Featured

Di Balik Liputan: Menyaksikan Festival Byak-Karon Perdana di Papua Barat Daya

by - Mei 17, 2023

Tarian, nyanyian, dan musik tifa oleh salah satu keret di dekat lokasi Festival Munara Beba.

Inilah perjalanan perdana saya mengunjungi Bumi Cenderawasih. Saya tiba di Bandar Udara Domine Eduard Osok Selasa pagi, 21 Maret 2023. Perasaan saya begitu gembira karena bisa menapakkan kaki di Papua, walau perjalanan pagi itu singkat hanya dari bandara ke Hotel Aston yang berada di sekitar seberangnya.

Perjalanan kali ini dalam rangka liputan National Geographic Indonesia bersama YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara) untuk Festival Munara Beba Byak-Karon di Sausapor dan Werur, Kabupaten Tambrauw. YKAN tidak hanya mengundang kami, tetapi juga media lainnya seperti Metro TV dan Harian Kompas.

Festival Munara Beba pertama kalinya diadakan oleh masyarakat adat Biak-Karon untuk mengingat kembali istiadat nenek moyangnya. Masyarakat adat Biak-Karon bisa ada di Tambrauw merupakan cerita panjang di masa lalu. Mereka dikenal sebagai suku yang sering melakukan pelayaran dengan perahu kecil dari Pulau Biak dan Numfor.

Festival ini berlangsung antara 22— 25 Maret 2023. Pada puncaknya, di hari terakhir, mereka akan melakukan upacara tutup sasi. Tutup sasi atau dalam bahasa Biak "sasisen" adalah kegiatan untuk menutup akses bagi siapa saja yang ingin mengambil biota yang dilindungi di laut. Tujuannya, agar limpahan biota laut melimpah dan tidak punah akibat dieksploitasi manusia. Masyarakat masih boleh mengambil beberapa jenis biota laut, tetapi dengan syarat pada masa di mana sasisen dibuka.

Sejujurnya juga, ini adalah festival budaya pertama yang saya ikuti. Sejak dari dulu rasanya ingin mengikuti festival macam ini seperti Festival Lembah Baliem atau Dieng Culture Festival. Sayangnya, saya kerap terkendala uang atau waktu. Mengikuti rangkaian Festival Budaya Munara Beba ini benar-benar sangat berkesan bagi saya. 

Tulisan blog ini saya tujukan untuk menceritakan sisi di balik layar dari liputan. Tidak ada banyak data atau hal yang mendalam lainnya, karena telah saya tuliskan dalam hasil penugasan. Sudut pandangnya pun murni dari saya. 

Ada beberapa kritik untuk festival perdana ini. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan, tetapi justru berharap Festival Budaya Munara Beba Byak-Karon akan lebih baik lagi kelak. Saya bahkan berharap, jika kritikan yang saya tulis ini menjadi masukkan oleh penyelenggara, pagelarannya bisa lebih bergengsi dari Festival Lembah Baliem atau Dieng Culture Festival. Amin. 

***

Perjalanan menuju Tambrauw langsung dilaksanakan siang hari dengan memakan waktu sekitar 6-7 jam. Seperti perjalanan darat umumnya di Papua, perlu mobil besar (4 WD) karena jalanannya tidak mulus. "Ini masih mending," kata Mas Didi Kasim, Editor In Chief saya "dulu pas ke sini—kalau enggak salah 2020 ya, Rick?—jalanannya enggak beraspal begini." Mas Ricky Martin, videografer kami mengangguk setuju.

Jalanan yang kami lalui di beberapa bagian sudah beraspal. Bahkan, aspalnya sudah cocok untuk bagi mobil sekelas Avanza, Xenia, dan Brio, untuk melintas. Akan tetapi, jalanan yang belum jadi masih berupa pasir berbatu atau tanah yang terkadang bisa berbahaya jika hujan turun.

