Featured

INDONESIA TIMUR DALAM STEREOTIP MEDIA FILM

by - Juli 13, 2019

INDONESIA TIMUR DALAM STEREOTIP MEDIA FILM

Indonesia timur sering digambarkan dengan bentang alamnya yang sangat indah. Beberapa film menyoroti landmark yang tergambar sebagai tempat wisata yang harus dikunjungi. Tidak ayal, penonton film-film ini umumnya berasal dari daerah Jawa atau daerah-daerah Indonesia lainnya, yang memiliki privilege. Akibatnya tayangan-tayangan ini membujuk penontonnya untuk datang ke Indonesia timur.

Indonesia timur menurut website resmi media Indonesia Timur (indonesiatimur.com) ialah kawasan provinsi-provinsi di sebelah timur Republik Indonesia ini, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Sedangkan menurut Jules Dumont d’Urville (1832) bahwa Melanesia adalah kelompok etnis yang tinggal di pulau-pulau samudera Pasifik, dari Maluku hingga Samoa.

Namun Industri hiburan ternyata cenderung merepresentasikan dan memberikan stereotip mengenai kehadiran orang-orang timur dalam beberapa adegan dengan tanda-tanda, peran tokoh, frame gambar, dan dialog. Tentunya film sebagai media memiliki bias terhadap bentuk, konten, dan penggunaan komunikasi tertentu (McQuail, 2012).

Denias, Senandung di Atas Awan

Denias Senandung di Atas Awan

Berkaca dari film Denias, Senandung di Atas Awan (2006). Film bertema pendidikan ini berlatar belakang di Papua. Berkisahkan tentang seorang anak dari suku pedalaman Papua yang memiliki semangat sekolah pasca ibunya meninggal.

Pak Guru (Mathias Muchus) dalam film ini adalah tokoh yang diagung-agungkan oleh Denias (Albert Fakdawer) dan teman-temannya. Alasannya karena ia adalah tokoh yang bijaksana, guru, dan menjadi suri teladan. Setelah Denias kehilangan Pak Guru karena harus ke Pulau Jawa, Denias dan kawan-kawan diajari oleh seorang tentara yang disebut Maleo (Ari Sihasale), tapi tidak berlangsung lama, hingga akhirnya Denias harus ke kota dan berusaha bisa belajar di sekolah dengan bantuan seorang guru non etnis Papua, Ibu Sam (Marcella Zalianty).

Pola film Denias, mirip dengan narasi White Savior yang terjadi pada film-film barat. Di mana suatu etnis adalah keterbelakangan, dan etnis lain datang membawa ‘kebenaran’ untuk ‘memajukan’ etnis lain (Meeta Jha, 2016). Film seringkali digerakan oleh kiasan tersebut dapat menggunakan genre tertentu, entah cerita tentang seorang guru asing di sekolah urban atau seorang koboi sendirian di tanah yang eksotis (Hughey, 2014). Dalam konteks film ini, orang Papua dianggap kurang berpendidikan daripada orang dari Jawa.

Setelah Denias mendapatkan sekolah di kota, ia bertemu Angel (Pevita Pearce). Denias tertarik dengan Angel. Adegan pertemuan Denias dengan Angel ini pun disajikan dengan cantiknya orang non-Papua seperti Angel. Memberikan konsep male-gaze bahwa wanita cantik, ialah berkulit putih dan berambut lurus. Pengambilan gambarnya pun dibentuk sedemikian rupa, seperti Close Up dan Extreeme Close Up untuk menggambarkan kecantikannya. Adegan ini memberi kias, bahwa orang berkulit cerah pasti cantik, dan orang berkulit gelap terutama dari Papua tidak begitu menarik.

Susah Sinyal

Susah Sinyal

Film komedi drama yang diproduseri dan disutradarai oleh Ernest Prakasa ini memiliki konsultan komedi seorang komedian etnis Indonesia timur, Arie Kriting, tujuannya bisa jadi agar jokes yang disajikan tidak menyinggung suatu etnis, terutama tentang etnis timur.

