Featured

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!: Konstruksi Agama dan Patriarki

by - Desember 01, 2019

cover depan buku "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur" yang didominasi warna hitam, dengan tulisan warna kuning.
Judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!
Penulis: Muhidin M Dahlan
Terbit: 2003 (cetakan 17 Tahun 2019)

"Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarjinalkan tanpa ada satu pun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarjinalkan itu. Supaya ada keseimbangan informasi."-Nidah Kirani 

Meskipun novel ini adalah "fiksi yang bahan bakunya sepenuhnya diambil dari kisah nyata dan wawancara mendalam..." dikatakan penulisnya di bagian Surat Untuk Pembaca. Sosok Nidah Kirani yang menjadi tokoh utama dalam buku ini seolah menjadi Nietzsche ala Indonesia jika seandainya ia memiliki previlege untuk menyatakan identitas aslinya, dan pemikirannya dalam karyanya sendiri.

Seperti yang tertera pada judul dan subnya, "Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah". Buku ini berlatarkan Yogyakarta dengan petulangan iman Nidah Kirani yang bermula dari hijrahnya dirinya untuk menjadi sosok yang alim dalam suatu pondok tarbiyah, hingga bergabung dengan Jamaah Daulah Islamiyah yang bercita-cita untuk Islam di Indonesia yang kaffah (total), yang berujung pada kekecewaannya pada ideologi dan struktur kehidupan yang akhirnya membuatnya menjadi seorang pelacur.

Baca Juga: Origin: Kembalinya Perang Sains Melawan Agama

Penulis menuliskan cerita ini dengan berbagai macam identitas, lembaga, dan institusi samaran agar melindungi narasumbernya, sosok Nidah Kirani yang asli. Meskipun begitu berdasarkan keterangan penulisnya pada Surat Untuk Pembaca, beberapa institusi mereasa tercemar nama baiknya dengan samaran-samaran yang dibuat penulis. Bahkan beberapa pihak gencar-gencarnya mencari sosok Nidah Kirani, yang membuat jelek nama instansi dan beberapa pihak dakwah yang tersentil.

Laki-laki dan idealismenya


Dalam perjalanan kehidupannya selama bertahun-tahun, Kirani bertemu dengan berbagai macam laki-laki yang menampakkan dirinya sebagai simbol kegagahan, tapi lemah dalam hal cinta dan seks. Banyak laki-laki yang idealis dengan pemikirannya, seperti Daarul yang berideologi kiri yang sering turun ke jalan sebagai mahasiswa aktivis. Tapi dalam urusan ranjang, dan cinta ia bahkan takluk pada sosok Kirani.

Beberapa mahasiswa berlatar belakang sufi maupun aktivis Islam pun juga tak luput dari rontoknya idealisme mereka. Mereka memberikan pandangan dan gagasan yang gagah untuk diperjuangkan dalam sektor kehidupan atau ideologi. Tapi ketika seks didekatkan pada laki-laki, mereka jatuh ke dalamnya.

Baca Juga: Drama Pelarian di atas Pesona Indonesia

Tak hanya mahasiswa ada pula Pak Tomo, seorang dosen di suatu kampus yang awalnya sangat idealis dalam pengajaran di kampusnya, hingga takluk pula pada Kirani. Hingga akhirnya berselingkuh dari istrinya, bahkan menjadi germo untuk Kirani saat ia benar-benar ingin menjadi pelacur kelas tinggi. Bahkan pelacur yang dijalankan Kirani saat ini adalah pekerjaan yang biasa ditiduri anggota DPRD luar daerah dari berbagai partai politk, dari yang demokratis hingga yang islami.

Kirani sampai pada titik bersikap anti-cinta. Karena dalam pandangannya, cinta dari seorang laki-laki tidak lain hanyalah abstraksi ketertarikan visual. Hingga akhirnya, cinta tidak lain tidak bukan adalah hal yang ditawarkan laki-laki untuk mendapatkan seks.

Dalam pandangan Kirani, agama dikonstruksikan sebagai superioritas laki-laki dalam menguasai aspek kehidupan hingga menciptakan berbagai macam konsep patriarki. Akibatnya banyak penguasaan kehidupan dikuasai laki-laki, bahkan berbuah ketergantungan perempuan pada kuasa laki-laki.

Buku yang bikin kaget


Saat saya membaca buku ini, buku ini memiliki awal yang sangat relijius dalam menampilkan pandangan agama. Beberapa elemennya adalah situasi Pondok tempat Kirani belajar agama, atmosfer kajian dan pengajian pendalaman agama yang awalanya dibuat olehnya, forum diskusi, hingga kegiatan sehari-hari untuk beribadah.

Namun tidak disangka, pada bab-bab berikutnya penulis membawa suasana pada keadaan sehancur-hancurnya Kirani pasca dikecewakan oleh Jamaah Daulah Islamiyah yang membuatnya harus kabur dari jamaah tersebut. Membuahkan bagaimana Kirani putus asa dengan ketuhanan hingga enggan mendengar suara azan dan lonceng gereja.

Hingga akhirnya ia menjadi pelacur yang dilanggani oleh anggota-anggota DPRD. Dengan kata lain, nafsu laki-laki adalah komoditi baginya, dan begitulah caranya perempuan baginya untuk bertahan hidup untuk meladeni laki-laki yang mengobral cinta.

Butuh kebijaksanaan dalam membaca novel ini. Beberapa di antaranya mengandung banyak konfrontatif pandangan Kirani terhadap Tuhan yang bisa jadi sulit diterima pembaca Islam konservatif.

Jika kamu ingin membeli buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!, bisa membelinya di sini.

You May Also Like

0 komentar