengalaman yang belum saya tuliskan ini, saya sarankan membaca pos BERTANDANG KE RUMAH ANDREA HIRATA terlebih dulu, karena cerita ini akan menjadi cerita yang sangat panjang.
BACA JUGA:
BERTANDANG KE RUMAH ANDREA HIRATA
PENGALAMAN HOROR SAAT TRAVELING (PART 1)
Belitung sangat memanjakan kami yang sedang berlibur di akhir musim liburan. Untuk ke Belitung, bandara yang bisa kamu tujui adalah H.A.S Hanandjoedin yang berada di Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Kemudian semua berjalan menyenangkan sesuai dengan artikel tentang perjalanan ke Belitung.
Kami mengunjungi Pantai Tanjung Pendam, Danau Kaolin, Pantai Tanjung Tinggi yang menjadi lokasi syuting Laskar Pelangi, Pulau Pasir, dan Pulau Mercusuar, bersama Bang Leo. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Belitung Timur dengan saudara Kicay satu lagi, Bang Dika. Di Belitung Timur kami mengujungi SD Muhammadiyah tempat Laskar Pelangi, Museum Kata Andrea Hirata, melihat-lihat rumah Basuki Tjahaja Purnama "Ahok", hingga mencoba ngopi-ngopi di Manggar.
Kami berjalan-jalan di Belitung Timur hingga sore menjelang, hingga kami memutuskan pulang. Banyak pemandangan-pemandangan indah yang bisa dilihat saat sore di Belitung Timur. Terlebih lagi, sehabis banjir besar yang terjadi seminggu sebelum kami tiba, menyebabkan bermunculan kubangan-kubangan air. Tak hanya itu juga, buaya semakin berkeliaran karena banjir besar yang melanda Belitung Timur. Sepanjang perjalanan pulang, saya mulai tertidur di kursi belakang.
Saat magrib berkumandang, posisi kami berlima berada di perbatasan Belitung dan Belitung Timur. Kicay dan Bang Dika yang menyetir tiba-tiba memberhentikan mobil. Sontak membangunkan saya yang tertidur di kursi belakang.
"Mau ngapain lu Cay, Bang?" tanya Refo.
"Kencing dulu bentar-bentar," jawab Kicay.
"Yaudah, di semak-semak sono aja tuh, jangan dekat gue juga," ujar Refan yang berada di kursi dekat pintu mobil.
Kicay dan Bang Dika langsung masuk ke mobil, dan melanjutkan perjalanan pulang. Selama perjalanan saya tidak bisa tidur karena musik yang disetel di mobil volumenya cukup kencang. Wajar saja, memang maklum karena sepanjang perjalanan sepi, dan hanyalah musik yang menemani jika tidak ada bahan pembicaraan.
***
Kami menginap di rumah Bang Leo, yang menjemput kami pertama kali di bandara. Rumahnya berada di belakang rumah kakek dan neneknya Kicay. Kami tiba dari Belitung Timur pada malam hari, setelah mengantarkan pulang Bang Dika yang menemani kami seharian.
Rumah Bang Leo memiliki halaman yang luas, dengan pohon-pohon yang banyak. Dengan halaman yang luas, memudahkan mobil untuk di parkir secara aman. Meski begitu, sebenarnya Belitung sangat aman, karena jika melakukan tindak pidana, penjahat tidak bisa kemana-mana karena akses pelabuhan dan bandara sudah dijaga polisi, dan Belitung terlalu sempit untuk penjahat bersembunyi.
Ketika kami menginjakkan kaki di rumah Bang Leo, setelah memarkirkan mobil Kicay dan Refo mencium bau aneh.
"Bau apa, nih?" Kicay keheranan.
Saya yang baru melepas sepatu merasa tidak enak, takut bau kaki saya yang mengganggu.
"Kaki gue?" tanyaku ke Kicay.
"Bukan, bau kaki lu, mah, kayak ikan asin dikeringin. Ini beda," Jawab Kicay.
"Bau apaan sih? Gua gak nyium bau apa-apa" Kata Refan.
"Kayak bau bangkai-bangkai gitu baunya," Refo menjelaskan. "Iya kan, Cay?"
"Nah lo, gua ama Afkar kagak nyium apa-apa sumpah dah" kata Refan.
"Ada tikus mati, kali" tebakku.
