TRAVELER KINI, TRAVELER NORAK


Semenjak naiknya pariwisata Indonesia yang membuat masyarakat dunia, terlebih Indonesia, berlomba-lomba untuk pergi berwisata idaman yang menarik. Hal itu tentunya menjadi gengsi tersendiri bagi pelancong-pelancong dalam negeri di sosial media, terutama di Instagram dan Youtube.

Sosial media terutama Instagram dan Youtube, menjadi wadah masyarakat Indonesia untuk menebar gengsi. Hal ini bisa dibuktikan dengan kejadian sosial sehari-hari di sekitar kita, terutama lingkungan anak muda. Saat melihat temannya berkunjung ke tempat wisata yang bagus dan kemudian disebarkan di sosial media, teman yang lain juga akan berlomba mencari tempat wisata yang lebih bagus, dan kemudian disebarkan juga ke sosial media agar teman-teman yang lainnya juga tahu. Apalagi ditambah dengan munculnya program televisi "My Trip My Adventure" yang membuat kesan pada penontonnya (bahkan fan program televisi tersebut), bahwa melakukan traveling itu sesuatu yang keren dibandingkan kegiatan lainnya.

Sikap gengsi sosial terhadap liburan ke wisata-wisata indah (terutama di Indonesia) karena efek melihati di sosial media terhadap influencer-influencer yang mudah kemana saja karena uang banyak. Influencer seperti selebriti inilah yang membuat kita ingin dikenal seperti 'selebriti', atau ingin terkenal di mata orang banyak.


Teknologi elektronik seperti sosial media di gawai menjadi acuan budaya ini, terkait dengan teori media baru milik Denis McQuail (1987 : 16-17) yang mengatakan bahwa, Media Baru adalah sebagai telematik yang merupakan perangkat teknologi yang berbeda dengan pengguna yang berbeda pula. Kemudian didefinisikan oleh Lev Manovich dalam The New Media Reader ke dalam beberapa proporsi salah satunya adalah:  "Fenomena sosial yang menekankan pada objek budaya dan paradigma."

Umumnya ini terjadi kepada mereka yang memiliki akses ke sosial media influencer  adalah generasi milenial. Ya, mereka adalah generasi yang hidup melewati era perubahan milenium kedua, sesuai apa yang ditulis William Straus dan Neil Howe, dalam beberapa bukunya seperti Generations (1991). Dan golongan dari generasi milenial yang terkena imbas mengejar kepopularitasan ini, jatuh kepada golongan remaja (18-25an tahun) yang masih memiliki konflik dalam ambisinya, termasuk diri saya sendiri. Akibatnya, generasi milenial menjadi rentan dengan dampak negatif sosial media karena telah 'kadung' kecanduan melihat konten 'wah' milik influencer yang diikuti.

Salah satu dampak negatif larut dalam sosial media adalah Megalomania, atau biasa disebut Narcissistic Personality Disorder (Kelainan Kepribadian Narsistik). Megalomania sendiri dijelaskan oleh Sigmund Freud (1859-1936), berakar dari narsisme atau perasaan mencintai diri sendiri secara berlebihan dalam diri manusia. Sehingga menilai dirinya sendiri secara berlebihan. Tentunya mengakibatkan salah satu cirinya adalah menganggap orang lain remeh.

Banyaknya fenomena generasi milenial, terutama golongan remaja yang mengunggah foto ke sosial media tentang tempat-tempat yang pernah dikunjungi selama perjalanannya. Seperti mendaki gunung setinggi mungkin, sehingga semakin tinggi gunung yang didaki, semakin tinggi rasa eksistensinya untuk diakui, dan terjangkit Megalomania. Bahkan yang lebih ekstrimnya lagi akibatnya menganggap orang yang di luar 'golongan kekiniannya' dianggap rendah.

Saya sering sekali menemukan teman-teman, atau warganet di sosial media yang sehobi, dan seperminatan dengan saya (dalam kasus ini, traveling), bertindak berlebihan atau terlalu merasa hebat atas pencapaiannya yang ia lakukan, dan meremehkan golongan yang tidak sehobi/seperminatan dengan mereka.

Padahal dia juga anak jaman sekarang...

Perlunya menyadari bahwa setiap orang memiliki peminatan yang berbeda-beda. Tidak semua menyukai sesuatu kesukaan yang disukai orang lain. Terlebih, jika ia dipaksa untuk mencintai suatu kegiatan, atau kesukaan seseorang direndahkan. Sama sepertinya pecinta K-Pop, Wibu, Otaku, atau orang-orang dengan hobi yang tidak lazim bagi orang-orang umumnya, ketika sudah menjadi umum menjadi bahan cercaan. Apa yang terjadi bila kecintaan dalam traveling menjadi sesuatu yang aneh?

Secara pribadi, cobalah untuk membuka pemikiran bahwa diri ini tidak melulu soal kecintaan atas kegiatan yang dilakoni sendiri, dan tidak semua orang yang berbeda peminatannya itu aneh. Apa yang kita lakukan kepada orang lain, bisa berimbas kepada diri kita sendiri, seperti yang dikatakan Albert Bandura (1925) dalam teori belajar sosialnya.

Tapi tanpa banyak teori, anak traveling sendiri harus menghargai perbedaan kepada yang tidak seminat, agar saling menghargai tanpa merendahkan. Bukankah traveler itu dikenal sebagai orang-orang yang membuka pikiran? Oleh sebab itu, jangan menutupi keterbukaan pemikiran seorang traveler hanya karena kegengsian dalam sosial media. Karena keindahan alam ini, bukan untuk Instagram dan Youtubemu.

Postingan Populer