Featured

Yang tidak dikatakan angan saat membicarakan kenangan

by - Agustus 05, 2022

Untuk membicarakan rindu, jarak harus ditebas dengan kereta api atau moda transportasi lainnya. Foto hanya pemanis.
Untuk membicarakan rindu, jarak harus ditebas dengan kereta api atau moda transportasi lainnya. Foto hanya pemanis. (Afkar Aristoteles M)

Kertas. Sudah beribu-ribu kertas yang saya tulis. Sudah bermil-mil luasnya samudra menjadi tinta yang saya gunakan untuk menulis namanya di atas kertas. Kebiasaan itu pun tidak pernah berhenti walau sudah satu dekade rasanya kami berpisah dalam hubungan. Saya dan Naira sebenarnya unik karena kami jarang bertemu tapi kisahnya begitu membekas di hati.

Kalau boleh numpang curhat, beberapa kali sebenarnya saya mengajaknya bertemu di Jogja. Itupun tak setiap waktu karena terkadang dia tak mau pergi dengan lelaki bukan makhrom—maklum dia religius. Selain itu pula kadang saya juga punya pacar yang berusaha menggantikan dia, jadi saya pun enggan. 
"Jogja adalah kota kenangan, Ra," tulisnya di secarik kertas kecil warna kuning kepada adik perempuan saya. Di pesantren, tulis-menulis surat adalah hal yang istimewa, terutama untuk lawan jenis. Naira itu sakit saat itu sehingga jarang berbicara banyak pada orang, dan lebih sering bercerita ke adik saya. "Abang kamu sudah melekat dengan kenangan indahnya kota Jogja," lanjutnya saat adik saya mengabarkan surat itu setelah kami putus.

Tulisannya lain dibuat dalam cerita pendek yang saya rasa benar sekali isinya tentang kami:

"Jogja memang kota kenangan. Hatiku akan selalu sepi. Kenanganku telah terukir layaknya relief di kota itu. Kota Jogja. Rapi sekali hingga enggan kuambil. Jadi, kini kuberdiri dengan pedih. Tanpa kenangan. Hanya namanya yang kubawa di angan."

Naira curhat bahwa dia sudah tak tahan lagi dengan saya. Saya memang brengsek. Bahkan brengseknya diri saya yang dulu tidak bisa diampuni. Saya memilih dekat dengan perempuan lain daripada dia. Adik saya pun juga kadang-kadang bilang "cewek sebaik Mbak Naira kok disia-siain sih, Bang? Bego banget".

Kami pun berpisah jarak dan hati. Saya masih mendengar curhatnya tentang kekasihnya yang baru. Terkadang saya justru memberi wejangan agar dia tetap kuat dan langgeng bersama kekasihnya. 
Teringat dalam sebuah basa-basi Naira membagikan video cover musik Heaven yang aslinya dinyanyikan Bryan Adams. Dia bilang vokalis cover itu mirip kekasihnya. Saya hanya tersenyum. 
Perkara musik, dia memang suka mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu melow. Masih berdengung di telinga saya sampai saat ini menyanyikan Thousand years, Tuhan yang tahu kucinta kau, dan lagu lainnya. Salah satu rekamannya masih saya simpan di Line sebagai kenangan tentangnya.

Pada suatu pertemuan setelah kami pisah hubungan kami jalan-jalan keliling Kota Jogja. Di Plengkung Gading dekat Alun-Alun Kidul kami sempat beristirahat dan berfoto. Ketika dipotret, senyumnya masih semanis yang dulu, membuat saya mengira-ngira apakah kami bisa kembali lagi untuk selamanya? 
Kami berdua sudah tau jawabannya: tidak mungkin.

Saya dan Naira berada di dunia berbeda. Saya sungguh luar baik perilaku dan pandangan. Sementara ia, begitu suci lahir dan batin. Separuh hati saya terkadang melawan realita untuk berandai-andai jika saya sealim dan seperti yang dia inginkan dahulu. Masih terbayang suaranya menyanyikan Thousand years karya Christina Perry—seolah itu sumpahnya.

