Featured

Kesempatan Berharga Bisa Magang di National Geographic Indonesia

by - Juni 28, 2020


Sejak kecil, orangtua saya adalah yang paling berperan dalam memberikan pengetahuan selama hidup. Sejak kecil pun, kedua orangtua saya seringkali mengajak ke Gramedia untuk membeli buku-buku entah itu majalah, fiksi, hingga non-fiksi. Dan yang selalu saya beli setiap bulannya saat kecil adalah membeli majalah National Geographic Indonesia yang kemudian menjadi mimpi saya untuk berpartisipasi di dalamnya.

Mungkin sebagian anak kampus tepat saya berkuliah menganggap postingan blog ini sedikit berlebihan. Tapi sebenarnya postingan ini adalah ungkapan rasa syukur saya setelah menuntaskan tugas praktik magang. Apalagi media tempat saya magang punya nilai berharga bagi saya sendiri sejak kecil. Wajar bila ada yang menganggap berlebihan, karena di kampus saya memberikan tugas magang di tempat sesuai jurusan.

Oke, kembali ke topik. National Geographic merupakn media yang didirikan oleh sejumlah ilmuwan, salah satunya Alexander Graham Bell yang berbasis di Amerika Serikat pada 1888. Sedangkan di Indonesia berdiri pada 2005. Editor In Chiefnya dari dulu masih sama, Mas Didi (Didi Kaspi Kasim), walaupun beda ruangan kadang saya merasa senang bisa bertatap muka beberapa kali dengan orang yang saya kagumi sejak kecil.


30 April 2020, adalah hari terakhir saya magang di media yang meliput berita seputar sains, sejarah, antariksa, budaya, dan perjalanan tersebut. Suatu pengalaman yang tak terbayarkan rasanya, karena magang di tempat tersebut memanglah impian saya yang tidak bisa diduga.

Mulai dari mempelajari sejarah dunia hingga nusantara melalui dokumen-dokumen hasil penelitian, sains, angkasa, hingga ilmu mengenai virus yang disampaikan banyak ilmuwan yang menjadi narasumber saya ketika liputan. Liputan yang saya lakukan pun beberapa hasil inisiatif saya sendiri atau arahan dari editor saya, Mas Yoan (Mahandis Yoanata Thamrin).

Lantas apa sih bedanya National Geographic Indonesia dibandingkan media-media lainnya?


Letak perbedaannya adalah konten yang dimiliki memiliki fokus ragam spesifik pada penemuan-penemuan, sejarah, dan seputar alam. Berbeda dengan media lainnya yang mengangkat isu yang lebih berat seperti politik atau kriminalitas. Bagi saya topik-topik yang diangkat National Geographic Indonesia ini dikategorikan sebagai jurnalisme sains.

Menurut Secko dkk (2013), jurnalisme sains itu memiliki 4 prinsip yakni memberi literasi sanis, menjadi model kontekstual untuk permasalahan ilmiah dengan konteks yang lebih spesifik, membangun pemahaman pada orang awam tentang sains, dan mendorong partisipasi masyarkat untuk berdiskusi seputar sains. Semua prinsip ini bisa dilihat di National Geographic Indonesia, seperti memberi pemahaman kepada orang awam dengan menerjemahkan kata-kata yang sulit dimengerti karena terlalu ilmiah.


Apalagi di saat wabah virus corona, National Geographic Indonesia berperan penting lho untuk update informasi mengenai virus dan perkembangan secara sainsnya, termasuk vaksin.

Gara-gara Jurnalisme Sains dan National Geographic Indonesia pun saya dapat pemahaman yang banyak mengenai sains, sejarah, alam, destinasi wisata, dan perubahan dunia. Terutama liputan saya untuk majalah edisi Mei 2020 yang mewawancarai arkeolog Titi Nastiti dan sejarawan Peter Carey, mengenai potret perempuan yang statusnya setara dengan laki-laki di masa pra-kolonial. Liputan ini membuat pandangan saya menyadarai, bahwa kesataraan gender memang sudah mendarah daging dengan budaya kita pada masa lalu.

berswafoto dengan Peter Carey untuk liputan majalah National Geographic Indonesia
Berswafoto dengan Peter Carey untuk liputan majalah National Geographic Indonesia

Oh ya gara-gara National Geographic Indonesia juga saya memiliki kesempatan untuk dapat masuk ke Indofest 2020 secara cuma-cuma. Tentunya, saya memiliki tugas untuk liputan pada saat itu untuk mengusung tema #SayaPejalanBijak yang jadi kampanye National Geographic Indonesia, dan mendapat tugas tambahan untuk menemani teman-teman marketing yang jaga booth.


booth National Geographic Indonesia di Indofest 2020
Booth National Geographic Indonesia di Indofest 2020.

Campaign #SayaPejalanBijak oleh National Geographic Indonesia di Indofest 2020
Seminar #SayaPejalanBijak di Indofest 2020.


Tapi sayang sekali, semenjak pertengahan Maret ada peraturan untuk WFH karena wabah. Saya melakukan WFH hingga akhir masa magang saya, jadi tidak ada foto-foto bersama awak redaksi untuk kenang-kenangan. Dan rasanya vibesnya kurang kalau tidak ke kantor untuk bertemu rekan-rekan di redaksi.

Pelajaran berharga untuk menjadi jurnalis di National Geographic Indonesia, jangan malas untuk mengecek kembali tulisan yang akan dimuat, dan sering-seringlah membuka jurnal penelitian dan membaca buku untuk mengasah pengetahuanmu seputar ilmu pengetahuan. 

Nah buat teman-teman yang ingin memiliki kesempatan magang di sana, jangan ragu-ragu untuk mencoba. Suasana redaksinya sangat ramah, teman-teman profesional tidak akan sungkan-sungkan untuk membantu mengarah anak magang. Dan tentunya buat kamu yang doyan minum kopi, kamu bisa seduh kopi sendiri di kantornya (tapi harus bayar seikhlasnya, lho ya).

Jadi itulah pengalaman saya dan informasi mengenai untuk bisa magang di National Geographic Indonesia. Kegiatan magang di media tersebut tidak lain sebenarnya untuk sekaligus memenuhi tugas akademik saya di Universitas Multimedia Nusantara, yang mengharuskan mahasiswanya untuk magang.

Hari ini, saya sedang mengerjakan revisi laporan magang. Doakan sukses, ya!

You May Also Like

4 komentar

  1. apakah pendaftaran magangnya masih buka?

    BalasHapus
  2. halo kak, kalo mau tanya2 lebih lanjut bisa hubungi kakak ke mana ya?

    BalasHapus
  3. Kak, info lebih lanjut tentang magang di natgeo bisa diakses dimana ya?

    BalasHapus
  4. Permisi,Kak. Apakah ada info lebih lanjut dari awal sampai bisa magang di NatGeo?

    BalasHapus