Featured

Di Balik Liputan: Perjumpaan dengan Orang-orang Hebat di Raja Ampat

by - Juli 02, 2023

Berfoto bersama tim redaksi National Geographic Indonesia, YKAN, Kelompok sasi perempuan Waifuna, dan beberapa warga Kapatcol. Terlihat Mama Almina (berdiri paling kiri) dan Yolanda (duduk, kedua dari kanan), yang menjadi tokoh sentral dalam liputan saya di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2023.

Pagi itu, 27 Maret 2023, kami―tim National Geographic Indonesia―melanjutkan perjalanan ke Raja Ampat setelah sehari sebelumnya beristirahat di Sorong. Perahu kami adalah boat putih―yang tidak saya ingat nama jenisnya, tetapi biasa dipakai oleh peneliti atau wisata privat ke Raja Ampat. Kami pun berangkat dari Pelabuhan Perikanan yang biasanya disebut sebagai Marina, karena merujuk tempat makan khas laut di dekatnya, Marina Star.

Sebelumnya, kami telah beristirahat di Sorong setelah berkegiatan di Tambrauw, seminggu sebelumnya. Di Sorong, saya sempatkan bertemu dengan teman lama saya semasa masih menjadi santri di Yogyakarta. Namun, cerita ini akan sangat panjang jika dimuat. Yang jelas, pertemuan saya dengan Umar berbagi kenangan, dan silaturrahmi dengan kawan-kawan pelestari di Sorong.

Kini, tim liputan pun berangkat ke tujuan pertama, Kapatcol. Kampung itu berada di pesisir selatan Misool, walau secara administratif masuk distrik Misool Barat. Saya menikmati pelayaran di atas perairan Raja Ampat yang cerah pagi itu. 

Saat jarak ke Pulau Misool semakin dekat, awan di atas kami mulai agak mendung, bahkan di salah satu tempat nun jauh di mata, hujan deras telah turun. Hujan itu menerpa kawasan Geosite Dafalen yang sering dikunjungi wisatawan, dan di dalamnya ada lukisan cadas. Sebagai penikmat arkeologi, saya ingin melihat lukisan cadas yang usianya ribuan tahun.

Namun, apalah daya karena kondisi langit sedang hujan, sehingga kami akan mengunjunginya di keesokan hari. Perahu kami pun terus menyisiri perairan selatan Misool dari arah timur menuju Kampung Kapatcol. 

Sebenarnya, sudah sekian kalinya National Geographic Indonesia berkunjung ke Raja Ampat. Tahun lalu, tim pernah meliput ke Kampung Aborek di Raja Ampat dengan tema pelestarian lingkungan dan sasi yang dilakukan oleh masyarakat desa. Kali ini, pendekatan kami berbeda dengan beberapa spoiler yang akan saya ceritakan di sini.

Pemandangan Kepulauan Misool, Raja Ampat dari atas boat. Bagi saya yang pertama kali ke Raja Ampat, pemandangan ini membuat saya berkhayal jauh (Afkar Aristoteles)

Di antara teman-teman redaksi dan YKAN, hanya saya dan Bang Garry yang baru pertama kali ke Raja Ampat. Pemandangan pesisir selatan Misool begitu memukau saat menuju Kapatcol, dengan pegunungan pedalaman seperti tembok raksasa yang bisa menjadi tempat prajurit berjaga di atasnya seperti di film perang. 

Ada pun pulau-pulau kecil tak berpenghuni tersebar, seperti tempat persembunyian bagi musuh yang ingin menyusup menuju benteng kerajaan. Saya pun berfantasi dengan khayalan saya jika tempat ini menjadi latar cerita film kolosal.

Kofiau di hari pertama, langsung berburu gambar alam dan aktivitas warga (Nugroho Arif P).


Tim redaksi National Geographic Indonesia dan YKAN sedang sahur di rumah singgah, kediaman kepala kampung. Ya, yang tiduran itu saya. (Nugroho Arif P).

Singkatnya, di Kapatcol inilah saya bertemu dengan salah satu tokoh perempuan perkampungan yang pernah muncul dalam dokumenter Semes7a yang disutradarai Nicholas Saputra. Namanya adalah Almina Kacili, ketua kelompok sasi perempuan Waifuna di kampung. 

Sudah banyak media yang meliput Mama Almina―begitulah beliau biasa dipanggil―walau hanya segelintir yang pernah bertemu dengannya. Maka, kali ini adalah giliran kami membahas kehebatan Mama Almina dan kelompoknya dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2023.

