KAWASAN ELIT YANG GAGAL MEWADAHI GOLONGAN MAHASISWA
Kawasan di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan kini dikembangkan dengan pihak swasta. Kawasan yang dahulunya adalah perkebunan dan hutan, kini menjadi ramai dan tersedia fasilitas-fasilitas yang menjadi tempat berinvestasinya beragam perusahaan. (baca juga artikel: KEBAYORAN VAN BANTEN)
1 Maret 2018 kemarin, terjadi keributan di depan kampus Universitas
Multimedia Nusantara (UMN) antara pihak keamanan pengembang swasta dan
mahasiswa UMN. Kejadian tersebut terjadi karena mahasiswa yang memarkir
kendaraannya di samping jalan, depan kampus, tidak terima atas tindakan
pengusiran oleh pihak keamanan. Padahal di pinggir jalan sendiri terdapat
palang dilarang berhenti yang semestinya dipatuhi oleh setiap pengguna jalan.
Pada kejadian tersebut, kebetulan saya berada di TKP. Kejadian tersebut nyaris
terjadi baku hantam antara seorang mahasiswa dengan seorang pihak keamanan.
Memang banyak aktivitas nongkrong serta pedagang kaki lima yang ada di
depan kampus UMN, hal tersebut karena memang di depan kampus bisa membeli
minuman dan makanan yang lebih murah daripada yang berada di dalam kantin
kampus. Selain itu, mahasiswa lebih memilih sering nongkrong di pinggir jalan
karena bisa merokok.
Peristiwa Keributan antara Mahasiswa dan Pihak Keamanan Summarecon di Scientia, Summarecon Serpong. Dokumentasi: Pribadi |
Sebenarnya untuk kebiasaan mahasiswa yang sering menongkrong di pinggir
jalan tidak hanya di UMN saja. Universitas-universitas di kawasan Gading
Serpong dan sekitarnyalainnya seperti, Atma Jaya BSD, Universitas Surya, Institut
Pradita, Universitas Matana, Universitas Prasetya Mulya, dan berbagai
universitas lainnya, juga banyak yang berkebiasaan demikan dengan alasan yang
hampir sama. Gading Serpong dan sekitarnya adalah kawasan yang dikembangkan oleh pihak
swasta, pembangunan yang berisikan properti-properti elit yang harganya sangat
tinggi.
Mahasiswa seperti yang kita ketahui, termasuk golongan yang belum cukup
banyak memiliki penghasilan tetap yang banyak. Rata-rata, mahasiswa masih
membutuhkan uang jajan dari orangtuanya untuk bertahan hidup di tanah rantau.
Permasalahannya, biaya hidup di Tangerang sudah terhitung tinggi sebagai kota
satelit bagi Jakarta. Harga bahan kebutuhan juga masih tinggi dan mahasiswa
selalu mencari dan membutuhkan cara alternatif agar menghemat, dan tidak
terlalu konsumtif.
Lantas bagaimana gaya hidup di Gading Serpong dan sekitarnya? Kawasan yang
dikelola oleh pengembang swasta ini tidak
begitu menyediakan infrastruktur yang ramah bagi keuangan mahasiswa. Kawasan
yang dulunya sepi dan dipenuhi perkebunan, kini berubah menjadi ‘kota mini’
yang disediakan untuk ‘kepenghasilan’ untuk perusahaan pengembang. Misalnya
saja, sedikit sekali Ruang Terbuka Hijau yang gratis untuk umum, atau minimnya
lahan parkir gratis, dan sebagainya.
Hutan Kota II yang berada di Bumi Serpong Damai, salah satu ruang terbuka yang disajikan secara gratis. Sumber: Pribadi. |
Ruang terbuka yang bisa menjadi wadah untuk diskusi mahasiswa atau sekedar
memanfaatkan skillnya harus melakukan
pengeluaran. Walau terdapat ruang terbuka yang gratis, tetapi jumlahnya masih
kalah dengan yang berbayar. Misalnya, Hutan Kota II BSD disediakan secara gratis,
namun pada Scientia Square Park mahasiswa perlu merogoh kocek Rp 25ribu rupiah. Bila dibandingkan dengan di luar Gading Serpong dan sekitarnya, taman terbuka seperti Taman Potret di Cikokol tersedia secara gratis dan perawatan yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Meskipun pihak universitas menyajikan kantin untuk kebutuhan makanan bagi
mahasiswanya, mahasiswa selalu mencari makanan yang lebih murah untuk
pengehematan. Harga makanan di kantin-kantin kampus bahkan memiliki harga yang
terlalu besar bagi mahasiswa itu sendiri. Rasio perbandingan antara makanan di
luar dan dalam kampus sangatlah tinggi. Contohnya, di dalam kampus terdapat air
mineral yang seharga 8 ribu rupiah, sedangkan di luar sendiri bisa
mendapatkannya dengan harga 3 ribu hingga 4 ribu rupiah saja. Harga siomay di
dalam salah satu kampus, bisa menyentuh harga 20 ribu, padahal di pedagang kaki
lima harganya hanya 5 ribu hingga 10 ribu saja.
Lahan parkir yang membuat mahasiswa yang menggunakan transportasi pribadi
sendiri kurang mencukupi. Di Universitas Multimedia Nusantara, parkir motor
hanya 2 ribu rupiah saja untuk mahasiswanya. Sedangkan untuk mobil cukup 6 ribu
rupiah saja. Namun parkir tersebut sering membeludak bila menjelang siang,
sehingga mahasiswa lebih banyak memutuskan untuk parkir di pinggir jalan. Walau
pun pihak kampus sendiri menyediakan parkir dengan bekerjasama dengan
Summarecon Digital Center, yang bersebelahan dengan kampus, tetap saja harga
parkir di lokasi tersebut tidak sepadan dengan harga parkir bila di dalam
kampus.
Permasalahan masalah mengenai harus melakukan pembayaran di Gading Serpong
dan sekitarnya pada setiap fasilitasnya, memang berguna untuk pelayanan. Pihak
perusahaan juga tidak mau merugi apabila banyak fasilitas disediakan secara cuma-cuma
tanpa mengait keuntungan perusahaan. Memang jika seandainya saja pemerintah
daerah turun tangan untuk menanggapi ini, para warga dan mahasiswa sekitar
Gading Serpong dan sekitarnya, tidak perlu merogoh uang terlalu dalam. Karena perlunya
bantuan dana atau jasa dari pemerintah sendiri atas fasilitas ruang terbuka
hijau untuk umum, lahan, pengelolaan tempat makanan dan fasilitas transportasi
umum yang ramah bagi mahasiswa dan warga sekitar.
0 komentar