"I have died every day waiting for you
Darling, don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more."

Berandai-andai itu percuma. Semua telah berlalu. Tak ada yang mampu mengubah masa lalu, bahkan Tuhan sekalipun. Saya berusaha tetap realistis dan membuang kenangan bersamanya. Sialnya, sejauh apa pun saya pergi dalam perjalanan ke timur, utara, dan barat, Naira dan kenangan itu masih menghantui saya. Kadang saya begitu kesal. Dia tak bisa disalahkan—masalahnya ada pada saya.

Sempat saya tenggelam dalam harapan percuma April 2021, saat saya berkesempatan bertemu dengannya terakhir kali di Jogja. Saya senang ia bercerita bahwa dirinya mengunci hati dan tak punya rasa selama berkuliah dulu. Sepulang dari Jogja, kami berkontak-kontakan intens, sampai bertelepon seperti sediakala.

Naira sempat cerita, walau hatinya belum merasa kasmaran lagi, Juli 2021 sempatlah ia jalan-jalan dengan seorang kurir paket. Tidak, saya tidak ada masalah dengan pekerjaan itu. Masalahnya, lelaki itu adalah orang yang baru dikenalinya. Tak henti-hentinya saya heran: apakah pria itu memang baik dan tidak ada maksud buruk padanya? mengapa Naira mau berlaku demikian? Naira cuma bisa berkata bahwa dirinya siap untuk masuk jenjang pernikahan, belum lagi orang tuanya memintanya untuk mencari pasangan. Tapi haruskah dengan orang random? Saya percaya bahwa hubungan sosial untuk percintaan jarang akan berhasil, seperti aplikasi kencan. 

Beruntung dia segera meninggalkan orang itu. Tenanglah hati saya. Meski begitu, saya yang akhirnya bisa berkomunikasi dengannya seintens dulu, hati ini menaruh harap kemungkinan bersama untuk selamanya. 

Maka, saya mulai persiapkan kata-kata dalam hati. Hati saya berniat untuk bertemu kembali untuk melamarnya, walau saat itu saya masih kerja serabutan. Sebelum mengutarakan rencana berbahaya untuk mengadakan pertemuan sekali untuk selamanya, saya coba kulik dulu tentang kesiapan pencarian jodohnya. Saya beranikan diri dan meneleponnya Juli itu. Kemungkinan berhasil? Mungkin 1 banding 1.000. Pokoknya, walaupun saya tidak bisa menjanjikan dunia, alam semesta,  dan segala isinya

Kami awali dengan bincang basa-basi dan lelucon. Mendengarkan kembali curhat-curhat pekerjaan dan pertemanannya. Kemudian babak pribadinya mulai saya tanyai. "Memang tipikal lelaki yang mau kamu nikahi seperti apa?"

"Yang jelas, disukai sama bapak dan ibu," jawabnya. Saya merasa sedikit percaya diri. Soalnya saat pertemuan sebelumnya orang tuanya sempat tertarik bertemu dengan saya. Sayang, saat itu saya tidak bisa menepati pertemuan itu karena harus ke Blora. Ketika saya kembali ke Jogja, orang tuanya telah kembali ke Bontang. Ya, tetap saja, saya menaruh kemungkinan orang tuanya senang dengan saya.

"Oh, yang kayak gimana tuh?" tanya saya iseng, mencoba spesifik.

"Yang jelas bukan kamu sih, Kar." Runtuh hati saya. Runtuh pula harapan dan rencana yang saya persiapkan. "Dia bisa seperti ayahku yang taat beribadah, suka..." setelah itu kata-katanya bagai musik yang volumenya dikecilkan hingga mode bisu. Sisanya, saya hanya bisa menutup reruntuhan itu dengan pura-pura penasaran secara rapih-rapih agar ia tak tahu.