Akhirnya kami menyelidiki sekitar teras rumah, apakah ada bangkai tikus atau apa. Tapi yang ku khawtirkan adalah bila itu mayat orang. Walaupun saya dan Refan tidak mencium bau apa-apa, kami memutuskan memeriksanya. Siapa tahu Bang Leo ternyata pelaku pembunuhan, kan? Tidak ada yang tahu. Tapi setelah kita telusuri, sumber bau itu tidak ditemukan sama sekali.
Akhirnya kami buka pintu rumah Bang Leo. Bang Leo sudah tidur bersama istrinya. Tapi bau itu masih menyengat, dan sumbernya tidak jelas. Setelah kami mengunci pintu rumah dari dalam, kami langsung masuk ke kamar tidur tamu. Secara ajaib bau itu hilang kata Kicay dan Refo.
***
Ini adalah mobil yang kami gunakan selama di Belitung. Mobil Innova ini milik Bang Leo yang dipinjamkan untuk kami. |
Esoknya kami terbangun. Kami diajak Bang Dika untuk keliling-keliling Tanjung Pandan. Kami bersiap-siap jam 9 pagi. Sesudah sarapan, kami mandi satu per satu. Dari saya dulu, karena saya yang paling rajin di antara mereka-mereka yang masih muka bantal ini.
Usai saya mandi, dilanjutkan Refan, Kicay dan Refo secara urutannya. Tapi sesaat Kicay mandi, semua berada di kamar untuk siap-siap, ganti baju, dan main handphone, tiba-tiba...
"WOY, SIAPA ITU!!!"
Dari kamar mandi. Itu suara Kicay.
Karena janggal Kicay teriak-teriak di kamar mandi, dan rumah hanya kami berlima karena Bang Leo dan istrinya pergi bekerja, kami bertiga lari menuju kamar mandi.
Namun ketika kami sampai di depan kamar mandi yang berada di dapur itu, Kicay baru membuka pintu kamar mandi.
"Lu kenapa, Cay?" Tanya saya.
"Lah, gue kirain lu pada," kata Kicay.
"Pada apaan?" Refan penasaran.
"Itu tadi siapa yang bisik-bisik dari luar kamar mandi, bilang 'Huuuuu' gitu?" Kicay merasa aneh.
"Apaan sih, cay. Orang dari tadi kita-kita di kamar semua," jelas Refan.
Kicay mulai panik. Menjelaskan tadi kalau saat dia di kamar mandi, sesaat mau buang air besar di kakus, ia mendengar suara bisikan seperti "Huuuu" dengan suara fals, dan mengira itu kami yang melakukanya. Padahal kami sama sekali tidak keluar kamar tamu, dan pintu kamar kami juga tertutup.
Seketika itu juga kami keluar rumah, dan langsung mengecek halaman rumah siapa tahu ada orang iseng. Namun, kami tidak menemukan siapa pun dan tidak ada jejak sama sekali di halaman rumah di sisi dekat kamar mandi.
Merasa parno, Kicay akhirnya ingin melanjutkan mandi, tapi dengan syarat pintu dibuka sedikit. Kami yang sebenarnya penasaran, akhirnya memutuskan menemani Kicay di luar kamar mandi. Lucunya, kami menyediakan kamera untuk merekam dengan tertancap di monopod untuk jaga-jaga bila 'diganggu' lagi. Kami menggunakan kamera Kicay.
Setelah Kicay mandi tanpa gangguan lagi, kami segera mengecek video itu. Apakah ada 'sesosok' atau 'suara' yang terekam. Tapi sekali lagi, jawabannya: Nihil.
Berikutnya, Refo mandi. Ia minta ditemani Kicay di depan pintu kamar mandinya. Saya dan Refan masih berleha-leha di kamar sambil bermain handphone dan memutarkan musik. Tapi sementara kami berleha-leha, tiba-tiba....
BRAAKKKKKKK!!!
Suara pintu terbanting. Kemudian suara langkah kaki berlari menuju kamar.
Saya dan Refan tersentak kaget. Ternyata Refo dan Kicay panik dengan nafas terengah.
Janggalnya, kami melihat Refo tidak biasa. Saya dan Refan melihat pemandangan janggal. Refo ternyata dalam keadaan telanjang tanpa sehelai kain yang menutupinya.