Supir kami adalah Bang Hendra. Ia mengatakan bahwa pembangunan jalanan ini gencar dilakukan pada 2021—2022. Meski dia orang Bugis Bulukumba, dia sudah lama menjadi supir untuk perjalanan Sorong—Tambrauw. Umumnya jasa transportasi mempekerjakan orang Bugis. Setiap tikungan tajam, Hendra tahu harus bergerak seperti apa. Begitu juga supir-supir lainnya yang membawa rombongan media undangan YKAN.

Singkatnya, saya tiba di Sausapor sekitar pukul tujuh malam. Kami bermalam di penginapan besar miliki mantan bupati Tambrauw di pesisir. Saya tidur bersama fotografer lepas yang dipekerjakan kantor untuk liputan ini, Bang Garry Lotulung. Dia punya portofolio fotografi jurnalistik yang hebat, dipublikasikan di berbagai media luar negeri. Malam itu, kami berdua belum bisa tidur dan lebih asyik bertukar cerita pengalaman.

***

NatGeo disambut, coy! (Afkar Aristoteles)
NatGeo disambut, coy! (Afkar Aristoteles)


Menurut rundown, pembukaan seharusnya dimulai dari pagi di pesisir Werur. Namun, saat kami dan rombongan media dan YKAN dari Jakarta tiba, semuanya masih dalam persiapan. Jadwal ngaret ini terjadi di setiap rangkaian acara hingga hari terakhir mereka mengadakan tutup sasisen.

Pada saat menunggu inilah, saya dan Bang Garry berkeliling kampung Werur. Kami berjumpa dengan Yonathan Yappen, dia adalah ketua panitia festival sekaligus tetua keret (marga) Yappen. Dia sedang disibukkan mengurus beberapa hal bersama keluarganya, tidak jauh dari tempat festival.

Banyak yang ia sampaikan perkara festival dan adat Biak Karon ini saat kami berbincang. Aktivitas yang saat ini ia dan keluarga dan keretnya lakukan adalah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk disuguhkan untuk para tamu. Makanan itu nantinya disajikan di stan masing-masing keret yang tersedia di sekitar panggung.

Karena masing-masing keret masih sibuk dan kebutuhan foto aktivitas persiapan sudah terpenuhi, kami pun kembali ke tempat kumpul yang lainnya di depan panggung. 

Ada Morgan Freeman, coy! (Afkar Aristoteles)

Setiap jalan kaki di pesisir Werur, saya selalu terpana melihat laut. Pemandangannya indah dengan dua pulau beberapa kilometer dari pesisir. Lautnya biru dan tenang, tetapi ketika pasang ombaknya terbentur-bentur menabrak tanggul pencegah abrasi. Saya terkagum-kagum karena inilah pertama kalinya saya melihat secara langsung Samudera Pasifik.

Saya juga terkagum bahwa warga Werur memiliki stasiun radio lokal sendiri. Pusat siarannya ada di seberang panggung, dan lebih mirip seperti pendopo. Hofni Padwa adalah satu-satunya penyiar di sini. Sosoknya mirip dengan Morgan Freeman, dengan suaranya yang teduh untuk didengar. Selama festival, ia menyiarkan langsung dari sini untuk masyarakat sekitar Werur Raya.

Saat asyik melihat Pak Morgan Freeman sedang siap-siap siaran, tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara gaduh dari sisi lain tempat festival, tempat mobil rombongan kami parkir. Rupanya, salah satu keret memulai pawai dengan pakaian adat, diikuti oleh tiap-tiap keluarga yang termasuk di dalamnya. Mereka mengitari Werur dari lokasi festival sampai gereja.


Keret Mirino bersiap untuk mengitari Kampung Werur sebagai bagian dari awal pembukaan Festival Munara Beba.

Setelah itu berangsur-angsur keret-keret lainnya juga demikian. Mereka memukul-mukul tifa dan bernyanyi dalam bahasa Biak Karon. Para pemukul tifa berjalan sambil menari-nari. Seluruh warga Werur pun berkumpul menyaksikan pawai ini di sepanjang rute.