Wawancara dengan pendeta Yesaya Kacili di Kampung Kapatcol setelah upacara buka sasi (Nugroho Arif P).


Alasannya, ada beberapa hal yang jarang dibahas, terutama dengan sudut pandang kami yang bertemakan Perempuan untuk Perubahan. Perspektif perempuan sebagai pegiat konservasi di perkampungan jarang dibahas di media-media. Sosok Almina juga menjadi inspirasi bagi kawan kami di Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Mbak Adit, untuk membuat kaus bertuliskan "Perempuan untuk Alam".



Seperti yang saya jelaskan di dalam artikel majalah, Mama Almina dan kelompok Waifuna adalah pelopor kelompok sasi perempuan pertama. Kelompok ini melakukan sasi sejak 2010, tetapi keberadaan mereka sudah lama sebelum itu. 

"Laut seperti bayi," kata Mama Almina, sehingga harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Keinginan mereka terbentuk karena selama ini sasi hanya dipegang oleh kalangan laki-laki. Karena laki-laki kian sibuk, Mama Almina ingin perempuan unjuk gigi sebagai pelestari laut yang tidak kalah hebat.

Mama Almina, pemimpin kelompok sasi perempuan Waifuna. Mama Almina kalau senyum, manis banget. Suka tertawa dan ramah senyum. Di satu sisi, ia sangat bersemangat untuk melestarikan laut sambil memberdayakan perempuan di Kampung Kapatcol (YKAN).


Sasi adalah konsep melestarikan laut dan organisme di sekitarnya. Hasil laut seperti teripang dan lobster tidak boleh diambil ketika sasi ditutup. Sasi dibuka hanya dua kali dalam setahun, berguna untuk kebutuhan ekonomi mereka.

Setelah dibuka 28 Maret di Tanjung Geet, masyarakat kampung Kapatcol langsung mengambil hasil laut. Ada yang melaut dengan perahu kecil, ada pula yang langsung menyelam di sekitar pesisir Tanjung Geet, dan ada juga yang bersama anak-anak menangkap udang dan ikan air tawar yang meluncur di delta dari arus sungai.

Teripang hasil tangkapan warga Kapatcol setelah sasi dibuka. (Afkar Aristoteles)

Masyarakat Kapatcol tidak perlu uang banyak untuk kebutuhan pangan, karena selama ini memanfaatkan hasil kebun dan perikanan. Hasil dari sasi digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan tambahan seperti perawatan di fasilitas kesehatan dan pendidikan di sekolah.

Yolanda Kacili, cucu dari Mama Almina, termasuk yang akan merasakan manfaat sasi ini. Dia ingin memulai studi keperawatan di Sorong, sehingga memerlukan biaya untuk transportasi dan kuliah. Usianya masih muda sekitar 20 tahun, tetapi Yolanda sudah memiliki anak bayi yang menggemaskan. Ia mengatakan kepada saya bahwa setelah lulus kuliah nanti, akan kembali ke Kapatcol untuk melayani masyarakat kampung di bidang kesehatan.

Yang menarik dari Yolanda tidak hanya tekadnya untuk belajar. Dia adalah generasi muda yang ingin melanjutkan perjuangan kelompok Waifuna. Dia bisa menyelam bebas (free dive) beberapa meter di bawah laut untuk molo (bahasa Papua untuk menyelam dan menangkap biota laut), yang sangat diperlukan bagi kelompok Waifuna.

Menangkap ikan air tawar dan udang oleh anak-anak dan sebagian warga yang tidak menyelam di delta dekat Tanjung Geet. Ikan dan udang tidak dijual seperti hasil sasi, tetapi untuk kebutuhan dapur. (Afkar Aristoteles)

Saya tidak akan banyak menceritakan tentang masyarakat Kapatcol dan Waifuna di sini karena sudah tertera di artikel. Yang jelas, sudut pandang liputan saya di Kapatcol adalah tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan laut sambil melestarikannya dengan perspektif keterlibatan perempuan, adat dan agama. Gereja Kristen di sini sangat berperan, bahkan saat upacara buka sasi dilakukan, pendeta menyampaikan ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan.

Menurut saya, keterlibatan perempuan itu penting. Pasalnya, dalam struktur hierarki masyarakat tradisional, perempuan bekerja di pertanian, sementara laki-laki berburu. Hal ini membuat kaum perempuan punya pandangan tersendiri tentang pengelolaan alam, yang selama ini belum disuarakan kepada publik.