Setelah percakapan langsung itu, Naira tidak membalas percakapan di WhatsApp atau pesan langsung di Instagram. Dia memang susah dihubungi karena fokus dengan pekerjaannya, tetapi makin lama makin sulit pula membalas pesan.

Puing-puing harapan itu saya coba susun kembali untuknya. Saya mulai kumpulkan tenaga meski waktunya lama, demi menjadi seperti yang ia minta—masih ada harapan. Sulit usaha itu, karena apa yang saya pahami dan yakini adalah idealisme saya, ciri khas saya. 

Logika saya berbisik "Kamu akan linglung dengan berpindah pegangan" dan belum lagi, bukankah agama berdosa jika menjadi agamis hanya karena wanita? Saya telah dikuasai hati saya yang mencoba jadi arsitek harapan. Makinlah saya menjadi-jadi untuk rajin beribadah dan mulai mencoba menghindari paham-paham kritis. Sulit bukan main, Naira!

Hingga suatu hari di pertengahan Agustus saya melihat cerita Instagram-nya di Bandar Udara Sepinggan. Saya coba tanya "Bali ke Kalimantan, kamu?" Masih tak ada jawaban. Jawaban darinya baru muncul beberapa hari setelahnya: "Iya, Kar. Oh iya, I have something to tell you. Aku mau menikah, Kar, akhir tahun. Jadi besok ke Bontang mau lamaran. Insya Allah."

Ibarat tsunami yang menerjang. Yang pertama menyeramkan dan merusak, yang kedua makin mematikan! Runtuhlah semua puing-puing yang berusaha disusun kembali. Sebagai makhluk hidup, saya cuma bisa melakukan pertahanan yang baik: beradaptasi. Calon suaminya adalah orang yang dikenalkan lewat ta'aruf.

Nikahannya pun tiba. Harus saya akui, lelakinya terlihat mantap dan tidak akan punya maksud jahat padanya. Di satu sisi, hati saya berontak dengan bayangan-bayang keji dan sedih bagi saya. Mungkin, pipinya seempuk permen yupi, coklat kkulitnya dan manis mukanya serupa aren, dan bola matanya yang menghentikan detik berputar dinikmati oleh lelaki lain yang kini jadi suaminya.

Lemas betul saya melihat foto pernikahannya. Kebahagiaannya. Patah hati saya membuat dalam beberapa pekan tak nafsu perut menerima makanan. Dawai gitar saya pun memainkan lagu-lagu sendu seperti Katty Perry - The One That Got Away. 

"In another life
I would be your man
We keep all our promises
Be us against the world."

Ya, Naira adalah The one that got away. Saya merangkai sejuta kalimat yang dimulai dengan kata "andai" untuk mengingatnya, seperti "Andai saya tidak sebego itu di masa lalu", "Andai waktu bisa diputar", "Andai dia mau menunggu saya.". Yah, mungkin kami di semesta lain sedang bersama, sedang pusing membayar tagihan rumah tangga yang merepotkan. Saya harus tersenyum atas nasib saya yang sekarang, yah walau pedih sih.

Saya kini sudah merelakannya memasuki babak baru dalam hidup bersama laki-laki selain saya. Di sisi lain, saya masih berjuang untuk memaafkan diri saya di masa lalu yang menyakitinya setelah beribu-ribu kebaikannya. Jadi, jika ada perempuan di sana yang mungkin diam-diam jatuh hati pada saya—walau saya tidak tahu ada atau tidaknya—tolong tunggu saya untuk sembuh, atua boleh kiranya membantu saya sembuh. Saya tidak mau lagi dikejar-kejar waktu, baik dari masa lalu, masa kini, atau masa mendatang. Tak mau pula lagi saya menyakiti orang yang mencintai saya.

You May Also Like

0 komentar