Namun dalam adegan film itu sendiri menggambarkan representasi perbedaan yang ada. Kiara (Aurora Ribero) yang berlibur ke Sumba bersama ibunya, Ellen adalah seorang influencer digital. Ia mengeluhkan di Sumba tidak ada sinyal, hotel tak berAC, dan aliran listrik yang hanya menyala selama 12 jam. Tapi Tante Maya (Asri Welas) pemilik penginapan berdalih kalau penginapan ini bernuansa etnik, menyatu dengan alam. Tapi Kiara memandang tema etnik tersebut seperti sesuatu yang aneh, culture shock.

Film Susah Sinyal (2017) juga merepresentasikan ketimpangan sosial-ekonomi yang dimiliki orang Sumba dalam beberapa adegan. Misalnya, Ellen sering kali memberi uang tips dan reward kepada pengurus penginapan yaitu Yos (Abdur Arsyad), Melky (Arie Kriting), dan Ebi (Refal Hady). Adegan tersebut merepresentasikan bahwa orang Sumba adalah miskin dan mata duitan. Penokohan dalam film ini juga sarat akan representasi bahwa orang Sumba masih ‘bodoh’ dalam ekonomi. Bisa dilihat Tante Maya adalah pemilik penginapan, ia berasal dari Jawa, sedangkan pegawai-pegawainya orang-orang lokal Sumba. Dengan adanya usaha penginapan Tante Maya, menjadi lapangan pekerjaan bagi orang lokal untuk berpenghasilan, melalui cara bisnis dan dipimpin oleh orang non-Sumba.

Representasi Budaya


Representasi budaya sering dibuat dengan sengaja atau tidak sengaja dalam film. Film-film tersebut jelas bergenre keluarga dan mengincar anak-anak. Penyampaian makna dalam representasi yang dipaparkan secara tidak langsung mendogmatisasi anak-anak menilai etnis orang Indonesia timur. Melalui film, khalayak memperoleh informasi mengenai realitas yang terjadi di sekitar. Representasi dalam media adalah cermin realitas dan refleksi, atau biasa disebut media sebagai konstruksi realitas (Eriyanto, 2009).

Tentu akibat dari konstruksi yang dibuat media visual dapat mempengaruhi khalayaknya. Dengan adegan-adegan, pengambilan gambar, dialog, hingga tanda-tanda lainnya, bisa membuat bagaimana penonton media membuat stereotip terhadap suatu etnis. Sehingga yang diketahui khalayak tentang suatu realita disekitarnya tergantung dengan bagaimana film menggambarkannya (Eriyanto 2009).

Penggambaran dalam dua film tersebut, cenderung menggambarkan etnis timur masih primitif dan muncul dari dari pemikiran kita sendiri dan cenderung menghakimi suatu golongan etnis.
Produksi film semestinya perlu melakukan perbaikan dalam produksi cerita. Hal-hal yang harus dihindari oleh produksi film harusnya menghindari stereotip yang mempengaruhi ideologi mengenai suatu etnis. Apa yang dilakukan Ernest Prakasa pada film Susah Sinyal sudah sepatutnya ditiru dalam membuat film komedi, adanya konsultasi komedi agar tidak menyinggung. Perlu dipahami dalam adegan bagian mana yang harus diperhatikan agar terhindar dari tanda-tanda yang mempengaruhi pikiran penontonnya.

Untuk menghindari imej ketimpangan sosial-ekonomi, sebagai kontrol masyarakat media harus bisa memilah tentang modernisasi dalam budaya dan etnis. Mana yang suatu kekayaan, dan mana yang perlu dimodernisasikan untuk menghindari stereotip ekstrim.

“Kita itu menggebukan sekali modernisasi semua hal. Kita tidak melihat mana yang sebenarnya kekayaan kita, sehingga ciri khas kita terkadang malah menjadi ketertinggalan” -Arie Kriting

Referensi

You May Also Like

0 komentar