"ANJIR, NGAPAIN LU PAMER-PAMER KRETEK GONDRONG? HAHAHAHA" Refan tertawa terbahak-bahak.
"WOIYA, ANJIR!" Refo baru menyadari. Beruntungnya Kicay membawa handuk untuk mentupi badannya.
Suasana kamar saat baru pertama kali tiba di Belitung. (Yang tiduran: Refan, baju hitam berambut panjang: Refo, berkacamata: Kicay) |
Refo menjelaskan, bahwa dirinya mendengar bisikan juga seperti yang didengar Kicay sebelumnya. Kami menduga bahwa kamar mandi rumah Bang Leo ini berhantu. Tapi dugaan itu salah, karena beberapa jam berikutnya, saya yang nekat untuk kencing di toilet tersebut baik-baik saja tanpa mendengar atau diganggu sesuatu.
Karena kami bangun, makan, dan mandi di siang hari, kami beraktivitas di sore hari. Tujuan kami adalah mengajak jalan Bang Dika dengan menjemput di rumahnya. Selain itu Kicay dan Refo mulai parno atas kejadian-kejadian yang menimpa mereka.
Kami wisata malam keliling kota Tanjung Pandan, melihat gemerlap kota terbesar di pulau itu. Melihat Tugu Batu Satam, hingga nongkrong-nongkrong di sekitaran pesisirnya hingga pukul 12 malam. Kemudian, kami memutuskan untuk mengantarkan pulang Bang Dika pulang
Rumah Bang Dika ini berada di pinggiran kota Tanjung Pandan, dan tidak terlalu jauh dari rumah Bang Leo. Rumah yang berada di pemukiman yang setiap rumahnya memiliki halaman luas, sehingga bisa digunakan untuk anak-anak bermain. Tiap-tiap rumah juga berpagar daun-daun blukar tanpa pagar besi seperti di kota Jakarta. Jalanan di sini cukup kecil, hanya muat 2 mobil untuk lalu-lalang, sehingga saat kami mengantarkan Bang Dika ini pulang, nantinya kami harus masuk dulu ke halaman rumahnya untuk memutar balik.
"Apaan itu?!" Kicay tiba-tiba berseru, sesaat mobil sedang memutar balik.
"Kenapa kah?" tanya Bang Dika dengan logat melayunya yang kental.
"Tadi gue ngelihat ada yang ngintip pakai daster dari depan pintu rumah, terus saat gue tengok langsung masuk ke rumah" Terangnya.
"Apaan? Mana-mana?" Tanyaku penasaran.
"Gorden kali," tebak Refan untuk me-masuk-akal-kan keadaan.
"Mungkin Kak Tya (Sepupu perempuan Kicay yang tinggal di rumah itu juga) barangkali," tebak Bang Dika.
Tapi kami tiba di tengah malam, untuk apa Kak Tya menunggu di depan pintu lalu bersembunyi saat kami tiba?
Akhirnya kami semua turun dari mobil dan mengecek pintu depan rumah tersebut. Memastikan bahwa benar-benar tadi itu Kak Tya.
Alangkah terkejutnya kami, ternyata pintu depan terkunci. Bahkan saat kejadian tersebut, tidak ada suara seseorang yang mengunci pintu. Dan kami juga tidak menemukan jejak kaki sedikit pun di lantai. Logikanya, jika itu Kak Tya, harusnya ada jejak kaki yang terbentuk karena gas yang tercipta dari kaki yang menyentuh keramik lantai.
Bang Dika sontak tiba-tiba pamit secara terburu-buru dan masuk rumah melalui pintu belakang. Kami keheranan.
"Wah enggak beres, nih." Kata Refo.
Kami pun langsung buru-buru masuk mobil. Dan memutuskan untuk tidak pulang, melainkan menghabiskan satu malam di kedai kopi 24 jam di pusat keramaian kota.
Di jalan tiba-tiba Kicay mengatakan secara ngeri. "Tadi yang gue lihat, bukan Kak Tya."
Kami pun penasaran.
"Tapi seorang wanita dengan daster putih berlumuran darah...."