Masyarakat adat adalah kalangan yang dekat dengan alam mereka. Beberapa falsafah yang diajarkan di masing-masing keluarga, tentu berhubungan dengan alam dan mengelolanya. Cara pandang masyarakat adat berbeda dari masyarakat modern di perkotaan yang semestinya harus diangkat dan dipelajari. 

Masyarakat adat memandang, secara hierarki, manusia hidup bersama alam bukan di atasnya (manusia bukan makhluk penguasa alam), sehingga penting mengelola untuk memanfaatkan sambil melestarikan kembali, alih-alih mengeksploitasinya.

Agama sangat penting bagi kehidupan manusia. Konsep ketuhanan hadir karena dibuat oleh manusia atas pengilhamannya terhadap alam semesta, termasuk apa yang ada di bumi. Saya memang bukan orang yang taat beragama, tetapi perspektif ini perlu disuarakan karena ini menyangkut ideologi masyarakat terhadap pengelolaan alam.



Sebagai catatan, saya tidak menganggap bahwa yang tidak beragama punya perilaku imoral. Bahkan, riset telah mengungkapkan kebaikan orang tidak atau kurang beragama. Namun, nilai-nilai perlindungan lingkungan dari perspektif agama perlu disuarakan, sebagai wujud tindakan masyarakat beragama sejati.

***

Selama tiga hari di sini, tim berpuasa dan melakukan liputan. Kami biasanya buka puasa di rumah singgah, kediaman kepala kampung. 

Pada hari terakhir, kami pun menanti waktu berbuka puasa di dermaga kampung. Kami melihat bagaimana pulau-pulau kecil bertebaran di perairan dan di belakang kami ada salib besar yang menandakan sejarah penginjilan Kapatcol. Masyarakat Kapatcol begitu menyambut teman-teman yang berpuasa dengan baik, memberi kami takjil dan menemani menjelang waktu berbuka puasa.

Membawa takjil buka puasa pada hari terakhir di Kapatcol. (Nugroho Arif P).

Menanti waktu berbuka puasa di dermaga Kampung Kapatcol sambil menikmat waktu sore. Keesokan harinya, kami harus berangkat lagi menuju lokasi liputan berikutnya, Kofiau.

Pada 30 Maret, kami pun meninggalkan Kapatcol menuju tujuan lainnya, Kofiau. Pulau ini berada di sisi barat administratif Kabupaten Raja Ampat dengan daerah terjauhnya adalah Pulau Boo yang lebih dekat ke Halmahera, Maluku Utara, daripada ke Sorong. 

Sebelum pergi lebih jauh, kami sempat bersinggah di Geosite Dafalen. Sayangnya, di kawasan perairan timur Misool itu awan hujan sering muncul. Setelah kami asik melihat-lihat lukisan cadas dan bertukar cerita tentangnya, gerimis turun. Kami memutuskan untuk singgah di salah satu rumah singgah kayu di tepi pesisir salah satu pulau karang yang lama tak disinggahi.

Salah satu lukisan cadas di Geosite Dafalen yang dibuat oleh leluhur manusia modern ribuan tahun silam. Gambarnya menunjukkan beberapa hewan yang masih bisa dijumpai hari ini di sekitar perairan Raja Ampat seperti lumba-lumba. (Afkar Aristoteles)


***
Kami pun tiba di Kofiau. Secara toponimi, kofiau merujuk pada penutup kepala umat muslim, kopiah. Kopiah di sini merujuk pada penutup kepala Sultan Tidore yang pernah singgah, konon kemudian, terjatuh.

Geosite Dafalen dari rumah singgah Yamnini. (Afkar Aristoteles)

Masyarakat Kofiau percaya, penghuni pertama pulau ini adalah orang Biak yang melarikan diri dari tanah kelahirannya. Kemudian, Kesultanan Tidore antara abad ke-16 dan ke-17, menjadikan pulau ini sebagai daerah kedaulatannya. Penduduk pun memberikan upeti kepada Kesultanan Tidore sebagai bukti kedaulatan, berupa hasil bumi.

Seiring kolonialisme berkembang, pengaruh Kesultanan Tidore kian surut. Pulau ini kemudian sempat jatuh di tangan Portugis yang terbukti dengan peninggalannya berupa gereja di Kampung Deer. Semasa Kesultanan Tidore, para penduduk bebas menganut kepercayaan apa pun, termasuk kepada leluhur. Namun, setelah kuasa Portugis tiba, mereka pun menganut Nasrani.

