Featured

HIDUPKU BERAT DI NAMA

by - April 21, 2019

hidupku berat di nama

Kata William Shakespeare, apalah arti sebuah nama. Tapi bagiku, nama ternyata segalanya, bahkan masuk ke aspek kehidupan saya pribadi. Pernahkah hidupmu juga terkendala gara-gara soal nama? Misalnya seperti kasus-kasus yang sudah umum di Amerika Serikat, nama yang islami atau kearab-araban akan susah mengurus visa ketika sudah sampai di sana. Atau, gara-gara nama malah langsung membuat orang bisa menebak seseorang agamanya apa, sukunya apa, rasnya apa, zodiaknya apa, lahir tanggal berapa, hingga warna favoritnya apa.

Seperti yang kalian sudah ketahui di laman TENTANG SAYA, nama lengkap saya adalah Afkar Aristoteles Mukhaer dan setiap kali saya melakukan perkenalan kepada orang-orang baru saya enggan menyebutkan nama lengkap atau nama tengah saya. Tentu saya akan menyebut nama panggilan saya yang ada di nama depan saya, "Afkar".

Mengapa? Pasti kamu sudah menebaknya, karena nama tengah saya adalah "Aristoteles". Bagi yang memiliki kontak Whatsapp saya, bahkan punya list daftar nama yang di dalamnya ada nama saya, pasti langsung terkesima dengan nama saya. Mereka langsung menganggap saya sebagai 'filusuf' karena nama saya yang memang nama seorang filusuf terkenal dari Yunani Kuno.

Terlebih, bagi yang bisa bahasa Arab mereka bisa menerjemahkan nama saya dan artinya memang lebih berat dari "Aristoteles" itu sendiri, Pikiran Aristoteles. Damn! Berat banget nama saya. Memang sih, orang tua saya menamakan saya begitu agar saya bisa berpikir dan memahami segala hal, dan syukurnya itu terkabul saya bisa memahami hal dari segala aspek.

Gara-gara nama...

I'm me, not Aristotle!

Oke, langsung saja berbagai masalah yang saya dapati gara-gara nama saya sendiri.

Pertama kali saya dapat masalah adalah ketika saya SMP, sesaat saya masih berambisi untuk kompetisi dalam dunia pendidikan. Mantan saya, Rira, adalah pesaing saya dalam hal pendidikan, terutama soal Bahasa Inggris.

Masalahnya bukan Riranya, tapi teman-teman saya. Ketika saya kalah dengan Rira, pasti teman saya ada saja yang nyinyir "Namanya kayak orang Eropa, tapi Bahasa Inggris aja kalah sama orang Kalimantan, piye toh, Kar?!". Menyebalkan. Mereka butuh diusap ubun-ubunnya, sepertinya.

Kan tidak ada korelasi, antara nama dengan kemampuan Bahasa Inggris, kan ya.

Kedua, masalah ini karena saya mondok pesantren, saya kenal beberapa teman saya yang sekarang 'rada radikal' soal agama. Dulu, bahkan dengan berani-beraninya ia nyinyir bilang "Namamu kui koyok jeneng wong kafir, Kar". WTH is this, menyebalkan sekali judge seperti itu. Kasus ini jugalah yang saya sempat dicap kafir selama tinggal di pesantren. Kalau kalian tahu, permasalahan di pesantren lainnya kamu bisa cek di tulisan ini: MENJADI TUHAN DENGAN DOKTRIN MENGKAFIR-KAFIRKAN SEJAK DINI

Kasus kedua itu memang sering terjadi, dan akhirnya saya temukan jawabannya saat kuliah. Ini adalah kasus ketiga. Saat memasuki perkuliahan di UMN saya memiliki banyak teman dari berbagai suku, ras, agama, dan golongan.

Saya pernah mencoba untuk berbaur dengan teman-teman muslim lainnya saat masa orientasi. Karena manfaatnya menjadi muslim saat masa orientasi adalah mendapatkan banyak waktu istirahat gara-gara harus solat. Hehehe.

Dan yang benar saja, teman-teman muslim lainnya terkejut saat saya wudhu dan solat. Mereka terkejut, karena mereka awalnya menganggap saya Katolik gara-gara nama saya! Tidak hanya yang muslim saja yang kaget, yang non-muslim pun juga kaget, dan mengira saya latar belakangnya dari agama-agama selain Islam, seperti Kristen, Katolik, Yahudi, Koptik, Ortodoks, dsb.

Kasus serupa terjadi saat bulan April pertengahan kemarin saya mengikuti program dialog antar agama. Seperti biasa, banyak yang kaget dari sisi muslim maupun non-muslim. Ternyata setelah saya kulik, Alkitab itu sebenarnya menggunakan bahasa Yunani, pantas saja banyak orang yang mengira saya orang Nasrani.

Kasus keempat. Jujur saya tertarik dengan dunia filsafat yang selalu mempunyai jawaban logis atas hal yang irasional. Apalagi di UMN terutama jurusan Jurnalistik terdapat mata kuliah Filsafat Pancasila, Etika Filosofi Komunikasi Massa, Etika Media dan Filsafat, Kajian Media Kritis, tentu menjadi mata kuliah favorit saya, meski dibenci banyak mahasiswa karena dibuat berpikir keras.

Saking favoritnya, mungkin secara nilai cukup bagus. Saya pun mulai sering membantu teman-teman saya untuk mengajarai mereka. Tapi yang saya paling tidak suka ketika mereka menyebut tokoh yang ada di nama saya, Aristoteles. "Wey filusuf ajarin gue ini ini ini dong!" "Nah, kan yang benar harusnya belajar sama filusuf beneran nih mumpung di sini" dannn masih banyak segala macam lainnya yang mengaitkan nama saya, dengan saya, dan matkul-matkul yang saya favoritkan.


***

He's not me, I'm not him

Jadi, ayolah... saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri, bukan jadi Aristoteles, bukan siapa pun. Saya tidak bangga akan ada nama orang lain di nama saya. Biarkan saja nama adalah doa, saya hanya ingin dikenal sebagai Afkar saja, tidak disamakan dengan nama seseorang yang ada di nama saya.


Itu sebabnya, juga saya membuat nama panggung saya dengan memotong nama belakang saya menjadi Afkar Aristo. Walaupun artinya juga masih berat, Pikiran Terbaik, setidaknya tidak ada nama orang di nama saya.

Saya yakin, teman-teman juga pasti punya masalah di kehidupan ini gara-gara nama. Kamu boleh kok cerita di kolom komentar di bawah ini, atau DM Instagram saya. Saya open kok, dan boleh ber-elo-gue dengan saya biar tidak kaku-kaku amat.

Terima kasih.
Selamat menjalani kehidupan dengan damai!

You May Also Like

0 komentar