Featured

Menikmati Waktu Luang di Pulau Bahaluang

by - Juni 11, 2022

"Bang, itu lampu bensinnya sisa satu bar, tidak isi bensin dulukah?" tanya saya duduk di kursi co-driver dalam mobil minibus warna putih yang tengah membelah Pulau Selayar dari utara ke selatan.

"Tenang, kalau masih segini ke Thailand juga bisa," jawab Bang Yusran bercanda. Dia adalah pemandu kami yang menjemput di pelabuhan penyeberangan Selayar-Bira. 

Ada pom bensin milik BUMN di pulau ini, tetapi stoknya terbatas karena cepat habis karena diambil oleh bensin eceran di warung-warung. Jadi, bensinnya cukup langka dan harganya mahal. Ketika kedip-kedip bar bensin, dia langsung mengisi di salah satu warung di kota Benteng. Harga satu liternya bisa Rp15.000. Bukan main. Beruntung kami sekeluarga dua rombongan tidak jadi membawa mobil sendiri. Kami memarkirnya di Pelabuhan Bira, Bulukumba, tadi pagi.

Siang itu, dua hari setelah lebaran 2022, kami yang tiba di Bontosikuyu, bagian selatan Selayar. Selain Bang Yusran, rombongan keluarga saya naik mobil minibus warna hitam. Keduanya diparkir di dekat warung. Jalannya sempit, muat untuk dua mobil dari arah berlawanan. Padahal jalanan inilah yang menggabungkan bagian selatan dan utara pulau di pesisir barat.

Air sedang tinggi saat kami tiba. Airnya terlihat gelap karena di bawahnya langsung belantara rumput laut yang sebagian dimanfaatkan masyarakat kampung. Di sinilah salah satu masyarakat Suku Bajo yang terkenal dengan kemampuan menyelam lebih lama tinggal. Sayang, kami tidak bisa berlama-lama karena sebentar lagi air surut.

Kami berlayar menuju Pulau Bahaluang. Pulau kecil di barat daya Selayar yang langsung menghadap Laut Flores. Tidak ada pulau lagi di barat Pulau Bahaluang, kecuali beberapa kilometer lebih jauh lagi ada Kepulauan Sabalana yang secara administrasi masuk Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Eco-resort di Pulau Bahaluang. Baru ada listrik di malam hari. Tempatnya cukup sunyi dan masih jarang dikunjungi orang, selain para penyelam lokal dan mancanegara.
Eco-resort di Pulau Bahaluang. Baru ada listrik di malam hari. Tempatnya cukup sunyi dan masih jarang dikunjungi orang, selain para penyelam lokal dan mancanegara. Credit: Afkar Aristoteles Mukhaer.


Tidak sampai satu jam, kami mendarat di Pulau Bahaluang. Kami menginap di resort kayu. Ada dua rumah, kami membagi kelompok inap antara kalangan tua dan muda. Yang tua ada kedua orang tua saya, tante-tante, dan para atta (paman). Sedangkan yang muda, ada saya, adik-adik saya, dan dua sepupu, Kak Ainul dan Kiki.

Seperti pulau kecil lainnya, listrik di sini tidak bisa dinyalakan kecuali saat malam. Ada perkampungan di pulau ini yang memanfaatkan listrik dari panel surya. Saya melihat-lihat perkampungan bersama rombongan muda dan para pemandu kami.

Aktivitas para warga kampung di sini setiap siang jelang sore berkumpul di lapangan. Mereka menyalakan pengeras suara dan memutarkan lagu-lagu berbahasa Bugis dan EDM luar negeri. Sebagian warga itu menari-nari dan ada yang karaoke. Ketika kami melintas, saya dan Kak Ainul iseng saja untuk ikut menari, lalu disambut oleh mereka. Rumah-rumah pemukiman di sini sederhana, sebagian besar terbuat dari kayu, dan ada juga yang menggunakan seng.

Penduduk di pulau ini campuran. Mereka adalah keturunan orang Bugis-Makassar dari beberapa kabupaten dan Maluku. Pekerjaan mereka adalah nelayan yang mengarungi laut jauh di barat dan selatan pulau.

Di pantai timur rumah penduduk ada peninggalan sejarah yang terbengkalai berupa jangkar besar. Jangkar ini saat saya perhatikan bergaya Barat sekali, walau pemandu kami bilang itu dari kapal Tiongkok karena di sini jalur orang Tionghoa lalu-lalang di masa lalu.