Saya bersama teman-teman bermalam di Kampung Deer ini, tepatnya di kantor YKAN. Kampung ini memenuhi pulau kecil dengan nama yang sama di utara Kofiau. Jarak Kofiau dan Deer sangat dekat, hanya terbelah selat kecil, kurang lebih seluas Sungai Musi, tetapi airnya jernih. Di sinilah saya, Mbak Adit, Mas Ricky, dan Bang Garry berenang untuk pertama kalinya di Raja Ampat selama penugasan. Saya terkadang membantu Mas Ricky untuk mengambil gambar bawah laut untuk kebutuhan video.

Berfoto bersama Nixon Watem dan murid-murid di SD N 28 Awat.

Pak Nixon sedang mengajar Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) untuk kelas 5-6 SD. Di SD N 28 Awat, Nixon adalah satu dari dua guru tetap, sisanya guru honorer dari Sorong. (Afkar Aristoteles)


Kantor YKAN di Kofiau berupa bangunan peninggalan kolonial Belanda, jika diamati secara gaya arsitekturnya. Masyarakat sudah bergenerasi sejak lama di sini. Saya disambut oleh warga penjaga bangunan ini yang sering membantu NGO tersebut ketika bertugas. Kantor ini sudah tiga tahun tak terpakai karena COVID-19.

Satu-satunya penghuni kantor ini adalah seekor anjing―saya lupa namanya―milik peneliti dari YKAN yang meninggal ketika COVID-19 merebak. Anjing itu dibawa dari Pulau Seram dan selalu ditinggalkan. Dia tidak tahu bahwa majikannya telah meninggal, sehingga sering menunggu di dermaga depan kantor.

Dermaga di depan kantor YKAN di Deer. Terlihat di jauh sana ada Pulau Kofiau yang hanya segelintir orang tinggal di dalamnya. Masyarakat lebih banyak menduduki pulau-pulau kecil seperti Deer dan Balal. (Afkar Aristoteles)

Menurut warga, selama dua tahun belakangan anjing itu jarang memunculkan diri. Dia akan bergerak menuju dermaga setiap kali mendengar boat milik YKAN― seperti yang kami gunakan―karena mengira majikannya datang. Anjing adalah peliharaan setia. Mendengar kisah itu saya terenyuh karena mirip dengan kisah Hachiko di Jepang yang selalu menunggu majikannya di depan stasiun kereta.

***

Selama beberapa hari di Kofiau, kami bertemu orang hebat lainnya bernama Nixon Watem. Beliau adalah pengajar Pendidikan Lingkungan Hidup di SD N 28 Awat. Kampung Awat adalah pemukiman kecil yang baru dimekarkan pada dekade silam, berlokasi di pesisir utara Pulau Kofiau. Pulau Kofiau, walau merupakan pulau besar, tampaknya hanya sedikit pemukiman. Masyarakat lebih banyak tinggal di pulau-pulau kecil seperti Deer dan Balal.




Yang membuat Nixon Watem hebat adalah perubahannya. Sebelumnya, ia adalah nelayan yang suka mengebom terumbu karang demi mendapat tangkapan besar. Pernah ia cerita terlibat dalam penangkapan ikan menggunakan kompresor. Aktivitas nelayan ini dilakukannya sejak kecil tahun 1980-an. 

Kemudian di tahun 2000-an, Nixon baru memahami pentingnya pelestarian ekosistem laut. Hal itu disebabkan pengaruh para mahasiwa dari Jayapura dan NGO The Nature Conservancy yang melakukan  penyuluhan. Lalu, terlibatlah ia dalam berbagai pengamatan bawah laut di hampir seluruh perairan Raja Ampat. 

Di sini, Nixon mengajak warga kampungnya untuk terlibat dalam pelestarian lingkungan, menghindari mengambil tangkapan dengan benda berbahaya, dan membentuk komunitas usaha masyarakat sebagai pengganti sumber mata pencarian. Anda bisa membaca tulisan saya di web National Geographic Indonesia tentang sepak terjangnya dan keterlibatannya dalam membangun Pendidikan Lingkungan Hidup di sini.

Selain bertemu dengan Nixon Watem dan murid-muridnya, sejatinya kami ingin melakukan bird watching. Kofiau memang tempat yang cocok untuk memotret burung yang pernah disinggahi beberapa media dan wisatawan, termasuk dari luar negeri. 

Berpose di hutan tengah Pulau Kofiau (Nugroho Arif P).


