Catatan Resign: Kesan Jadi Staf NatGeo Indonesia

Jajaran tim National Geographic Indonesia. Terima kasih sudah menjadi teman sekaligus guru dalam hidup saya.


Waktu yang dinanti, akhirnya datang juga. Setelah mengabdi selama dua tahun, saya resign dari perkerjaan saya sebagai jurnalis staf di National Geographic Indonesia. Akan tetapi, dengan berakhirnya masa kontrak, bukan berarti akhir dari segalanya sebagai jurnalis, terutama media kotak kuning ini. Ke depannya, saya masih menjadi kontributor.

Sejujurnya, berat bagi saya meninggalkan media ini karena semuanya bermula dari sini, Meski saya berkuliah jurnalistik sewaktu kuliah, ilmu yang saya dapatkan justru sewaktu bekerja. Keterlibatan saya di National Geographic Indonesia dimulai sejak magang pada 2020, dilanjutkan dengan jabatan staf setelah lulus kuliah awal 2022.

Kenangan bekerja sebagai orang dalam kantor, membuat saya berkesempatan bertemu dengan banyak orang hebat. Mulai dari kalangan redaksi sendiri, orang kantor yang mengajarkan ilmu ini-itu dan kesempatan berkarya, sampai narasumber yang punya cerita atau latar pekerjaan yang mengagumkan.

Di dalam jajaran redaksi, Managing Editor Mahandis Yoanata atau biasa disapa Yoan, adalah orang pertama yang memberi kesempatan saya ketika mengajukan magang dan staf. Bagi saya, beliau adalah guru jurnalistik yang paling berpengaruh mengenai tata tulisan yang baik dan benar. Anda dapat melihat perkembangan cara penulisan saya yang sangat kacau pada 2020, dan prosesnya sampai hari ini.

Sejak tahun lalu, mulailah perlahan-lahan saya juga belajar merambah pada teknik penyuntingan tulisan. Bermula untuk artikel web, sampai akhirnya pada proses penyuntingan artikel dan tata letaknya di majalah. Saya pun mulai belajar jurnalisme sastrawi dari beliau, yang akar rujukan pelajarannya dari buku Andreas Harsono.

Selanjutnya, rasa terima kasih saya ungkapkan kepada Editor in Chief Didi Kaspi Kasim yang biasa dipanggil “Abah”. Saya teringat ketika pertama kali bertemu dengan beliau sebagai jurnalis baru di medianya pada suatu hari di Bentara Budaya Jakarta. Beliau langsung menanyakan, “ada ide proyek apa yang bisa digarap?”.

Saat itu, saya masih bocah ingusan yang hanya punya ide mengawang-awang. Seiring waktu, ragam ide tumbuh di benak saya. Hanya saja, tidak semua bisa terealisasikan karena adanya “batasan” yang tidak bisa saya jelaskan di sini.

Sampai hari ini, Abah masih menganggap saya “belum lulus dari National Geographic”. Alasannya, saya belum tunai untuk membuat karya yang dapat memberi dampak bagi orang banyak.

Memang sedikit nyes, apa lagi Abah kalau ngomong memang nyablak. Namun, perkataan itu yang justru membuat saya, sebagai jurnalis, harus mengintrospeksi diri. Pasalnya, bekerja sebagai jurnalis bukan hanya sekadar mewartakan, tetapi harus memberi premis yang solutif atas permasalahan. Alasan itulah yang membuat saya masih akan terus terlibat di dunia jurnalisme, entah di media mana pun nantinya saya berkontribusi.

Abah adalah guru bagi saya. Dia memberikan wawasan tentang isu lingkungan dan masyarakat adat. Hal yang paling membekas dalam benak saya adalah tentang keberdayaan masyarakat adat dalam upaya perlindungan ekosistem. Masyarakat adat menyimpan ilmu pengetahuan yang sebenarnya sama atau lebih canggih dari konsep SDG modern.

Jajaran redaksi dan video National Geographic Indonesia. (Atas, kiri-kanan) Tomo, saya, Mas Yoan, Mbak Elly, Abah, Silvi, Mas Heri, Mas Boy, Mas Sony, Bang Ijul. (Bawah, kiri-kanan) Donny, Aga, Uda Ricky.

Kemudian ada videografer Ricky Martin dan fotografer Donny Fernando. Saya mulai dari Uda Ricky yang dulunya bekerja di Bobo—satu unit di Gramedia Majalah (sekarang Grid Network) yang di dalamnya juga ada National Geographic Indonesia. Beliau ternyata pernah menjadi fotografer di Operet Bobo Pika Pika Kuro (2003). Saya pernah hadir di sana sebagai anak TK. Ketika sudah kerja, saya nostalgia tentang operet itu pada Uda Ricky. Dia tersontak bahwa anak kecil yang pernah hadir di dalam penugasannya, kini menjadi rekan kerjanya.