Jangkar kapal di perkampungan Pulau Bahaluang. Siapakah pemiliknya? Saya berasumsi berasal dari kapal masa Hindia Belanda, walau pemandu kami menyebutnya sisa dari Jalur Rempah.
Jangkar kapal di perkampungan Pulau Bahaluang. Siapakah pemiliknya? Saya berasumsi berasal dari kapal masa Hindia Belanda, walau pemandu kami menyebutnya sisa dari Jalur Rempah. Credit: Afkar Aristoteles Mukhaer.

Saya berpendapat, para pemandu kami benar soal kapal Tionghoa ke Jawa lewat Selayar, tapi usianya sekilas lebih muda dari masa Jalur Rempah. Kemungkinan besar jangkar ini milik kapal angkatan laut Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) di masa Perang Dunia II, atau kapal muatan lainnya dari zaman Hindia Belanda.

Usianya kurang diketahui pasti karena belum ada studi belum lanjut. Jangkar ini sudah dilaporkan ke Balai Arkeologi, tetapi belum ada kelanjutan lebih jelas. Benda itu terlentang begitu saja di atas tanah dan rerumputan tanpa ada pengawasan atau pelestarian.

***

Adam, adik bungsu saya, kulitnya terbakar pagi menjelang siang itu. Saya bertanya kenapa gerangan? Bunda saya menjelaskan bahwa dia paddling kurang lebih 800 meter dari pulau kecil berisi kumpulan karang yang mati, ketika matahari sedang cerah-cerahnya. Bolak-balik, berarti sekitar satu kilometer dan dia hanya mengenakan celana!

Pulau ‘kuburan karang’ itu masih di dekat pesisir timur Pulau Bahaluang. Masalahnya, perairan di sisi timur sangat kencang arusnya, apa lagi jika tengah dan malam hari. Alirannya dari selatan ke utara pulau, terdorong dari bagian timur Pulau Selayar menuju selatan dan dayanya makin kencang ketika terjepit di celah kecil antara Selayar dan Bahaluang.

Saya dan Adam sedang paddling di perairan barat Pulau Bahaluang. Lautnya lebih tenang dibandingkan sisi timur pulau.
Saya dan Adam sedang paddling di perairan barat Pulau Bahaluang. Lautnya lebih tenang dibandingkan sisi timur pulau. Credit: Selayar Marine.

Menyelam di perbatasan antara dasar laut dan terumbu karang yang mati di perairan barat laut Pulau Bahaluang.
Menyelam di perbatasan antara dasar laut dan terumbu karang yang mati di perairan barat laut Pulau Bahaluang. Credit: Collonk.



Adam memang lebih suka aktivitas laut daripada saya yang kadang-kadang lebih molor dan bermalas-malasan. Dia bahkan bisa menyelam lebih lama dan lebih dalam daripada saya, mungkin karena saya merokok sehingga napas tidak kuat. Beberapa titik snorkeling disikatnya. Saya tentu tidak mau kalah.

Aktivitas yang bisa melibatkan keluarga besar paling-paling berenang di tepi pantai yang jernih dan masuk ke gua-gua di pantai barat Pulau Bahaluang. Sisi barat Pulau Bahaluang geologisnya lebih keras daripada sisi timur. Batu-batu karst menjorok dari daratan ke laut. Ombak laut di Barat pun lebih kencang daripada sisi timur, sehingga jika terus-terusan menerpa karst, terbentuklah berbagai gua dan lubang.

“Ada yang ulang tahun, nih,” kata Ayah saya di dalam salah satu gua. Bulan Mei itu, Bunda saya genap 50 tahun. Tentu senang untuknya bisa merayakan ulang tahun setengah abad itu di tengah liburan dan sekeluarga lengkap. Adik-adik saya terpencar karena sedang belajar di Yogyakarta. Adam saat itu sedang mempersiapkan diri masuk kampus negeri dengan belajar di tempat bimbingan belajar di Makassar.

“Semakin tua kalian, semakin sulit buat diajak kumpul-kumpul,” kata Bunda saya. “Apa lagi kalau nanti ada yang kerja atau kuliah di luar negeril. Ayah sama Bunda cuma bisa doakan, tapi sesekali Ayah sama Bunda berkunjung buat jenguk anak, dan sekaligus halan-halan,” lanjutnya cekikikan. Saya tidak tahu merespon antara sedih atau tertawa geli.

Selamat ulang tahun ke-50, Bunda. Credit: Selayar Marine.

Credit: Selayar Marine.

Malam menjelang pulang, saya bersantai di tepi pantai bersama Kak Ainul dan Ara. Ara tampak asyik sedang bersantai-santai di atas hammock. Saya dan Kak Ainul menikmati suara debur ombak yang seolah ikut menjadi instrumen lagu pantai yang kami putar lewat pengeras suara kecil.

You May Also Like

0 komentar