Burung yang biasa dijumpai adalah Paradise Kingfisher (Tanysiptera ellioti) dan Kofiau Monarch (Symposiachrus julianae). Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Kofiau, kami tak kunjung menjumpai burung satu pun. 

Mas Arif mengatakan, bila ingin mendapatkan gambar burung-burung khas Kofiau, perlu bermalam tetapi waktu yang kami punya hanya sedikit, sehingga harus kembali sebelum hari gelap. Ditambah lagi, ketika kami datang ke Kofiau, ombak begitu kencang dari arah Samudra Pasifik.

Yang lain pada cari gambar, saya sama Mbak Adit istirahat saja. Pegal karena medan mendaki dan menurun. Lagipula, kami hanya beralaskan sendal jepit. (Nugroho Arif P)


Kami memarkirkan boat putih di dekat kantor YKAN, sementara ketika berkeliling bertemu Nixon dan ke hutan, perahu kecil nelayan yang kami pakai. Perahu itu gampang tergoyang-goyang di laut musim seperti ini. Meski demikian, perjalanan kami sempat melihat sekelompok lumba-lumba di tengah laut. Hanya saja, karena menggunakan perahu yang sangat sensitif dengan gerakan, kami tidak sempat memotretnya.

***

Tempat yang paling berkesan bagi saya adalah Kepulauan Boo yang dekat dengan Halmahera, Maluku Utara. Di Google Maps, lokasinya masih menggunakan bahasa Belanda, Boo-eilanden. Yang membuatnya menarik, tempat ini sangat indah karena jarang ada yang berkunjung. Pulau ini berada di kawasan lindung dan sasi masyarakat Kofiau, sehingga tidak boleh sembarang orang datang untuk merusaknya, seperti pariwisata massif.

Pemandangan Pulau Boo kecil dari laguna menghadap ke pintu masuk dari laut lepas. Tempat ini tidak hanya dilindungi oleh sasi oleh peraturan masyarakat kampung di Kofiau, tetapi juga peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai lokasi perlindungan. (Afkar Aristoteles)

Tempat itu tenang. Kami hanya mengunjungi Pulau Boo kecil yang terlihat dari peta seperti lamda. Di tengah pulau itu ada laguna berpasir dengan kedalaman kurang lebih tiga meter. Ikan hiu sesekali terlihat, saking bening air laut di sana bening.

Kami kemudian memutuskan berlabuh di pesisir yang bertuliskan 'lokasi sasi', berlatar pepohonan kelapa. Arusnya sangat kuat ke dalam laguna dari luar. Bang Wawan mengatakan, lokasi sasi ini ada karena masyarakat ingin melindungi kawasan tangkapan ikan mereka tanpa ekosistemnya rusak. Dengan sasi, kawasan ini tidak akan diincar oleh masyarakat mana pun untuk dibom karangnya. Sebab, selain hiu, perairan di Kepulauan Boo adalah tempat bagi penyu berkembang biak, lumba serta paus untuk lalu lalang.

Kepulauan Boo di timur Pulau Kofiau, Raja Ampat, Papua Barat Daya dari citra satelit Google. Pulau ini sangat terjaga karena merupakan kawasan tangkapan ikan masyarakat Kofiau.

Trio om-om kece. Mas Arif (kiri), saya, dan Bang Garry (berdiri) bersantai di Pulau Boo Kecil. (Adithyasari).

Saya, Mbak Adit, Mas Arif, Mas Ricky, dan Bang Garry menyempatkan menyicipi pesisirnya dengan menyeburkan diri. Airnya terasa dingin walau matahari sedang cerah-cerahnya tanpa diselimuti awan.

Hanya ada kami, seolah seperti pulau pribadi. Mungkin ini adalah untuk pertama dan terakhir kalinya mengunjungi Boo dalam hidup saya. Seperti sejenak masuk ke dunia lain yang indah. Semoga pulau ini tetap asri hingga akhir masa.

You May Also Like

1 komentar

  1. Bacanya ikutan berasa adem mas 😄👍. Salut dengan mama almina yg sudah ikut membantu jaga ekosistem laut, respect dengan orabg2 lokal di sana yg juga ramah dan ikut bantu menjaga. Raja Ampat ini beneran kayak surga yg jatuh yaa ❤️. Aku kdg berharap tempat secantik ini semoga ga jadi incaran turis yg hanya mau sekedar selfie tapi males menjaga kelestariannya.

    BalasHapus