"Keret... Paraibabo!" seru MC yang katanya bernama Yunus. Suaranya mirip Indra Bekti dan lakunya yang melambai. Dia memanggil satu-satu rombongan keret untuk tampil ke depan panggung festival untuk memperkenalkan diri.

Anak muda dari beberapa tempat di Tambrauw melakukan tarian yang menceritakan sejarah asal-usul masyarakat Biak-Karon. Latihan yang mereka lakukan hanya sepuluh hari, tetapi koreografi yang mereka tampilkan begitu memukau (Afkar Aristoteles Mukhaer).
Anak muda dari beberapa tempat di Tambrauw melakukan tarian yang menceritakan sejarah asal-usul masyarakat Biak-Karon. Latihan yang mereka lakukan hanya sepuluh hari, tetapi koreografi yang mereka tampilkan begitu memukau (Afkar Aristoteles Mukhaer).

Setelah itu, Harold Maran, pendeta kampung, di atas panggung membacakan sejarah Biak.-Karon Anda bisa membacanya di artikel yang saya tuliskan di National Geographic. Beberapa anak muda dari seluruh Tambrauw selanjutnya menari tarian daerah, seperti yang Anda lihat di foto kedua artikel tersebut. Tariannya menceritakan tentang asal-usul masyarakat Biak Karon yang diceritakan Pendeta Harold.

Sambutan-sambutan panjang dan tidak penting dikumandangkan dari sore hingga malam. Lembaga-lembaga itu, seperti perwakilan Kementerian Pariwisata, lebih suka berpidato mengajari, seolah masyarakat Werur tidak punya pemahaman. Padahal, saya yakin, anak-anak muda mereka punya wawasan luas tentang dunia pariwisata dan mengelola. Masyarakat juga terlihat punya kreasinya di beberapa stan, seperti pengolahan bahan herbal bahkan komunitas literasi.

Stan yang memamerkan kelompok usaha Werur Yaf Kayam yang didampingi oleh YKAN (Afkar Aristoteles)
Stan yang memamerkan kelompok usaha Werur Yaf Kayam yang didampingi oleh YKAN (Afkar Aristoteles)

Stan yang memamerkan kelompok usaha Werur Yaf Kayam yang didampingi oleh YKAN (Afkar Aristoteles)
Stan yang memamerkan kelompok usaha Werur Yaf Kayam yang didampingi oleh YKAN (Afkar Aristoteles)

Stan tempat masyarakat Werur yang didampingi YKAN dan hasil pengembangan makanan dari masing-masing keret (Afkar Aristoteles)
Stan tempat masyarakat Werur yang didampingi YKAN dan hasil pengembangan makanan dari masing-masing keret (Afkar Aristoteles)

Yang paling unik, ketika ada waktu jeda, Yunus memanggil dua Putri Indonesia Papua Barat. Salah satunya yang paling tua menggunakan selempang bertuliskan "Putri Papua Barat 2019". Ada yang aneh di mata saya, kulit perempuan ini cerah. Ketimbang seperti orang Papua pada umumnya, dia justru lebih mirip orang Maluku campuran Jogja.

Saya telisik, ternyata memang benar, perempuan ini bukan OAP (Orang Asli Papua). Masalah Putri Indonesia yang mewakili setiap daerah memang ruwet. Namun, yang paling menyebalkan adalah ketika ia harus tampil cat walk di depan panggung. Padahal bagian ini tidak ada di rundown acara yang saya terima. 

Saya hanya geli melihatnya. Bagaimana tidak? Perempuan ini dilihat banyak warga kampung yang berkumpul persis di depan panggung. Ia mondar-mandir catwalk seolah mempertontonkan bahwa standar kecantikan adalah seperti dirinya, berkulit cerah dan tidak berfitur wajah Melanesia seperti orang Papua. Secara semiotika, seolah agar perempuan cantik harus punya fisik standar seperti non-OAP.

Atas kegelian itu, saya putuskan untuk berkeliling bersama Bang Garry. Kami mendatangi tanggul pesisir yang menjadi tempat anak-anak muda yang tadi tampil menari. Bang Garry memotret mereka, dan saya mewawancarai mereka tentang masa depan tradisi. 