Alih-alih, menganggapnya sebagai “paman” karena perbedaan usia, Uda Ricky saya anggap sebagai teman sumber segala ilmu. Dia mengajarkan saya teknik dan konsep video yang menarik. Sebuah keberuntungan juga, saya bisa inframe sebagai host di beberapa National Geographic Indonesia berkat Uda Ricky yang doyan bereksperimen konsep.

Berikutnya Donny yang terpaut 3 tahun dan senior di kampus saya. Setiap penugasan yang berhari-hari, saya akan sekamar dengannya. Penugasan pertama saya, sempat clash dengan Donny gara-gara kebiasaan mendengkur saya, sampai akhirnya kita punya jalan tengah mengatasi hal ini.

Saya berterima kasih kepada Donny. Pasalnya, dia adalah salah satu orang yang memantik saya untuk lanjut S2. Donny sendiri mengambil S2 di UMN, dan sering memberi kilasan apa yang ia tangkap saat kuliah kepada saya. Kilasan-kilasan itu membuat saya terhubung kembali dengan dunia akademik yang saya sedikit jauh setelah lulus S1.

Masih ada banyak orang-orang kantor yang ingin saya ucapkan terima kasih dalam tulisan blog yang amburadul ini. Cuma, kalau kebanyakan, jadi semakin tidak enak dibaca. Ada Mas Heri; Silvia Hong—yang juga teman seangkatan saya di UMN; Tomo—jurnalis selain saya; anak-anak tim video lainnya seperti Aga, Bang Ijul, dan Bang Ijal yang selalu ada-ada saja; teman-teman Saya Pilih Bumi, terutama Ramon Tungka dan almarhum Diky Wahyudi Lubis. Kalian semua membekas dalam benak saya, baik dari segi sosial maupun pemberi pengetahuan yang melimpah.

Penugasan terakhir ke Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Nabire, Papua Tengah bersama Uda Ricky dan Aga. Penugasan ini adalah penugasan ke Papua kedua bagi saya, dan mempertemukan saya dengan hiu paus.


Hari ini, rasa ingin tahu saya masih belum selesai. Saya masih mau belajar banyak hal. Sayangnya, pembelajaran yang akan saya lakoni ini akan memakan waktu banyak di ruang kelas dan berada di tempat yang sedikit jauh. Saya akan melanjutkan studi saya dengan mengambil Program Magister Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM. Sedikit aneh nama program studinya bagi banyak orang, namun sebenarnya pembahasannya yang sangat menarik.

Pengalaman di National Geographic Indonesia sendirilah yang membuat saya tertarik untuk mengambil studi ini. Saya selalu diutus oleh Mas Yoan untuk mengulik hasil temuan CRCS dan ICRS yang menarik dan berhubungan dengan tema National Geographic. Perlahan-lahan, saya larut pada topiknya yang selalu nyentrik.

Kebetulan, saya sendiri memiliki minat yang tinggi dalam hal agama dan kebudayaan, terutama jika hal tersebut berhubungan antara manusia dan alam. Saat hendak merangkak dari SMA ke S1 pun, saya pernah hendak mengambil antropologi. Namun, tema CRCS ini merangsang kembali mengejar impian yang sempat terlupakan ini.

Ketika saya hendak mendaftar kuliah pada November tahun lalu, Abah sempat bertanya alasan mengambil jurusan ini. Dia, dengan bercanda, menduga saya "hanya untuk mengasah keingintahuan saja". 

Dugaannya benar, tetapi saya punya misi: Ingin membahas menyingkap kearifan lokal dan keyakinan yang ada demi keberlangsungan planet ini. Kearifan lokal ini butuh dikaji, yang diharapkan dapat dipertimbangkan oleh pemerintah atau pegiat untuk mengambil perspektifnya.

Abah pernah menahan saya untuk tetap di National Geographic Indonesia. Padahal dari yang saya dengar dari banyak teman sekantor, Abah tidak suka menahan-nahan orang untuk resign. Mungkin alasannya tenaga saya masih dibutuhkan dan "lo belum lulus dari NatGeo".

Yang jelas, saya masih akan berkontribusi untuk NatGeo Indonesia, walau sudah bukan menjadi bagian internalnya. Misi saya pun masih sejalan dengan media yang menjadi kampus kedua saya, yakni untuk menyingkap gagasan-gagasan perubahan untuk alam planet ini.

Akhir kata, sekian dari tulisan blog yang centang perenang ini. Per hari ini, saya mengubah status di LinkedIn dengan “Open to Work”, dengan harapan ada pihak lain juga yang akan memberi petulangan menantang, sembari saya kuliah.
 

Komentar

Postingan Populer