***
Malam itu kami habiskan di kedai kopi yang saya tidak tahu di mana persisnya. Lokasinya berada di jalan yang kadang lalu-lalang kendaraan yang biasanya diisi oleh anak-anak muda. Jika kalian perhatikan, kunjungan saya ke kedai kopi ini, tidak saya ceritakan di pos BERTANDANG KE RUMAH ANDREA HIRATA, karena kepentingan kami di sini hanyalah 'mengungsi' dari kejadian-kejadian aneh yang bisa saja menimpa kami bila di tempat sepi atau pulang ke rumah.
"Kalau itu seandainya kuntilanak, itu datangnya dari mana?" tanya Kicay kepada kami.
Sambil menenggak kopi sampai habis, kemudian Kicay ngedumel, "Jujur aja nih ya. Emang, sih agak ngeri. Tapi yang mengherankannya adalah, kejadian ini malah bikin gue makin berani. Lu lihat kan, pas di rumahnya Bang Dika. Malah gue samperin. Ini aneh gitu lho"
Refo kemudian mulai berspekulasi "Gini, Cay. Bisa jadi lu bertindak sembarangan di tempat yang enggak seharusnya."
"Lu ingat kan, lu mulai ngerasa diganggu semenjak kita pulang dari Belitung Timur?" tanya Refo kepadanya.
Kicay mengangguk.
"Jangan-jangan lu kencing pas sore-sore mau balik itu, lu gak minta izin atau numpang maaf, gitu?"
"Iya, gue lupa," jawab Kicay.
"Nah, lu tau sendiri kan? Apalagi Belitung Timur pas sebelum kita datang kena banjir gede. Otomatis, yang keluar dari lubang-lubang persembunyian tentunya gak cuma buaya atau hewan-hewan lainnya di Belitung Timur, Cay. Bahkan jin juga bakal keluar karena tempat tinggalnya terusik," ujar Refo
"Bau bangkai yang waktu kita baru sampai juga, itu sebenarnya gue curiga. Soalnya bau bangkai juga tanda-tanda munculnya kuntilanak," terang Refo.
Saya dan Refan hanya diam, karena kami memang tidak merasa diganggu dan kurang mengerti tentang dunia gaib. Wajar bila Refo yang mulai berspekulasi tentang peristiwa-peristiwa yang baru terjadi padanya dan Kicay, sebab ibunya Refo ternyata adalah seorang paranormal di daerah Banten. Kemungkinan besar kenapa Refo juga diganggu, bisa jadi karena dia memiliki hubungan dengan ibunya yang bisa mengusir kuntilanak yang mengganggu temannya dengan mudah.
Singkat cerita, akhirnya Refo menghubungi ibunya melalui WhatsApp, mengabarkan apa yang terjadi dengan dirinya dan Kicay di sini. Memang kurang etis untuk menghubungi ibunya di tengah malam seperti ini, tapi harus dilakukan karena keadaan yang darurat. Dan tentu saja, balasannya cukup lama.
Setelah mendapatkan balasan dan berkirim cerita sekaligus konsultasi, ternyata ibunya Refo mengirimkan 'jin' penjaga berupa harimau untuk melindungi kami. Ibu Refo berpesan, agar kami cepat pulang ke tempat Bang Leo untuk beribadah solat subuh, dan membaca ayat kursi untuk mengusir kuntilanak ini. Kami pun bergegas.
"Oh, satu lagi" kata Refo sambil membaca pesan WhatsApp dari ibunya.
"Apaan, fo?" tanya Kicay.
"Kuntilanaknya, suka sama lu"
***
Akhirnya malam berikutnya, kami datang lagi ke rumah Bang Dika yang mendapat informasi dari Kak Tya, bahwa Kak Tya memiliki kenanalan seorang paranormal yang bisa mengusir kuntilanak yang mengganggu kami selama di Belitung.
Kak Tya bersama suaminya, dan Bang Dika ikut bersama kami untuk memberi tahu jalan menuju tempat paranormal tersebut. Respon Kak Tya dan suaminya juga kaget atas peristiwa malam sebelumnya, karena pada malam tersebut Kak Tya dan suaminya sudah tidur di kamar. Karena hal tersebut itulah Kak Tya membantu kami.
Tibalah kami di tempat paranormal tersebut yang ternyata seorang ibu-ibu. Paranormal ini memiliki 'kesaktian' yang bisa mengetahui keberadaan makhluk gaib dari mendiang anaknya yang sudah meninggal, dan bersatu dengan ruhnya. Tapi sejujurnya, kami percaya-tak percaya karena bagi kami itu masih bisa diakal-akali sebagai gimmick paranormal ini saja. Yang penting kita terbebas dari gangguan ini.