Akhirnya, bagian yang meriah diselenggarakan juga dari panggung festival sebagai penghujung acara pembukaan. Band penampil yang diundang memainkan musik lokal yang iramanya asyik. Masyarakat Werur menari dengan berjalan berputar seperti tawaf yang melawan arah jarum jam.

Ketimbang bosan, saya ingin ikut berdansa dengan warga. Saya ajak teman-teman, tetapi hanya Mbak Gadis, host program Journey Metro TV dan Mbak Intan dari Harian Kompas yang mau ikut.   Kami perlahan-lahan masuk dalam putaran dari sisi terluar, kemudian perlahan-lahan masuk ke bagian dalam.

Bang Garry (kiri) menunjukkan hasil potretnya kepada anak-anak muda yang terlibat dalam tarian sejarah Biak-Karon. (Afkar Aristoteles).

Di dalam putaran itu saya terpisah, mungkin karena tempo jalan kami berbeda. Sesekali saya masuk ke pusat dan menari bebas bersama anak-anak muda. Mereka menyambut saya, ditantang menari, saling memuji tarian, dan terkadang sekadar menyalakan api rokok.

Ketika saya keluar dari inti putaran, saya justru digandeng oleh mama-mama. Jalan mereka kencang, sehingga saya tidak kuasa mengikuti. Terlebih, setelah adu tarian di pusat tadi. Beruntung, Mbak Adit dari YKAN mengajak pulang kembali ke Sausapor bersama rombongan. Mbak Gadis dan Mbak Intan sudah duluan. Saya berpisah dengan para mama itu dengan lelah, tetapi bahagia. Tarian ini membuat saya dekat dengan mereka, dan merayakan kebersamaan.

Memantau takjil bersama rekan-rekan Metro TV (Nugroho Arif P)


***
Festival di hari kedua lebih banyak diisi dengan lomba-lomba seperti pidato dalam bahasa Biak Karon, menyanyikan lomba berbahasa Biak Karon, dan sebagianya yang berhubungan dengan pelestarian budaya. 

Tidak banyak yang kami lakukan saat lomba, sehingga kami beralih untuk jalan-jalan ke tempat peninggalan Perang Dunia II di Es Mambo. Anda bisa membaca tentang peziarahan kami ke sisa-sisa kecamuk Sekutu vs. Jepang di artikel saya di sini, atau menyaksikan videonya di bawah ini.


Longkap ke hari selanjutnya, kami datangi lomba yang paling seru dalam Festival Munara Beba: lomba balap perahu antar-keret di Sausapor. Perahu-perahu mereka kecil, muat untuk 12 orang. 

Perahu-perahu ini punya nilai filosofis dari setiap keret, karena berhubungan dengan kebiasaan lama mereka sebagai orang Biak, dan juga kendaraan saat mereka mulai tersebar luas di sepanjang Papua Barat hingga Maluku Utara.

Hiasan-hiasan yang mengandung filosofis yang mereka tambahkan pada perahu antara lain adalah kepala yang diyakini adalah leluhur, peralatan perang seperti tombak dan panah, buah pinang, sampai bulu dari babi. Mereka juga mengecat perahu dengan motif yang diyakini sudah diterapkan pada perahu leluhurnya masing-masing.

Persiapan perahu oleh salah satu keret untuk lomba di Sausapor (Afkar Aristoteles).

Karena jadwalnya yang ngaret, perlombaan justru berlangsung saat laut surut. Hal ini membuat perahu dari dua keret berisiko kandas. Panitia pun terpaksa membuat arena lebih jauh lagi dari bibir pantai.

Perlombaan pun berlangsung seru. Masing-masing perahu harus bolak-balik satu kali untuk bisa memenangkan lomba. Keramaian ini tidak dikontrol oleh pihak penyelenggara, sehingga para penonton menerobos batas tempat media bisa mengambil gambar. Juru video dan foto seperti Mas Ricky, Bang Garry, Mbak Intan, dan videografer Metro TV Mas Wildan dan Mas Rudi kesulitan karena ini.

