Bisa dibilang, dalam pengakuan saya, saya adalah orang yang ingin selalu ada buat orang lain jika membutuhkan. Tanyakan kepada teman-teman saya, saya selalu bersedia mulai dari membantu finansial, memberi dorongan semangat, hadir secara fisik saat dibutuhkan, ataupun membantu finansial sebisa saya.
Saya bukannya perhitungan atas apa yang saya berikan. Saya punya rasa simpati dan empati atas segala hal yang dihadapi orang-orang terdekat. Saya ambil satu contoh, misalnya, ketika ada dua teman perempuan di organisasi kampus--yang tidak begitu dekat--kehabisan bensin di parkiran kampus, saya yang ada di tempat nongkrong segera datang membantu dengan mengajak teman saya yang juga satu organisasi.
Padahal, saat itu, kedua teman perempuan saya ini chat di grup untuk meminta bantuan, namun tidak ada yang membantu. Saya baru tergerak ketika beberapa menit membuka ponsel. Alasan saya membantu sangat normatif: saya tahu rasanya harus mendorong motor kala siang terik di kampus. Saya begitu lega bisa mengantar mereka. Akan tetapi, yang mendapatkan sorotan justru teman yang saya ajak. Bahkan, salah satu dari teman yang dibantu, justru menaksir dengan teman saya.
Poinnya bukan "seharusnya dia kan naksir saya". Bukan. Melainkan dia seharusnya tahu siapa yang berinisiatif membantunya itu adalah saya. Rada kecewa. Namun, saya sepelekan saja karena yang terpenting adalah mereka tidak perlu kesusahan dan panas-panasan yang bagi saya sangat menderita.
Bahkan, yang selalu saya ingat dan merasa bangga adalah ketika saya datang untuk teman saya yang kondisi mentalnya tidak stabil. Saya hadir untuk dia tanpa dia minta. Saya berusaha memperteguh hatinya untuk bisa menjalani hidup sehari-hari dan kembali riang seperti sedia kala. Namun pada akhirnya, dia menghilang entah ke mana di saat entah sudah atau sedang proses menuju sembuh dari mentalnya. Ketika dia hilang, saya mencari keberadaannya dengan mengajak teman-teman lain, supaya memastikan dia selamat entah di mana berada. Namun, dia enggan untuk dihubungi saat itu sampai berbulan-bulan lamanya yang tidak diketahui di mana, termasuk orang yang sangat dekat dengan dirinya.
Tulisan keluh kesah ini hanya curhat betapa saya berusaha untuk selalu ada sebagai kawan untuk orang lain. Saya pun tidak mengharapkan balasan. Hanya saja, jauh di dalam diri saya, saya merasa tidak dianggap demikian dan diabaikan kehadirannya.
Saya beberapa kali sering hadir ke acara perform musik yang dibintangi teman saya. Saya ingin hadir untuk dia bahwa temannya ini mendukungnya, meramaikan kegiatannya, dan mengapresiasi karyanya. Setiap teman sidang skripsi atau wisuda, saya pun selalu datang untuk memberikan selamat. Jika tidak hadir, saya akan membagikan fotonya di instastory dan mention akunnya untuk mengucapkan selamat.
Namun rasa itu tidak selalu sama. Saya sering membagikan undangan kegiatan saya untuk teman-teman saya dengan harapan mereka bisa hadir. Nyatanya, mereka tidak datang. Seolah, saya tidak seperti diapresiasi atas apa yang saya lakukan, achievement saya, atau merayakannya bersama saya. Diskusi yang saya adakan tidak pernah ada teman saya. Pembacaan puisi saya tidak pernah dihadiri teman saya. Bahkan, sidang pun tidak ada teman yang memberi ucapan kepada saya, sehingga saya pun memilih untuk enggan mengambil wisuda karena yakin tidak ada yang memberikan ucapan selamat.
Sedikit kecewa. Tapi tetap saya terus selalu berusaha untuk selalu ada untuk teman-teman saya.
Ketika saya mengisi Kompas Travel Fair, berpapasan dengan saya menghadiri festival musik Synchronize bersama pacar saya. Beberapa hari sebelum KTF, saya membagikan kegiatan saya kepada teman-teman saya supaya mereka bisa datang, namun tidak berharap. Saya pun membagikan informasi kegiatan saya sebagai tamu KTF ke orang tua saya, namun tidak berharap mereka datang.
Pada hari H, ketika saya bela-belain untuk datang ke ICE BSD dari Kemayoran untuk mengisi KTF, tidak ada teman saya yang datang--kecuali teman kantor yang memang punya partnership dengan kegiatan tersebut. Saya terharu ketika pacar saya mau ikut, alih-alih menghabiskan waktu di Synchronize. Saya merasa diapresiasi. Yang tidak saya duga justru orang tua saya hadir, bahkan mengomeli kedatangan saya yang terlambat. Saya merasa dibutuhkan.
Lagi-lagi, di mana teman saya saat saya membutuhkan? Tidak ada. Rasanya dongkol, tidak dihargai dan diapresiasi, dan tidak penting. Namun, tetap, saya tidak pernah berhenti untuk selalu ada untuk teman saya.
Perlahan-lahan, ketika usia semakin dewasa, saya belajar bahwa kita semakin sendiri di dunia ini. Begitupun juga ketika saya membutuhkan bantuan, semakin sulit mendapatkan orang yang mau membantu saya, kecuali pacar saya sendiri.
Itu sebabnya, sering kali ketika kesulitan, saya tidak mencari bantuan. Lebih sulit lagi ketika saya tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong atau di dalam situasi membutuhkan orang lain. Saya lebih suka berupaya sendiri.