Di rumahnya, di dalam ruang tamu, hanya tersedia bumbu-bumbu, dan sesuatu cairan saja yang ia gunakan.
Hanya saya, Kicay dan Refo yang masuk ke dalam ruang tamunya, karena tidak boleh teralu ramai untuk masuk ke dalam.
Caranya dia menanganalisa makhluk gaib dan pengusirannya cukup unik. Ia 'berkomunikasi' dengan anaknya, yang kemudian anaknya menjawab dengan cara dirinya berubah suara menjadi anak kecil perempuan. Kemudian setelah mengetahui bahwa kuntilanak berada di tubuh Kicay, ia mengeluarkan bawang dan menyuruh Kicay buka baju. Lalu mengerok badan Kicay, dari tangan, dada, bahu, punggung, dan lehernya menggunakan bawang.
Paranormal itu bisa menebak, bahwa alasan kenapa Kicay diganggu karena dirinya buang air sembarangan. Terlebih lagi di tempat dan waktu yang berbahaya, yakni perbatasan wilayah (bisa desa, bisa kabupaten) di waktu sore hari. Alasan mengapa Refo juga diganggu, karena Refo memiliki kekuatan untuk menyadari kehadirannya.
Dengan mata kepala saya sendiri, saya terkejut. Melihat secara perlahan muncul garisan-garisan merah selain bekas kerokan bawang tersebut. Jika kerokan bawang bergaris tebal-tebal, goresan ini lebih tipis dan setiap goresannya ada 3 garis. Paranormal itu menjelaskan, bahwa garis-garis tersebut adalah cakar-cakar kuntilanak yang menolak pergi.
Akhirnya, kuntilanak tersebut sudah pergi. Katanya.
Di akhir perjalanan, kami akan kembali ke Jakarta. Penerbangan kami di siang hari, tapi kami sudah berkemas-kemas. Beruntungnya kami punya Bang Leo yang bekerja di Bandara H.A.S Hanandjoedin.
Kami sudah mandi, sudah merapihkan baju-baju ke dalam tas kami masing-masing. Tapi karena menunggu Bang Leo mandi, kami berleha-leha sambil merokok sebentar di kamar. Kicay meletakan ponselnya di atas kasur yang sudah dirapikan sambil mengecek kembali barang-barang yang sudah dimasukkan ke tasnya.
Saya juga mengecek kembali tas, dan kamera saya. Sementara Refan dan Refo merokok di teras rumah untuk mencari angin.
Hingga akhirnya Bang Leo selesai mandi, kami sudah bergegas di depan rumah.
Tiba-tiba Kicay kembali panik. Ponsel yang ada di kasur mendadak hilang. Semua ikut panik, di pagi yang menjelang siang itu.
Kami mencari-cari handphone Kicay yang sebetulnya berisi kode tiket penerbangan kami. Bang Leo mengizinkan kami untuk mengobrak-abrik kamar kembali untuk menemukan ponsel tersebut, dan biar ia dan istrinya yang nanti merapihkan kembali. Walaupun dengan rasa sungkan, tidak enak untuk merepotkan tuan rumah, kami akhirnya lakukan, hingga mencari-cari seisi rumah termasuk kamar mandi.
Berkali-kali miskol dilakukan melalui Line, Whatsapp, dan panggilan via nomer handphone, tetap tidak ditemukan. Lebih janggalnya lagi, ternyata telpon kami kadang diangkat kemudian langsung direject.
Bisa-bisanya.
"Udah dong, Udah... Saya mau pulang ke Jakarta, saya mohon maaf kalau saya sudah mengganggu," Kicay memohon sambil mencari-cari ponselnya.
Kicay pasrah. Kami pun pasrah. Hingga akhirya saya penasaran dan mencoba menelpon kembali nomer Kicay.
Telpon hanya berbunyi, tidak diangkat.
Tiba-tiba ada suara getar. Kami ikuti suara getar tersebut. Ternyata suara itu bersumber di kamar.