Kami mungkin bisa memaklumi karena festival ini perdana. Namun hasil produksi adalah hasil produksi. Mereka harus menggaruk kepala saat pascaproduksi.

omba balap perahu antar-keret di Sausapor berlangsung sengit. Inilah babak terseru dalam rangkaian Festival Munara Beba Byak-Karon yang harus disaksikan pengunjung. (Afkar Aristoteles)
Lomba balap perahu antar-keret di Sausapor berlangsung sengit. Inilah babak terseru dalam rangkaian Festival Munara Beba Byak-Karon yang harus disaksikan pengunjung. (Afkar Aristoteles)

Perahu keret Mirino bernama Manswan menang dalam perlombaan ini. Tetapi para anggota keret di sekitar pesisir dan pendukung lainnya tetap heboh, walau perahu yang diandalkan kalah. Seolah, tidak ada yang kalah dan menang dalam ajang ini.

Saya dan Mbak Intan pada saat sebelum dan setelah lomba dilaksanakan, tentunya tidak lupa untuk mengambil kesempatan untuk wawancara. Misalnya dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Papua Barat Daya yang baru saja terbentuk setelah pemekaran dari Papua Barat.

Afkar lagi kerja, coy! Saya dan Mbak Intan sedang wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Papua Barat Daya (Adithyasari).

Namun, dari pejabat-pejabat yang kami wawancarai sepertinya tidak ada yang masuk dari artikel. Saya telah membaca artikel festival yang ditulis Mbak Intan, pejabat-pejabat yang kami wawancara tidak dimuat. Begitu juga saya di dalam artikel daring dan yang nantinya diterbitkan di majalah Juli 2023. Pasalnya, beberapa pendapat cenderung normatif dan jika berbicara data, bisa kami temukan di internet.

***

Tibalah kami di hari terakhir yang merupakan tutup sasisen perdana bagi masyarakat adat Biak-Karon. Upacara adat itu berlangsung di Pulau Dua di utara Werur. Ini adalah perdananya bagi saya bisa ikut berlayar di Samudera Pasifik.

Pulau Dua dan Pulau Satu di sebelahnya punya nilai sejarah pada masa Perang Dunia II. Sekutu pernah memanfaatkannya sebagai basis pertahanan ketika hendak menyerang Jepang yang tengah bercokol di Papua. Selain itu, di dasar laut sekitarnya ada kapal karam yang menjadi daya tarik untuk penyelaman. Kapal karam pun menjadi rumah bagi para ikan untuk tinggal dan membantu pertumbuhan karang yang penting bagi ekosistem.

Bagi orang Biak-Karon, pulau ini adalah tempat persinggahan mereka sebelum menetap di Werur dan Sausapor atau melanjutkan perjalanan ke Raja Ampat dan Maluku Utara. Warga kampung di Werur dewasa ini menggunakannya sebagai tempat persinggahan untuk menangkap ikan. Mereka juga percaya bahwa Pulau Dua ada penghuninya sejenis suanggi yang menculik anak-anak, jika tidak tidur lelap malam hari.

Pulau Satu dataran utama Papua dari Pulau Dua. Di masa silam, tempat ini adalah basis pertahanan Sekutu hendak menggempur Jepang saat bercokol di dataran Papua. (Afkar Aristoteles)
Pulau Satu dataran utama Papua dari Pulau Dua. Di masa silam, tempat ini adalah basis pertahanan Sekutu hendak menggempur Jepang saat bercokol di dataran Papua. (Afkar Aristoteles)

Perihal upacara tutup sasisen, lagi-lagi ngaret. Menurut jadwal, upacara semestinya dilakukan pagi hari. Nyatanya, upacara justru berlangsung siang hari. Hans Mambrasar, salah satu tetua adat Biak-Karon yang sangat dihormati langsung menegaskan masyarakatnya untuk segera melakukan upacara. 