Ponsel itu 'disembunyikan' di balik sarung bantal. Anehnya, posisi ponsel tersebut berada di sarung bantal yang jauh dari mulut sarungnya. Lebih parahnya lagi, Kicay menjelaskan bahwa sebenarnya ponselnya tidak dimoode-getarkan, melainkan mode dering.
Fix, kami masih diusili.
Akhirnya kami langsung naik mobil secara buru-buru. Kami sudah telat untuk terbang. Tapi beruntungnya Bang Leo bisa menelpon pihak bandara untuk menunda penerbangan pesawat sebentar, untuk menunggu kami. Beruntungnya, penerbangan tersebut menunggu kami.
Singkat cerita, kami tiba di bandara dan bersiap masuk ke pintu keluar bandara menuju lapangan penerbangan. Bang Leo menemani kami hanya sampai pada tempat scan x-ray. Kami mengucapkan terimakasih kepada Bang Leo yang sudah membantu kami di Belitung hingga membuat penerbangan mau menunggu kami.
Di saat saya mau melangkah menaiki tangga pintu pesawat. Tiba-tiba ada yang berbisik dengan suara parau yang berat dengan logat melayu...
"Selamat tinggal..."
Saya menengok kebelakang, dan tidak melihat siapa-siapa di belakang saya.
Refan, Refo dan Kicay yang sudah di dalam pesawat, di tempat pramugari menunggu kami menyuruh saya agar cepat masuk. Saya pun bergegas masuk.
Hingga akhirnya Bang Leo selesai mandi, kami sudah bergegas di depan rumah.
Tiba-tiba Kicay kembali panik. Ponsel yang ada di kasur mendadak hilang. Semua ikut panik, di pagi yang menjelang siang itu.
Kami mencari-cari handphone Kicay yang sebetulnya berisi kode tiket penerbangan kami. Bang Leo mengizinkan kami untuk mengobrak-abrik kamar kembali untuk menemukan ponsel tersebut, dan biar ia dan istrinya yang nanti merapihkan kembali. Walaupun dengan rasa sungkan, tidak enak untuk merepotkan tuan rumah, kami akhirnya lakukan, hingga mencari-cari seisi rumah termasuk kamar mandi.
Berkali-kali miskol dilakukan melalui Line, Whatsapp, dan panggilan via nomer handphone, tetap tidak ditemukan. Lebih janggalnya lagi, ternyata telpon kami kadang diangkat kemudian langsung direject.
Bisa-bisanya.
"Udah dong, Udah... Saya mau pulang ke Jakarta, saya mohon maaf kalau saya sudah mengganggu," Kicay memohon sambil mencari-cari ponselnya.
Kicay pasrah. Kami pun pasrah. Hingga akhirya saya penasaran dan mencoba menelpon kembali nomer Kicay.
Telpon hanya berbunyi, tidak diangkat.
Tiba-tiba ada suara getar. Kami ikuti suara getar tersebut. Ternyata suara itu bersumber di kamar.
Ponsel itu 'disembunyikan' di balik sarung bantal. Anehnya, posisi ponsel tersebut berada di sarung bantal yang jauh dari mulut sarungnya. Lebih parahnya lagi, Kicay menjelaskan bahwa sebenarnya ponselnya tidak dimoode-getarkan, melainkan mode dering.
Fix, kami masih diusili.
Akhirnya kami langsung naik mobil secara buru-buru. Kami sudah telat untuk terbang. Tapi beruntungnya Bang Leo bisa menelpon pihak bandara untuk menunda penerbangan pesawat sebentar, untuk menunggu kami. Beruntungnya, penerbangan tersebut menunggu kami.
Singkat cerita, kami tiba di bandara dan bersiap masuk ke pintu keluar bandara menuju lapangan penerbangan. Bang Leo menemani kami hanya sampai pada tempat scan x-ray. Kami mengucapkan terimakasih kepada Bang Leo yang sudah membantu kami di Belitung hingga membuat penerbangan mau menunggu kami.
Di saat saya mau melangkah menaiki tangga pintu pesawat. Tiba-tiba ada yang berbisik dengan suara parau yang berat dengan logat melayu...
"Selamat tinggal..."
Saya menengok kebelakang, dan tidak melihat siapa-siapa di belakang saya.
Refan, Refo dan Kicay yang sudah di dalam pesawat, di tempat pramugari menunggu kami menyuruh saya agar cepat masuk. Saya pun bergegas masuk.
***