Pihak adat memahami bahwa kami tidak bisa berlama-lama, karena harus kembali ke Sorong sebelum hari gelap. Ada salah satu keret yang datang paling belakangan. Saya dengar-dengar, keterlambatan mereka berhubungan dengan hasil lomba perahu kemarin. Tampaknya lomba kemarin dilaksanakan begitu serius, sampai pada akhirnya mengena di hati mereka jika ada yang kalah atau menang.

Saat upacara tutup sasisen, para ketua keret menggunakan pakaian adat Biak, dengan bagian atasan manik-manik cantik, bulu, dan rajutan. Bagian tubuh, mereka bertelanjang dada, tetapi dipenuhi dengan kalung manik-manik yang dirajut dan noken. Bagian bawahnya bersarung kain tenun atau kain biasa berwarna merah. 

Mereka berkumpul bersama pendeta Harold. Upacara dimulai dari doa-doa dan puji nyanyian kepada Tuhan menurut agama Kristen. 

Harold bilang kepada saya saat wawancara, kalau pada awalnya doa-doa ini di masa lalu dilakukan oleh pendeta agama lokal. Masyarakat akan berdoa kepada roh yang mendiami laut dan alam sekitar lainnya demi keberkatan. Akan tetapi, kepercayaan lama ini ditinggalkan sejak Kristen disebarkan, sehingga upacara kali ini pun harus dilaksanakan secara Kristen pula.

Pendeta Harold Maran melakukan doa pemberkatan untuk upacara penutupan sasisen di Pulau Dua bersama para ketua Keret. (Afkar Aristoteles)
Pendeta Harold Maran melakukan doa pemberkatan untuk upacara penutupan sasisen di Pulau Dua bersama para ketua Keret. (Afkar Aristoteles)



Pemasangan papan 'Lokasi Sasisen' menandakan kawasan 12.000 hektare sekitar Werur Raya dilarang untuk diambil pada kurun waktu tertentu. Acara penutupan sasisen ini adalah puncak dan penghujung dari rangkaian Festival Munara Beba Byak-Karon. (Afkar Aristoteles)
Pemasangan papan 'Lokasi Sasisen' menandakan kawasan 12.000 hektare sekitar Werur Raya dilarang untuk diambil pada kurun waktu tertentu. Acara penutupan sasisen ini adalah puncak dan penghujung dari rangkaian Festival Munara Beba Byak-Karon. (Afkar Aristoteles)

Setelah doa-doa dilaksanakan, mereka meotong bambu untuk kemudian ditancapkan bersama papan penunjuk lokasi sasien. Mereka meminta agar Tuhan memberkati alam laut dan melindunginya dari segala ancaman seperti over fishing atau perusakan terumbu karang.

Dengan tertancapnya papan bertulis "lokasi sasisen" di Pulau Dua dan Pulau Satu, secara resmi area laut sekitar 12.000 hektare di utara Werur ditutup bagi siapapun. Hanya warga yang boleh mengambilnya ketika sasisen dibuka pada akhir tahun. Tentunya, mereka berharap dengan sasisen ini hasil laut melimpah ruah, sehingga masyarakat bisa menjualnya ke kota.

You May Also Like

1 komentar

  1. Menariiiik banget mas 👍. Dari dulu aku tuh pengeeen banget ke Papua. Apalagi kalo bisa melihat festival2 nya. Padahal dulu papa kerja di oil company sana beberapa tahun, tapi saya malah belum tertarik datang.

    Upacara tutup Sasi ini bagus juga yaaa, Krn tujuannya melindungi biota laut. Apalagi Papua terkenal keindahan bawah lautnya. Semoga dengan adanya festival ini, bener2 terjaga sih, dan hanya mengambil secukupnya saat sudah dibuka lagi.

    Memang agak kocak pas baca part putri Papua Barat 2019 mengadakan catwalk 😅. Aku ga pernah ikutin berita ttg beauty pageant. Jadi tadi browsing dulu seperti apa putri Papua Barat 2019. Memang sih kulitnya ga seperti OAP. Dari dulu ga setuju Ama kontes begini, yg sepertinya tetep aja bias dalam menentukan definisi cantik 😁

    BalasHapus